Selasa, 26 April 2016

Lagu dan Kegelisahan

Setelah mendengar lagu indah berjudul “Ku Ingin Kau Tahu”-nya Overtunes, agak timpang sih kalau sekarang gue malah dengerin lagu “Mungkin”-nya Overtunes juga. FYI, lagu-lagu itu dipakai untuk soundtrack film Ngenest yang belum kesampean gue tonton. Nonton bareng, yuk! *lah *kode

Gue……….. seneng banget denger lagu “Ku Ingin Kau Tahu”. Serasa dinyanyiin. Serasa disirami bibit-bibit untuk tumbuh. Serasa sembuh. Serasa punya harapan lagi. Duh, gue pengen nangis ngetiknya. Hahaha :’D

LEBAY GUE!!! *netes

Bagian lirik yang paling gue suka:
Oh, senyummu seperti pelangi yang indahkan hari
Dan hatiku menginginkanmu lebih dari yang kau tahu
Ku ingin kau…. Ku ingin kau tahu.

Gue kayak anak alay, ya, nulis kayak begini?
Liriknya juga biasa aja kan, ya? Udah biasa ada di lirik-lirik lagu pada umumnya. Mainstream.
Tapi rasa yang gue tanggung saat ini…….. nggak biasa.
Biasanya, gue lebih suka menulis kata-kata konotasi untuk menggambarkan ini. Tapi, sungguh kali ini gue nggak bisa menulis itu.

Kemudian, beberapa saat lalu gue membaca suatu pernyataan. Gue tau itu pernyataan yang menyakitkan, tapi gue udah janji nggak boleh sakit (sama diri gue sendiri). Tapi, ternyata gue nggak bisa bohong (sama diri gue sendiri), dan selalu begitu.

Gue nggak akan sebutin pernyataan apa, yang pasti bukan buat gue, haha.

Maka, gue langsung mendengar lagu “Mungkinkah”.

Ya, pas banget.

Apalagi pas di sini:
kita sempurna, mungkin sebaliknya
mungkin kita takkan pernah menyesal
kita bisa sedih, mungkin bahagia
mungkin kita satu selama-lamanya
but maybe we should try

Ya Allah :’)


Ya, yang bisa gue lakukan sekarang hanyalah: MENCOBA.

Kamis, 07 April 2016

Baru

Telat banget kalau gue baru bilang "Selamat Tahun Baru!"
Haha. Nggak, nggak, gue nggak mau bilang ucapan itu kok. Gue cuma mau bilang, "Hai, selamat bertemu lagi!" *nyanyi*

Nggak terasa, ini udah tahun 2016. Ternyata tulisan di blog ini, tahun 2014 lebih banyak daripada 2015. Haha. Mungkin di tahun 2015 hati gue lagi remuk-remuknya sampai nggak kuat ngetik. Haha lebay~

Gue mau cerita dikit, nih! Serius, dikit aja.
Gue masih suka menulis. Dengan menulis, gue bisa mengungkapkan apa aja yang gue pikir atau rasa. Tapi, seiring berjalannya waktu, gue menyadari bahwa ada hal yang perlu ditulis, tapi ada juga yang sebaiknya tidak perlu ditulis. Gue sepertinya mulai lebih dewasa. Eh, nggak juga sih, gue masih suka nonton kartun sama main DDR. Hahahaha.

Dulu, iya, dulu banget, gue pernah jatuh cinta cuma gara-gara tulisan berjudul "Untaian Kata yang Gak Bagus". Serius, itu gue bacanya nggak satu kali. Berulang-ulang, hingga akhirnya gue bisa jatuh cinta sama penulisnya.
Makanya, itulah salah satu alasan gue suka menulis dan mencurahkan rasa jatuh cinta dan sakit hati gue melalui tulisan. Dan nyatanya, ternyata nggak ada yang jatuh cinta sama.......... tulisan gue. *pukpukindirisendiri*

Tapi yaudah lah, gue bersyukur, Alhamdulillah karena blog ini, gue jadi bisa masuk divisi sastra di LPM kampus gue, tanpa seleksi cuy! Terus bisa kerja sama buat buku antologi cerpen puisi bareng sahabat-sahabat kampus. Bahkan bisa baper semaunya, berkedok "gue kan anak sastra, jadi apa-apa pakai perasaan" (haha bercanda).
Bisa apa lagi, ya? Banyak.
Bisa soundcloud-an pake puisi sendiri
Bisa baca puisi di depan orang banyak
Bisa ngungkapin perasaan secara tersurat karena nggak berani diucapkan langsung di depan orang yang dituju *eh
Banyak, deh, pokoknya. Tapi, nggak gue sebutin semua, soalnya di awal, kan, gue udah bilang bakal cerita dikit. Sedikit.

Nah, kenapa juga gue buat tulisan ini? Bisa jadi nggak perlu, kan? Haha.

Soalnya, gue cuma nggak mau ada yang kaget. Gue akan memposting tulisan ber-genre lain setelah ini, salah satunya non fiksi. Jadi, mungkin kalian yang baca akan ganti mode dulu jadi anak serius, bukan anak baper. Hahaha.

Terima kasih, ya, teman-teman yang senantiasa berbaik hati mau membaca tulisan-tulisan di blog ini. Maafin Sandra kalau buat kalian baper, nangis, terharu, senyum-senyum, sepakat, bahkan hingga...... kasihan sama gue. Hahaha.
Semoga bermanfaat, entah bagaimana caranya.

Next art is coming soon, guys!


-Sandra (yang baru)

Selasa, 10 November 2015

Hujan Bulan November

Entah kenapa
Hujan kali ini berbeda
Hujan kali ini seolah menuturkan cerita
Pun membuang nasihat-nasihat kepadaku

Hujan mengingatkanku tentang keredaan
Segala yang gersang dapat tumbuh kembali
Segala yang meresahkan akan reda
Segala kesabaran akan menang
Hujan mengguyur gelisahku

Tahukah kau?
Sabar lebih sulit daripada sungguh-sungguh
Bak matahari yang menggebu-gebu naik
Butuh hujan untuk mendinginkan
Seberapa besar kekuatan matahari dan apinya, ia butuh air
Begitu pun aku, kau, dan mereka
Kita butuh sabar seberapa keras kita mendobrak
Hujan kali ini menceritakan padaku
Hujan bulan November ini berbeda
Entah kenapa

Rabu, 28 Oktober 2015

Everything Has Changed

Tulisan ini ditulis tanggal 14 Oktober 2015...
...
...


Pagi yang cerah di tanggal merah. Alhamdulillah kita memasuki Tahun Baru Islam 1437 Hijriah.
Namanya tahun baru, akan menyenangkan kalau ada yang baru ><. Nah, ini postingan terbaru dari gue. Haha.
Sebelum baca ini, bisa didengerin dulu, nih, nyanyian absurd gue dan Adit.



Lagu ini berjudul: “Everything Has Changed”. Apa yang muncul di benak saat baca atau denger judulnya? Kalau gue, sih, sedih. Haha.
Gue seperti masuk ke lingkaran di mana ‘semua udah berubah, semua udah nggak sama lagi, dan gue nggak bisa ngapa-ngapain buat mengembalikannya’.
Wait.

Padahal sebenernya arti lagunya membahagiakan :’)

Karena yang kutahu hanyalah kita saling sapa
Dan matamu tampak seperti pulang
Yang kutahu hanyalah sebuah nama sederhana
Segalanya telah berubah
Yang kutahu hanya kau memegang pintu
Kau kan jadi milikku dan aku kan jadi milikmu
Yang kutahu sejak kemarin
Segalanya telah berubah

Dan semua dindingku
Berdiri tegak bercat biru
Dan akan aku runtuhkan
Membuka pintu untukmu

Dan yang kurasa di perutku hanyalah kupu-kupu
Kupu-kupu yang indah
Mengganti waktu yang hilang
Membawa terbang membuatku merasa seperti...

Aku hanya ingin lebih mengenalmu......

Jadi, maksud lagu ini tuh, ada orang baru yang hadir dan segalanya berubah. Berubah menjadi indah tentunya :’) iya, kelak, San, Aamiin. *lho?
Lagu ini aslinya dibawakan sama penyanyi Taylor Swift dan Ed Sheeran. Kata Dessy Indah K., Taylor Swift itu penyanyi country, tapi sekarang genre-nya berubah menjadi pop. Dia menulis lagu kebanyakan dari pengalaman pribadinya. Penampilan Taylor Swift bergaya vintage, identik dengan lipstick merah (red). Matanya kayak kucing alias cat eyes.
Gue yang secupu ini sekarang malah suka dengerin lagu-lagu Taylor Swift. Dulu mah, ya, boro-boro. Haha. Ya, gue berubah. Haha.

Terus?
Kenapa gue nulis tulisan absurd kayak gini? -_-
Gue cuma mau bilang gini:
Seiring berjalannya waktu segala hal bisa berubah, baik yang direncanain atau tidak. Dari hal kecil sampai hal besar. Dari hal sepele sampai yang rumit. Semuanya berubah, mulai dari usia sampai pemikiran (mindset).
Kalau ada yang sayang banget ‘waktu itu’, belom tentu sekarang.
Kalau ada yang menyenangkan banget ‘waktu itu’, belom tentu sekarang.
Kalau ada yang dibanggain banget ‘waktu itu’, belom tentu sekarang.
Kalau ada yang mengecewakan banget ‘waktu itu’, belom tentu sekarang.
Kalau ada yang menghancurkan ‘waktu itu’, belom tentu sekarang.
Kalau ada yang ngebetein ‘waktu itu’, belom tentu sekarang.

Hal ini nggak berlaku untuk cinta-cintaan aja, kok! Dalam segala aspek kehidupan juga berlaku. Jangan sampai kaget sama perubahan-perubahan yang ada, ini wajar. Semua perubahan itu bagian dari perjalanan dan proses hidup.
Lalu, apa yang perlu dilakukan?
Menikmatinya.
Sebab suatu saat nanti......... everything has changed!
Ya, segalanya akan berubah lagi. So simple!

