Seorang
anak perempuan berumur 9 tahun berdiri di tepi balkon lantai 2 rumahnya. Anak
itu bernama Alya. Anak itu menengadahkan kepalanya, matanya melirik ke kiri dan
ke kanan, seolah sedang mencari sesuatu. Lalu tiba-tiba terdengar suara tak
dikenal dan tidak diketahui dari mana asalnya.
“Kamu sedang apa? Mengapa belum tidur?”
“Hah? Kamu bisa bicara, Bulan?”
“Sssttt. Ini rahasia kita, ya. Aku memang bisa bicara. Hm, aku perhatikan kamu
sejak tadi seperti mencari sesuatu. Kamu mencari apa?”
“Aku mencari kamu, Bulan.”
“Wah, ada apa kamu mencariku? Aku sejak tadi di sini, kok.”
“Hehe. Aku senang kamu ada dan tidak terhalang awan malam ini. Aku hampir
setiap hari berdiri di sini setiap malam untuk memandangmu.”
“Benarkah?”
“Ya, aku sangat kagum padamu. Aku memiliki impian untuk bisa seperti dirimu,
Bulan. Aku ingin sekali menjadi sang terang benderang di tengah kegelapan.”
“Bukankah aku tidak selalu terang?”
“Tentu. Itulah keindahan. Terkadang ada, tapi terkadang menghilang. Tapi aku
senang karena indahnya kamu adalah kejutan buatku.”
“Aku juga tidak selalu bertubuh utuh. Apa kamu tetap mendapatkan keindahan?”
“Ya, tetap. Aku senang dengan sabitmu, seperti senyuman manis. Juga dengan
setengahmu, membuatku penasaran untuk mengintip dirimu yang setengahnya lagi.
Begitu pun dengan penuhmu, purnama. Purnamamu sangat cantik. Kamu cantik,
Bulan.”
Bulan tertawa kecil. Kemudian suasana hening sejenak.
“Tapi jika kamu mendekatiku, kamu akan melihat aku dengan sangat jelas. Maaf,
aku tidak sesempurna itu. Jika kamu menghampiriku, kamu akan melihat
lubang-lubang atau kawah yang ada pada diriku. Jika sudah begitu, apa kau masih
mau berdiri di sana setiap malam?” ucap Bulan dengan nada yang semakin lama
semakin melemah.
“Bulan, aku bukan hanya mengagumimu, tapi aku benar-benar menyukaimu, jadi aku
akan menerima kekuranganmu. Setiap hal punya kekurangan. Manusia juga begitu,
Bulan. Aku cerita sedikit, ya. Manusia itu bisa merasakan suka, cinta dan dapat
saling menyayangi. Aku ingat ayah dan ibuku. Mereka bisa saling menyayangi
karena mereka menerima kekurangan satu sama lain, bukan hanya karena melihat
kelebihannya saja.”
“Wah, indah sekali.”
“Seindah sinarmu, Bulan.”
Kepala Alya yang masih menengadah, digerakkan ke kiri dan ke kanan. Ia pun
bertanya, “Di mana Bintang-Bintang?”
“Ada, tapi tak nampak.”
“Mengapa begitu?”
“Kamu berada di perkotaan yang banyak menghidupkan lampu-lampu, jadi
Bintang-Bintang sulit terlihat karena adanya polusi cahaya.”
“Huft. Padahal kamu terlihat tambah sempurna bila bersama Bintang. Oh, ya,
kalau boleh tahu, bagaimana perasaanmu setiap bersama Bintang? Aku penasaran.”
“Perasaanku bahagia. Aku tidak hanya sendiri di langit ini. Aku punya sahabat
yang menemaniku dan menjadikan langit lebih indah lagi.”
“Bintang itu kan banyak. Apakah kamu memiliki sahabat Bintang paling akrab?”
“Hmmm. Aku memang bersama banyak bintang, tapi sebenarnya, ada 1 bintang yang
paling istimewa bagiku.”
“Bintang apa itu?”
“Hehehe. Maaf, itu rahasiaku.”
“Ternyata Bulan juga punya rahasia, ya?”
“Bukankah yang namanya misteri itu ada? Aku pun punya misteri.”
“Benar. Oh, ya, terima kasih, Bulan, sudah mau berbicara padaku malam ini.”
“Ingat, ya, percakapan kita malam ini adalah rahasia. Jangan ceritakan pada
siapapun.”
Tiba-tiba Ibu Alya datang, berdiri di belakang Alya.
“Kamu belum tidur?”
Entah Ibu Alya mendengar percakapan Alya dengan Bulan atau tidak, namun
kemudian Ibu Alya ikut menengadah.
“Bulannya indah, ya, cerah sekali. Kamu juga harus bisa seperti Bulan, Alya,
dapat menenangkan hati semua orang yang melihatnya.”
Alya tersenyum tanpa berkata apapun, sudut matanya melancip.
“Aku pasti bisa jadi bulan,” batin Alya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar