Tahun
2012, saat sedang booming-booming-nya
Film Negeri 5 Menara, saya dan teman-teman saya berencana untuk menonton film
itu. Salah satu teman saya bernama Ani, menjelaskan saya sekilas trailer film itu. “Yuk, San, kita nonton
Negeri 5 Menara, ceritanya bagus, pokoknya di akhirnya mereka bisa berada di
dekat menara masing-masing negara impian mereka. Pemainnya ada orang blasteran,
namanya Gazza Zubizareta,” kata Ani di bangku sebelahku.
Maka
saya, Ani, dan beberapa teman lainnya pun menuju Mall yang paling dekat dengan
sekolah. Kami ke sana sepulang sekolah dengan baju seragam putih abu-abu yang
masih kami kenakan. Sebenarnya, uang saya sangat pas-pas-an. Saya sampai tidak ikut makan sembari menunggu
bioskopnya buka (kami terlalu cepat datang), saya hanya duduk di depan bioskop
bersama Ani. Hanya duduk.
Film
dimulai. Saya yang saat itu masih sangat jarang nonton bioskop sudah pasti
tercengang-cengang karena gambar dan suara yang amat jelas. Bukan hanya karena
gambar dan suaranya, tapi ceritanya sungguh menggetarkan hati.
Saat
itu kebetulan saya kelas 3 SMK. Saya akan lulus dan sedang menentukan pilihan
selanjutnya. Sebagai anak SMK, pilihan hidup setelah sekolah ada 2, kerja atau
kuliah (atau menikah? Hehe). Sungguh saya bingung sekali. Saya sebenarnya ingin
sekali kuliah, tapi saya sangat mengerti keadaan dan kondisi ekonomi keluarga,
maka saya berusaha keras untuk
mengurung niat itu. Kata Ibu, saya harus bekerja, harus.
Setelah
menonton film Negeri 5 Menara, saya memikirkan sesuatu. Saya teringat akan
mantra “Man Jadda wajada”: siapa yang
bersungguh-sungguh, ia pasti akan berhasil. Bukan siapa yang paling tajam,
tapi siapa yang paling bersungguh-sungguh. Saya juga ingat dengan adegan Alif
yang pantang menyerah, walaupun masuk Pondok Madani bukanlah keinginannya, ia
tetap menjalani kehidupannya di sana. Hal yang membuat saya kagum adalah saat
Alif menetapkan untuk masuk ekstrakulikuler Majalah Syams. Entah kenapa saya
merasa ada yang menggetarkan hati saya saat melihat kegigihan Alif menjalankan
tugasnya di ekstrakulikuler itu. Dari ketidaknyamanannya di Pondok Madani, Alif
masih bisa berpikir untuk mengikuti ektrakulikuler yang ia sukai. Bahkan di
akhir film, ia dan teman-temannya benar-benar bisa berada di negara impian
mereka. Saya berpikir begini: tidak apa
jika kita mendapat sesuatu yang tidak sesuai dengan mau kita, karena sebenarnya
kita masih punya celah dan kesempatan untuk menikmati sesuatu yang kita inginkan. Dan semua yang kita terima, akan bermanfaat
kemudian, sepahit apa pun itu.
Lalu
jika dikaitkan dengan kehidupan saya? Saya tidak bisa berkuliah tahun itu. Berkali-kali
saya jelaskan tentang mimpi-mimpi saya pada Ibu, tetap saja tidak bisa. Saya
juga sadar, seharusnya saya mencari uang saja, karena sampai SMK saya sudah
dibiayai sekolah oleh Ibu saya yang berjuang mencari nafkah sendirian (tanpa
suami). Akhirnya saya memutuskan untuk bekerja. Saya melamar dan ikut tes sana-sini.
Kemudian bulan Mei 2012, saya diterima bekerja di perusahaan swasta kecil
menengah di kota Bekasi.
Pengumuman
SNMPTN tiba, dan saya benar-benar gagal kuliah. Saya memilih Universitas
Indonesia dan Universitas Negeri Jakarta, dan tidak lolos di kedua tempat itu. Saya
benar-benar gagal saat itu.
Saya
menjalani kerja dengan setengah hati. Sungguh tidak mengasyikkan. Tiap pagi
bangun, siap-siap, berangkat, kerja sampai sore, lalu pulang. Begitu terus dari
hari Senin sampai Jum’at. Hari Sabtu dan Minggu adalah waktu saya mengurung
diri di rumah, saya tidak punya teman selain teman-teman di sekolah. Susah jika
ingin bertemu dan bermain dengan mereka, mereka sudah sibuk dengan kehidupan
mereka masing-masing. Dan tentu saja di antara mereka ada yang sudah jadi anak kuliah, membuat saya iri tak
karuan. Tidak boleh, tidak boleh,
batin saya.
Beruntungnya,
saya punya handphone dan notebook yang spesifikasi untuk
internetnya cukup baik. Jadi saya selalu mencari tahu tentang SBMPTN. Sebenarnya
saya belum benar-benar merelakan Universitas Negeri. Saya masih ingin mengikuti
SBMPTN. Tapi sampai pada hari SBMPTN tiba pun saya tetap tidak ikut. Saya masih
bimbang dengan keadaan yang tidak memungkinkan. Kemudian saya berniat untuk
mengikuti SNMPTN atau SBMPTN tahun depan, tahun 2013.
Saya
mengikuti TO yang diselenggarakan UI dan bertempat di salah satu SMA Negeri Bekasi.
Jujur, sebenarnya saya linglung. Saya
ikut TO hanya bersama satu teman saya yang sebaya. Selebihnya adalah anak-anak
yang masih SMA/SMK. Nekat betul saya!
Saya
sering sekali menghabiskan waktu untuk mencari informasi seputar SBMPTN, atau
tentang “anak kuliah”. Saya penasaran: Apa,
sih, yang anak kuliah lakukan? Tujuan jadi anak kuliah itu apa?
Kemudian
saya menemukan novel “Ranah 3 Warna”. Novel itu saya temukan di toko buku. Novel
itu bukan pertama kalinya saya lihat. Tapi dulu –saat masih sekolah, saya belum
bisa membeli novel itu dengan uang saya sendiri. Maka saya baru bisa membelinya
saat sudah bekerja.
Saya
bawa pulang novel itu, dan sungguh mengejutkan! Novel kelanjutan dari cerita
film Negeri 5 Menara yang pernah saya tonton ini sesuai dengan keadaan saya. Saya
membaca novel itu setiap pulang kerja. Saya jadi lebih semangat bekerja, hmmm, semangat
untuk cepat-cepat pulang dan bisa membaca novel itu sampai habis. Dan, sungguh
menakjubkan!
Saya
masih bersemangat ikut SBMPTN. Saya masih mencari tahu tentang anak kuliah. Saya masih searching universitas dan jurusan yang
sesuai. Saya masih mendalami novel Ranah 3 Warna.
Kemudian...
Otak
saya berpikir keras. Kalau masuk
Universitas Negeri, kerjanya ditinggalin, dong? Kalau kuliah doang, nanti
biayanya dari Ibu semua? Nggak kasihan? Kalau kuliah jauh-jauh, ninggalin Ibu
sendirian, dong? Kalau jadi anak kos memangnya bisa?
Ya
Allah..............
“Man
Shabara Zhafira”: siapa yang bersabar, ia
pasti akan beruntung. Kalimat di novel Ranah 3 Warna memang membuat saya
serasa jleb. Saya harus sabar. Saya tidak
boleh egois. Saya tidak boleh mengeluh terus: ‘saya mau kuliah, saya mau kuliah’.
Kisah
Alif di novel Ranah 3 Warna lebih menegangkan dari film Negeri 5 Menara. Cobaannya
makin banyak. Rintangan silih berganti. Hal yang membuat saya kagum dari kisah
itu adalah saat Alif berusaha mengirimkan tulisannya ke media cetak koran dan
dibimbing oleh seniornya. Lagi-lagi, entah kenapa saya merasa hati saya
bergetar. Apalagi saat Alif bisa ke Kanada, sungguh keren! Dan cerita tentang
ayahnya, membuat saya merindukan ayah saya yang juga sudah pergi jauh. Lengkap sekali.
Dari
cerita-cerita itu membuat saya merasa saya harus lebih kuat. Saya pasti bisa
mendapatkan sesuatu yang saya inginkan bila saya berusaha sungguh-sungguh dan
juga bersabar. Kisah Ranah 3 Warna sukses menyemangati dan memotivasi.
Lalu
di saat menjelang bulan SBMPTN, saya membeli novel pelengkap Trilogi Negeri 5
Menara: “Rantau 1 Muara”.
Spesial
dan istimewa sekali untuk saya. Setelah kisah perjuangan Alif jadi sarjana, novel
Rantau 1 Muara menceritakan kisah Alif yang sudah bekerja, dan pekerjaan Alif
sangat menggiurkan. Lagi-lagi, entah kenapa saya merasa hati saya bergetar. Alif
bekerja sebagai jurnalis. Alif juga mendapat beasiswa dan bekerja di Washington
DC. Alif mendapatkan pasangan hidupnya dan kisah Alif-Dinara terasa so sweet!
Sementara
itu, setelah beberapa lama saya mencari, menimbang, dan menelaah lebih dalam,
saya membuat suatu keputusan. Saya akan tetap bekerja, tapi saya juga akan
tetap kuliah. Impian saya, menjadi seorang mahasiswi, harus tetap tercapai. Akhirnya
setelah browsing dan bertanya-tanya
seputar universitas dan jurusannya, saya membuat suatu keputusan.
Saya
tidak jadi mengikuti SBMPTN 2013. Saya akan bekerja sambil kuliah di Universitas Swasta di Bekasi, mengambil
jurusan Ilmu Komunikasi, kelak akan mengambil konsentrasi Jurnalistik. Saya
ingin jadi jurnalis, seperti Alif.
***
Ya,
itulah yang saya alami selama memahami isi Trilogi Negeri 5 Menara (walaupun novel
Negeri 5 Menara tidak saya baca, hanya menonton filmnya). Pada akhirnya, saya
mengetahui “Man Saara Ala Darbi Washala”: siapa
yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan.
Saya
mengerti mengapa hati saya selalu bergetar menonton dan membaca cerita Alif
saat berusaha menulis. Ternyata menulis adalah keinginan saya, impian saya. Saya
sekarang sudah menjadi mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi. Alhamdulillah,
cita-cita saya menjadi mahasiswi sudah tercapai. Dan saya memiliki cita-cita
selanjutnya. Saya ingin menjadi jurnalis dan juga, hmmm, penulis! Ingin seperti
author of Trilogi Negeri 5 Menara, A.
Fuadi.
Bismillaahirrahmaanirrahim!
Semoga
saya bisa terus berusaha dan gigih mencapai cita-cita saya selanjutnya, semoga
cita-cita saya menjadi nyata, juga cinta saya, Aamiin. Allahu Akbar!
Man Jadda wajada!
Man Shabara Zhafira!
Man Saara Ala Darbi Washala!