Oh, ya, berhubung ini tahun yang baru, yuk, berubah menjadi pribadi yang lebih baik! Bismillah! :D


Sumber:
http://www.terjemah-lirik-lagu-barat.blogspot.com


Sabtu, 11 Juli 2015

Buku yang Tidak Disengaja

Sebetulnya ini ketidaksengajaan. Begini ceritanya:


Aku berusaha mencari tahu sesuatu, pergi ke beberapa tempat yang di dalamnya terpasang lampu-lampu silau. Tepatnya lagi di tempat itu, berjejer aneka benda berbentuk kotak dengan ukuran yang kecil hingga besar. Baiklah, akan kusebut nama benda-benda itu: handphone dan televisi.


Ya, aku mencari sesuatu di antara benda-benda itu. Aku mencari handphone. Tidak, bukan hanya mencarinya, aku juga (sangat) berniat memilikinya. Jum’at lalu (bukan kemarin) aku membeli koran –entah kenapa aku suka membeli koran, walaupun tidak akan sempat membaca seluruh tulisannya, aku merasa ingin ikut merasakan jerih payah para penulis atau jurnalis yang menyumbangkan karyanya di sana. Koran itu menampilkan iklan dari hampir semua pasar swalayan besar –koran butuh iklan agar tetap hidup. Tentu saja, aku melihat iklan handphone yang aku mau (dan harganya terjangkau) yang ternyata bisa diangsur selama 12x. Hahaha, kebetulan sekali, aku benar-benar mengincar handphone atau lebih tepatnya smartphone, ya, untuk menemaniku, setidaknya. Tapi karena aku tahu kondisi ekonomiku yang sedang tidak menakjubkan, aku mengurung niat membelinya dengan alasan: “Nggak punya smartphone nggak bikin mati, kok.” Dan saat itu pula aku merasa ‘mati’.


Bayangkan.


Aku masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan kerja baruku (Alhamdulillah aku sudah mendapatkan pekerjaan baru). Setiap istirahat, sejujurnya saja, aku bingung akan ke mana. Saat di bulan yang bukan Ramadhan, aku memutuskan untuk membeli makan di tempat makan yang tidak jauh dari kantor, lalu memakannya di meja kantorku sendiri. Sungguh, ini bukan tanpa alasan. Aku memilih tempat makan itu karena aku menilainya merupakan tempat makan paling murah yang pernah aku dapati selama aku bekerja. Cukup Rp 8.000,- aku bisa makan peyek udang –yang benar-benar ada udangnya, lumayan besar, dan bukan kebanyakan tepung saja; dan ditambah 2 lauk lain beserta nasi yang sangat cukup membuatku kenyang. Lalu aku memakannya di mejaku saja, tidak beranjak ke tampat lain dan tidak bersama yang lain, karena…… aku hanya tidak ingin mendengar cerita buruk dari siapa pun, hahaha.


Lain halnya Ramadhan, aku tidak makan dan hanya menetap di mejaku. Aku terkadang tidur, atau hanya sekedar mencoret-coret kertas, atau bermain komputer –yang tidak ada internetnya. Aku bosan parah, sebenarnya. Hm mungkin lebih tepatnya: kesepian. Seandainya aku punya smartphone kan bisa aku gunakan untuk melihat kabar teman-teman lewat RU BBM, melihat postingan Path teman-teman yang terlihat bahagia –aku jadi ikut bahagia, melihat Instagram beberapa akun yang aku sukai, mengoceh di Twitter, searching apa pun yang terlintas di pikiran, dan banyaaak lagi. Lagi-lagi, mengapa aku tidak berkumpul dengan yang lain? Kali ini aku bukan tidak ingin mendengar cerita buruk, sebab di bulan Ramadhan cerita buruk biasanya berkurang jumlahnya, hanya saja aku tidak ingin ikut………….berbelanja. Please, somebody help me now!


Maka, aku berpikir bagaimana mempunyai smartphone kembali. Aku ingin mengikuti ‘pesan’ iklan di koran yang aku beli. Aku pergi ke beberapa pasar swalayan yang menawarkan ‘program’ angsuran itu. Tapi, nihil. Sebab syaratnya: berusia di atas 21 tahun. Mati sudah. Aku tidak jadi memiliki smartphone untuk saat ini.
Aku yang kesal, malah membeli sesuatu yang lain (tidak kuceritakan, ya!).


Di pasar swalayan terakhir aku mampir ke deretan buku-buku yang disusun di atas lantai. Obral buku, ternyata. Awalnya aku tidak begitu tertarik. Bukan karena aku tidak suka buku, aku hanya kehilangan nafsu karena kekesalanku gagal mendapatkan smartphone. Aku dengan malas membuka satu per satu buku. Buku terjemahan ternyata, buku fiksi dengan penulis luar negeri. Bahasanya itu, lho! Aku kurang suka, hehe. Soalnya kaku bangeeet. Terkadang malah nggak nyambung -_-


Sampai aku mengambil buku dan membukanya secara acak. Ada beberapa kata yang aku baca sekelibat: Munsyid, Nasyid, Paskibra. Aku jadi penasaran. Aku baca beberapa kalimat. Lalu, aku tersenyum seperti mendapati anak kecil yang sedang menang bermain sesuatu. Aku membaca halaman depannya: Tetralogi. Hah? Ini buku semacam buku Triloginya A. Fuadi ternyata. Kalau Tetra, berarti… ada 4 buku yang ceritanya berkelanjutan dan berkesinambungan. Ini buku ketiga. Aku bongkar sedikit buku-buku di bawahnya, dan aku menemukan buku kedua. Ada buku kedua dan ketiga dari Tetralogi ini. Tapi, sungguh, aku sedang tidak bawa uang banyak, haha.


Aku tidak jadi beli.
Aku mengendarai motor, sebelum keluar, aku bertanya, “Pak, tutupnya jam berapa, ya?”
“Jam 12 (malam).”
“Serius, Pak?”
“Iya, selama menjelang Ramadhan buka sampai jam 12.”
***


Aku buka dompetku. Yah, aku salah perhitungan, ternyata aku tidak punya ‘uang lebih’. Uang yang ada di dompet sudah untuk keperluan lain. Aku bilang Mama.



Aku tetap jadi beli buku. Mama mengantarkanku.
Sudah, ah, ceritanya. Sekarang, aku mau kasih tau sedikit apa, sih, isi bukunya!
Judul: Apologia Latte.
Karya: Irfan L. Sar.
Novel bagian kedua.

Kata
(Dalam sudut pandang orang pertama bernama Gia)

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, dalam bus yang melaju cepat dan berkali-kali berguncang hebat, Rafli bercerita kepadaku tentang masa pemusatan latihannya di Bandung. Berkali-kali aku tersenyum dan berusaha menanggapi ceritanya, kendati tahu aku merasa canggung berada di dekatnya. Ini tidak berarti aku tidak mencintainya. Aku hanya merasa gugup karena Rafli selalu membuatku merasa takut. Ada aura tertentu dalam dirinya yang sulit kujelaskan yang membuatku merasa serba salah, dan memaksaku harus selalu mengalah menghadapi egonya.


Namun begitu, aura itu pulalah yang sering membuatku merasa nyaman, merasa terlindungi. Rafli memiliki visi yang jauh ke depan, seorang perfeksionis sekaligus pemurung. Dia akan menjadi romantis tiba-tiba, lalu menghilang dengan kesibukannya di paskibra.


Suatu hari, saat hujan turun dengan lebat, Rafli mengirimiku pesan singkat yang isinya teks lagu Jikustik, “Setia”: Deras hujan yang turun, mengingatkanku pada dirimu, aku masih di sini untuk setia, di saat malam datang menjemput kesendirianku, dan bila pagi datang, kutahu kau tak di sampingku, aku masih di sini untuk setia.


Aku membalasnya dengan teks lagu Jikustik yang lain yang membuat Rafli berpikir aku telah membuat sebuah puisi cinta untuknya. Lagu itu memang tak terlampau terkenal karena tidak dibuatkan video klip. Dan, aku ingin merahasiakan lagu itu, karena khawatir kau akan memberi tahu Rafli bahwa itu hanyalah sebuah lagu.


Sejujurnya, kadang aku merasa rendah diri berada di dekat Rafli, terlebih ketika dia menulis dan mengirimiku lirik lagu, puisi, yang sebagian diciptakannya dan sebagian disadurnya dari orang lain. Rafli orang yang romantis, kau harus tahu itu. Dia orang yang akan rela mengorbankan waktunya untuk memperhatikanmu, kendati misalnya, kau tak sudi membalas perhatiannya. Rafli memiliki hati lemah lembut yang membuatnya menjadi orang yang supersensitif, sering kali murung, dan merasa kesepian.


Sebelum masuk pada hari pertamaku kembali bertemu dengannya setelah dia menjalani masa Pemusatan Latihan Paskibraka di Jawa Barat, ingin kuceritakan kenangan indah saat aku ulang tahun yang ke-15. Saat itu aku kelas 3 SMP.

Oh, lagi-lagi aku lupa bercerita. Kau tentu ingat bagaimana perempuan-perempuan Mesir zaman dulu mengiris tangan mereka sendiri karena mereka dibuat takjub oleh ketampanan Nabi Yusuf. Pun aku begitu. Berkali-kali aku lupa bercerita betapa romantisnya Rafli karena aku terpukau oleh lelaki yang kini duduk di sampingku, bercanda dengan caranya yang kadang –harus kuakui—garing.


Hari itu Selasa, aku ingat betul. Pukul 5 pagi, aku terbangun oleh dering telpon genggamku. Dengan mata masih mengantuk karena semalam mengerjakan tugas sampai larut malam, aku mengangkat telepon itu, dan inilah yang terjadi pagi itu.


Rafli : Hai.
Gia : Hmm. (Masih mengantuk). Hei.
Rafli : Baru bangun, ya?
Gia : Iya. Hehe. Kenapa? Ada apa, Raf?
Rafli : Aku mau kamu keluar sebentar.
Gia : Keluar?


Saat itulah aku sadar ada sesuatu yang Rafli ingin berikan padaku, sebuah kejutan. Mendapat gagasan seperti itu, aku gelagapan, antusias sekaligus waswas. Aku memakai sandal jepit, membuka pintu kamarku, dan berjalan keluar, sambil mendengarkan suara Rafli di ujung telepon. Semilir lembut udara pagi menelusup lewat baju tidurku, dan aku merasa kedinginan.

“Berbelok ke kanan,” ujarnya, aku mengikutinya, “Li—“
Aku tak mendengar apa yang selanjutnya dia ucapkan karena aku tak tahan menahan tangis sewaktu melihat sebuah bungkusan di atas pagar rumah. Aku meraihnya, dengan air mata berjatuhan, memeluknya erat ke dadaku, lalu aku tersadar pada satu pertanyaan yang harusnya kukatakan dari tadi: Rafli, kamu di mana?
Tak ada jawaban.
Hening.
Nyala api di depan pintu gerbang menghangatkanku, dan tanpa sempat berpikir panjang, aku melihat berjajaran Rafli dan semua sahabatnya, berdiri dalam gelap, hanya demi menyanyikan lagu ulang tahun buatku.


Rafli mungkin berpikir aku melupakan apa yang telah dilakukannya itu, karena aku tak pernah bisa membuatnya merasa istimewa. Aku sering lupa tanggal ulang tahunnya, sehingga menjadi orang yang sering kali tidak mengucapkan selamat dan memberinya doa. Saat dia memberikan bindernya padaku untuk kuisi dengan apa pun yang kumau, aku malah mengembalikan binder itu kepadanya tanpa satupun kata yang kutulis. Keesokan harinya dia protes, “ Aku membuka binderku dengan semangat, dengan sumringah, berharap ada satu kata, paling tidak, yang kautulis untukku. Tapi….”


Yang ada hanyalah tulisan dan pesan Yanti, sahabat kami, untuknya. Barangkali karena itulah aku sering merasa canggung, rendah diri, dan takut terhadap Rafli. Dia memperlakukanku seperti dewi –atau Mahadewi, seperti yang diakuinya padaku –sedangkan aku tak bisa memperlakukannya dengan istimewa.


Pada malam-malam acara study tour sekolahku ke Yogyakarta, aku membaca berkali-kali tulisan Rafli di tiga lembar kertas binder yang dilipat memutar, dan terenyuh oleh caranya menggambarkanku sebagai sosok sempurna, sebagai cinta pandangan pertama yang takkan terkubur waktu, takkan tergerus cinta yang baru. Aku terenyuh dan seperti sudah dapat mendengarkan lantunan lagu yang liriknya kubacai berkali-kali itu. Yanti mengusap-usap kepalaku dan bilang bahwa kali ini Rafli akan setia padaku, bahwa apa yang dilakukannya selama ini membuktikan penyesalannya dahulu, dan kini kami berdua sudah beranjak dewasa dan dapat menyikapi hubungan dengan lebih baik.



***


*akusenyumsenyum*

Kamis, 04 Juni 2015

Kamu

Aku nggak apa-apa kok kayak gini. Kamu tenang aja.


Aku malah seneng ketemu kamu, kenal kamu, bersyukur banget sama Allah yang udah nemuin aku sama kamu. Aku nggak boleh marah apalagi benci sama keadaan kita sekarang, aku nggak mau kayak gitu. Walaupun, ya, aku pengen teriak-teriak bilang, “Semua ini nggak adil!”


Aku tadinya mau benci sama kamu, kamu jahat udah buat aku bahagia, tapi nggak ngajarin aku ngelepasin. Mungkin aku yang terlalu egois, atau mungkin aku yang terlalu kekanak-kanakan banget. Aku kadang nganggepnya, sih, ini cuma cinta monyet, tapi kenapa rasa ini adanya bertahun-tahun, sih? Aku suka kangen. Kangen sama nyebelinnya kamu, baiknya kamu, noraknya kamu, nekatnya kamu. Hahaha. Hari ini aku ngerasain lagi makanya aku nulis ini. Aku nggak tau mau cerita sama siapa lagi. Cerita sama mama nggak mungkin, cerita sama temen-temen yang ada aku cuma dicaci. Kalau Allah udah sering banget pasti denger curhatan aku tentang kamu.


Aku emang nggak bisa jadi perempuan baik. Aku terlalu sibuk. Aku nggak pernah punya waktu. Tapi, jujur sebenernya aku juga lagi berusaha punya. Aku tiap hari nanya sama waktu, kapan aku udahan sibuknya, eh, tiap hari nanya malah berasa banget nunggunya, hehe. Sekarang aku bisa pulang kerja lebih cepet, lho! Jam 6an aku udah di rumah. Keren, kan? Tapi pas nyampe rumah, aku tetep ngerasa kosong, terus pengen nangis. Aku masih cengeng, ya, dari dulu, hehe.


Di awal, aku udah bilang kalau aku nggak apa-apa. Tapi boleh nggak aku minta satu permintaan?


Boleh, ya?! *maksa*


Soalnya hidung aku udah meler, nih! Haha. Gara-gara nangis.


Aku minta kamu jujur sama diri kamu sendiri tentang hati kamu.


Udah itu aja kok. Makasih, ya :)
Jagain dianya kamu, ya.


Nia

Senin, 18 Mei 2015

Bukan Surat Cinta

Hai, selamat siang! Bagaimana cuaca di sana? Cerah, kan? Dan, bagaimana kabarmu? Tentu saja baik, tak perlu kamu beritahu sebab sudah terlihat dari beberapa status update-mu.


Saya minta maaf, sangat minta maaf. Sebelum saya disebut ‘perempuan kurang ajar’ untuk kesekian kalinya, lebih baik, saya menarik diri dari kamu. Jangan BBM saya kalau nggak penting, ya! Jangan ajak saya ke tempat favorit saya lagi! Oh, ya, saya bilang begini karena ‘menarik diri’ itu salah satu cara dari manajemen konflik komunikasi antar personal. Saya belajar dari mata kuliah komunikasi antar personal, lho! Saya cuma ngikutin aja, semoga aja berhasil buat kita semua. Iya, buat saya, kamu, dan perempuan kamu. Oh, ya, saya lupa bilang selamat! Selamat, ya, buat tanggal cantik dan perempuan cantiknya! ;)
Makasih.


Best regards,
Cupu.

Kamis, 14 Mei 2015

Berhenti di Persimpangan

Kini aku berada di persimpangan
Aku tidak tahu harus ke mana
Aku tidak bisa berpikir lagi akan ke mana
Aku sudah sampai di persimpangan

Tidak ada yang tahu jalan mana yang benar
Sesekali aku mundur, mengingat jalan yang pernah kulalui
Mengenang langkah mana yang salah
Mengumpulkan petuah yang berserakan di jalan
Memungut teori kebenaran akan perasaan
Pura-pura melupakan kerinduan
Pura-pura meninggalkan bahagia semu

Kini aku berada di persimpangan
Aku memutuskan berhenti di sini
Aku tidak sanggup lagi berjalan
Sungguh aku tidak tahu harus melewati jalan mana
Aku takut…. patah hati (lagi)
Lagi dan terjadi kembali
Berjuang pada satu cinta yang kukira membahagiakan
Namun dibuang bagai daun gugur tak berguna
Diabaikan seolah tidak dikenali

Aku…. minta maaf
Aku akan benar-benar berhenti di persimpangan
Maaf aku sudah sangat lelah dengan semua kisah ini
Aku berhenti saja
Menekuk kedua lutut dan menyerah di tengah persimpangan

Dengan tangan yang dingin dan kening yang panas
Dengan tenggorokan yang kering dan mata yang perih
Dengan tulang belakang yang lemah dan kaki yang lelah menyentuh tanah

Mengapa aku selemah ini?
Aku tidak mau menjadi lemah
Maka tanpa aku minta, memohon, dan mengemis
Apa kamu sudi menghampiri dan membangunkanku?
Dengan kesadaranmu sendiri
Tuhan Yang Maha Melihat, tolong…..

Rabu, 13 Mei 2015

Rencana yang Lebih Hebat

Halo, Guys!
Gue sebenernya ngantuk, tapi lagi kepengen nulis aja.
Gue mau bilang sesuatu yang gue pelajari dari pengalaman gue akhir-akhir ini dan blognya Gitasav:
 
“Rencana Allah itu lebih keren dari rencana gue!”
Jadi gini…
Tanggal 11 Mei kemarin gue udah selesai magang, dan komentar dari para temen-temen yang masih pada muda-muda itu intinya cuma satu: “Wih, bebas, ya!”


Ya, begitu, deh. Kalau dibandingin sama tempat kerja yang lama beda budayanya. Yang ini soalnya pekerjanya usianya masih muda-muda, di bawah 30 tahun. Jadi ‘rasa ingin bebas’-nya masih ada, artinya nggak terlalu suka diatur. Beda sama tempat yang lama yang selalu ‘nrimo’ untuk diatur-atur karena merasa hanya sebagai pekerja, udah pada punya istri dan anak juga, udah nggak mikir macem-macem lah, yang penting bisa kerja aja udah bersyukur. Gitu. Budayanya beda. Gue mempelajarinya beberapa bulan ini, hehe.
Iya, gue bebas. Gue bebas karena gue bisa melanjutkan kewajiban lain yang seharusnya gue lakukan: bekerja FULL TIME.


Awalnya, waktu keputusan magang gue ambil, gue sudah merencakan sesuatu: bayar kuliah dari bulan Maret sampai Mei 2015 dari gaji magang, mau kerja magang aja yang penting di media, nggak mau kerja yang bukan ‘bidangnya’ lagi, supaya gue punya pengalaman kerja di bidang jurnalistik sebelum S1, mengingat saingan pekerja baru yang banyak beberapa tahun ke depan.


Dan rencana gue failed.
Gue bayar kuliah Maret-Mei dengan muter otak gimana caranya pinjem ke temen yang bisa bantu, karna uang yang udah gue rencanain ternyata dipakai buat keperluan keluarga. Gue nggak mungkin cuma MAGANG! Gue harus kerja FULL TIME biar gue bisa tenang kuliah, makan, dan tidur. Gue mana bisa kerja di media kalau gue belom S1?! Gue mana bisa kerja di bidang jurnalistik, kalau gue masih mengejar ‘bayaran kuliah’ dan bayaran-bayaran lain?! Kerja jadi wartawan yang gue tahu nggak langsung bisa dapet gaji gede, pasti kecil. Bahkan dosen gue bilang, “Jangan jadi wartawan kalau mau kaya!” Gue yang lulusannya SMK Akuntansi otomatis akan kemungkinan kerja di bidang admin atau keuangan lagi, atau malah planner karna pernah jadi PPIC. Dengan yang sesuai sama lulusan SMK dan pengalaman kerja itu, baru bisa dapet gaji UMR. Terus kalau gue udah berkecimpung di bidang jurnalistik, gue akan banyak menguras tenaga, waktu, pikiran, sedangkan buat ngerjain tugas kuliah aja udah susahnya minta ampun, belom lagi ngerjain tugas organisasi. Gue nggak bisa fokus. Kayak mau mati rasanya.
Gue nggak mau sok-sokan bisa padahal nggak bisa. Gue inget Ibu gue. Gue nggak mau ngecewain beliau cuma karna idealisme gue dan keegoisan gue. Gue tahu gue bukan anak orang kaya yang cuma tinggal ‘ngembangin diri’ kayak anak-anak yang lain yang dibayarin kuliahnya.


Rencana gue nggak sekeren yang gue pikir, kan?!
Dari semua yang terjadi, gue sadar nggak semua hal yang udah kita rencanakan, kita pikirkan, sesuai sama kenyataan. Gue akui rencana gue emang gagal, tapi Allah ngasih gue pelajaran yang gue juga nggak kepikiran.


Yang gue syukuri dan pelajari, tuh, banyak banget, deh! Dari mulai pelajaran tentang sistem kerja, idealisme, cara memimpin, cara berkomunikasi, cara mensyukuri hidup, penampilan, dan lain sebagainya… Setelah resign waktu itu dan memutuskan magang gue jadi belajar banyak.


Gue jadi ngerti sistem itu penting banget di perusahaan mana pun, kalau nggak ada sistem, aktivitas perusahaan jadi berantakan, itu akar dari masalah-masalah yang bisa terjadi. Gue sadar nggak bisa jadi manusia ‘sempurna’, karena ada Yang Maha Sempurna. Gue jadi ngerti: kalau komunikasi bisa merusak, maka seharusnya komunikasi juga yang bisa memperbaiki dan membangun. Gue sekarang ngerti kenapa orang dengan rela mau jadi badut, mau jadi pengamen, mau jadi penyebar brosur di jalan: mereka mau makan dan tetep hidup, jadi bersyukur buat kalian yang bisa bekerja ‘enak’, kalian masih bisa lanjutin hidup. Gue jadi kenal banyak orang dengan karakter yang beragam, nggak semuanya bisa cocok, yang bisa itu ‘saling memahami’. Gue jadi bisa lebih mengatur uang yang gue punya, dan paham tentang hukum lifestyle yang berkaitan sama ekonomi. Gue jadi ngerti kalau pola makan gue selama kerja ada yang salah (makan malem banget mulu), gue jadi belajar nggak makan mulu (jam makan gue berubah, kemungkinan gue bisa kurus, haha), gue jadi tahu apa yang selama ini nggak gue perhatikan (kantung mata, komedo, dsb), gue jadi paham cewek itu kayak gimana. Belajar naik commuterline dan beradaptasi sama manusia-manusianya (nanti gue ceritain tentang commuterline). Belajar dari nguping orang-orang di commuterline. Belajar kerja di Jakarta yang melelahkan dan keras. Belajar jalan kaki setiap hari. Banyak, deh, pokoknya!


Ternyata, rencana Allah yang nggak kepikiran itu lebih hebat!
So, segala sesuatunya jangan terlalu dipikirin banget-banget apalagi dibaperin banget, yang berlebihan juga nggak baik, lho! Just try and do your plans!
 
Don’t forget, Allah always knows what the best for you! :)
Semoga Sandra cepat dapat tempat kerja baru, Aamiin :) dan teman hidup baru, Aamiin.
Good night, all!
B7A-Ua1CMAAnmAW

Sumber gambar:
https://pbs.twimg.com/media/B7A-Ua1CMAAnmAW.jpg

Sabtu, 09 Mei 2015

Gue Nulis Lagi, Nih!

Halo, mantemaaaaaan! :D
Seneng banget hari ini gue bisa nulis di sini lagi huhu. Magang content writer yang setiap hari nulis, membuat gue jadi nggak pernah nulis di sini *lapdebu*. Kenapa? Karena otak gue sudah diperas buat bikin tulisan setiap hari Senin-Jum’at. Jangankan nulis di sini, tugas kuliah gue aja jadi ngaret gitu, sampe dosennya nanya ke gue, “Kamu kok jadi sering belum ngerjain tugas, sih? Sibuk, ya…” Ah, Bu, andaikan Ibu tahu, saya pulang magang antara jam 8 sampai jam 9, pulang-pulang udah nggak kuat ngeliat notebook. AMPUN.  Ternyata kalau “bekerja” jadi penulis tidak sesantai yang gue bayangkan: deadline, revisi, mikirin judul atau tema, konsep per paragraf, dan lain sebagainya.  Alhasil gue lelah memeras otak ini. Makanya gue nggak meluangkan waktu untuk begadang dan ngerjain peer seperti biasanya. Selain tugas kuliah, gue juga menelantarkan organisasi, HIKS! Masalah yang terjadi selama 3 bulan terakhir ini membuat gue bener-bener lelah. Gue sampai merasa jadi orang yang “nggak sanggup”. Di mana letak “Man Jadda wajada” yang selama ini gue ingat sebagai motivasi? Akhirnya, gue “cuti” organisasi beberapa lama, walau dibilang nggak bertanggungjawab, atau apalah, yaudah gue nerima aja. Gue beneran “nggak sanggup”. Tapi gue akan tetep berusaha nyari solusi supaya gue keluar dari permasalahan gue dan bisa aktif lagi. Gue sedang berusahaaaa!
Alhamdulillah, Allah selalu tahu dan memberi petunjuk atas segala permasalahan, Man Shabara Zhafira (Siapa yang bersabar, ia akan beruntung). Gue mau bilang makasih buat Abdul Asman, Kak Elvera, Kak Ajeng, yang sudah membantu gue untuk bisa bayar kuliah dan kontrakan rumah :’) makasih juga buat Dessy Indah, Fanni, Diah, Dyah, Dian, Erin, dan temen-temen lain yang nggak bisa disebutin satu-satu yang udah nyemangatin gue!


Magang gue pun berakhir tanggal 11 Mei. Yeaaaay! *lho. Gue jadi bisa kerja full time lagi biar bisa makan enak bayar kuliah dan sebagainya. Semoga Sandra segera mendapat pekerjaan kembali, Ya, Allah, Aamiin. Permasalahan selesai satu per satu, akhirnya gue pun lambat laun agak “kosong”, Alhamdulillah.
Tibalah kemarin (08 Mei 2015) gue udah siap menerjang masalah yang gue “simpen” alias gue tinggalkan beberapa lama: organisasi. Gue ke kampus pulang kerja, untungnya nggak ada dosen, jadi gue bisa langsung ketemuan sama petinggi organisasi yang gue maksud: Adit dan Saqoh.


Jujur sebenernya, sih, gue kangeeen sama mereka! HAHA. Udah lama banget kayaknya nggak ngumpul bareng lagi. Tapi malam itu kami bertemu kembali, yeay! Awalnya gue ketemu sama Saqoh, terus Adit baru dateng.
“Lo pake bedak, ya, San?”
Gue diem.
“Iyalah, Dit. Sandra, kan, juga pengen cantik.”
*ketawadalemhati*


Padahal gue yang tomboi (baca: nggak feminim) ini juga pake bedak mulu kali. Tapi, semalem gue lengkapin sama BB Cream juga, tone warna kulit wajah gue jadi merata (ini bukan iklan, kok) HAHA.
Lanjut. Gue dan mereka berdua mengutarakan segala isi hati kita masing-masing, wkwk. Nggak deng, kami problem solving tentang organisasi yang kami emban. FYI, tadinya, sih, gue mau ntraktir dengan uang gue yang sungguh pas-pasan, tapi ternyata Saqoh lagi kerja kelompok dan temen-temennya bawa makanan banyaaaak, HAHA. Alhasil, gue pun menumpang makan dari kumpulan makanan itu.


Selain ngobrol, gue juga sedikit-sedikit bantuin Saqoh ngerjain tugas PowerPoint-nya. Bukan, gue bukan bantuin ngerjain tugas teknik yang jelas-jelas gue nggak ngerti-ngerti banget. Tapi gue bantuin bikinin animation-nya. HAHA.


Setelah ngobrol, makan makanan orang, dan lain-lain, gue buka Youtube buat nonton Coolyah, salah satunya yang edisi Komeng lagi ngeliat pameran mobil di Jerman. Coolyah itu semacam acara yang dibuat sama students Jerman tentang aktivitas mereka selama di Jerman, dan itu kereeeen abisssss! Semoga kelak bisa kayak mereka, Aamiin.


Abis Youtube-an, gue, Adit, dan Saqoh pun berniat karaokean ala kami. Kami pun meng-cover lagunya Tulus yang judulnya “Teman Hidup”. Berkat instrumennya, cover-an kami jadi kayak cover-an-nya Gitasav-Paul-tapi-nggak-mirip. Eh, Saqoh sebagai pemain gitarnya, deng (ceritanya doang). Check this out, guys!



Gimana? Nggak mirip sama cover-an-nya Gitasav-Paul, kan? wkwk. Yang penting pede aja dulu, ye, kan? HAHA.


Setelah mengeluarkan suara ambigu kami, kami pun pulang ke rumah masing-masing dengan penutup kata, “hati-hati”, lalu melaju bersama motor masing-masing.
Sekian cerita gue. Senangnya bisa posting 1 tulisan di blog yang udah lama nggak diurus (sayang udah bayar domain soalnya) HAHA.
Makasih, semuaaaa! (kayak yang baca banyak gitu)
Have a nice world! ^^