“La, Gara sama siapa, tuh?”
“Gue juga nggak tahu,” jawabku sambil menaikkan bahu.
Kami membuka pintu restoran dan langsung menghampiri Anggara yang berkemeja coklat.
Anggara yang melihat kami pun memanggil. “Rena, Sheila, kesini!” kata Anggara sambil mengayunkan tangan.
Sesampainya kami di meja yang ditempati Anggara, aku dan Rena menggeser kursi lalu duduk.
“Assalamu’alaikum, Ra,” sapaku.
“Wa’alaikumsalam. Apa kabar, La? Udah satu tahun nggakketemu. Lo tambah kurus kelihatannya, La. Hehe.”
“Alhamdulillah, baik, Ra. Gue kurusan? Hahaha.”
“Haha. Lo juga apa kabar, Ren? Wah, gue kangen sama teriakan lo manggil nama gue. Hehe.”
“Gue baik, Alhamdulillah. Pasti di sana nggak ada orang yang teriakannya sekencang gue, ya?”
“Bisa jadi, Ren, bisa jadi. Oh, ya, kenalin temen gue dari Bandung, namanya Wisnu dan Aca. Mereka mau tahu Bekasi, makanya gue ajak kesini.”
Aku dan Rena pun berkenalan dengan Wisnu dan Aca. Aca menyebutkan namanya sambil tersenyum, ia terlihat cantik dengan tatapan mata dari balik kacamatanya. Wisnu pun memperkenalkan dirinya dengan logat suara yang kental bahasa Sunda.
“Kalian teman kampus Anggara, ya?” tanyaku.
“Iya, satu jurusan juga,” jawab Wisnu.
Pelayan menghampiri kami, lalu meletakkan lima piring berisi pancake coklat di atas meja.
“Setelah ini, kita ke rumah Sheila, yuk!” ajak Anggarasambil menyendok pancake.
Rena berseru, “Ayo!”
“Ayo! Eh , tapi bukannya kalian nggak bawa kendaraan?”
“Kita naik angkutan umum aja, kalian boleh duluan, kok,” usulAnggara.
“Oke.”
Aku dan Rena menaiki motorku setelah Anggara, Aca, dan Wisnu memberhentikan mobil angkutan umum. Aku dan Rena memutuskan untuk melaju di belakang mobil angkutan umum itu, supaya tetap berbarengan menuju rumahku. Jalan menuju rumahku ada yang memang cukup bagus, di kiri dan kanan jalan terdapat sawah yang hijau membentang. Aku melirik ke arah dalam angkutan umum, aku melihat Anggara dan Aca sedang berbincang. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, yang aku tahu mereka terlihat sangat akrab.
“Di sini juga masih ada sawah, ya?” tanya Aca sambil memandang keluar jendela mobil.
“Iya, Ca. Kalau jalanan ke rumah Sheila, memang masih ngelewatin sawah-sawah.”
“Kiraim di kota besar dekat Jakarta ini, udah nggak ada sawah, kirain cuma gedung, ruko-ruko, dan perumahan aja.”
“Ruko-ruko juga banyak, sih, coba aja lihat itu, itu ada ruko-ruko dengan gedung bercorak luar negeri, tapi kalau dilihat dari sini, ruko-ruko itu kayak ada di belakang sawah,” jelas Anggara sambil menunjuk ruko-ruko dan sawah yang dimaksud.
“Pemandangan yang keren, ya, Ra. Haha.”
“Haha. Iya, nggak kalah keren sama Bandung.”
Aca hanya tertawa kecil.
Aku masih mengendarai motorku. Aku rasa, aku sedang tidak baik-baik saja. Aku merasa takut. Rasanya aku ingin segera menghilang namun itu tidak mungkin. Aku ingat saat masih sekolah, Anggara hanya dekat dengan dua anakperempuan, yaitu aku dan Rena. Tapi sekarang, aku tahu ada yang lain. Mungkin saja mereka sudah dekat dari setahun yang lalu. Dekat dengan perempuan itu, tanpa Rena dan aku.
Kau ajarkan aku bahagia
Kau ajarkan aku derita
Setelah bertemu dengan Anggara, Aca, dan Wisnu langsung akan kembali ke Bandung.
“Kemarin gue udah ketemu sama ibu bapak. Hari ini gue udahketemu kalian. Maaf, ya, gue cuma dua hari aja di Bekasi, soalnya gue udah mulai kuliah lagi.”
“Iya, Ra. Lo hati-hati, ya! Kalian juga hati-hati, Aca, Wisnu!” kataku.
“Iya, terima kasih, La. Seneng bisa kenalan dan main ke sini,” ucap Wisnu.
“Kapan-kapan boleh main lagi, ya? Hehe,” kata Aca.
“Boleh, boleh,”
Aku membuka pagar dan mempersilakan Anggara, Aca, dan Wisnu keluar rumah.
“Assalamu’alaikum, La,”
“Wa’alaikumsalam, Ra. Hati-hati, ya!”
“Iya. Sampai ketemu lagi, La!” ucap Anggara.
Lambat laun Anggara, Aca dan Wisnu menghilang dari pandanganku. Aku pun berkata pada Rena, “Sayang banget Gara cuma ke sini sebentar, padahal masih pengen main bareng,”
“Iya, La. Mungkin nanti kita bisa main bareng lebih lama. Kangen banget sama Gara.”
“Iya bener, Ren. Tapi udah seneng banget, kok, akhirnya kita bisa ketemu.”
“Alhamdulillah. Gue juga seneng, La. Oh, ya, besok kita ke mal, yuk!
“Mau ngapain? Nonton?”
“Iya, ada film bagus, loh. Film yang diambil dari bukunya penulis buku komedi. Pasti lucu, deh!”
“Boleh, tuh, ayo!”
“Oke. Eh, ya, ini ada coklat buat kamu, La,” kata Rena sambil memberi sekantung coklat berbentuk payung kecil dan koin.
“Wah, terima kasih, ya, Ren. Aku suka banget.”
“Hehe. Sama-sama. Yaudah, besok aku ke rumah kamu lagi, ya. Aku pulang dulu,” ucap Rena sambil berjalan keluar rumahku.
“Iya, Ren. Hati-hati di jalan, ya!”
“Assalamu’alaikum, La.”
“Wa’alaikumsalam.”
Aku tersenyum sambil melihat sekantung coklat yang diberikan Rena. Aku merasa lebih tenang dari sebelumnya. Rena memang sahabat yang baik, dia bisa meredakan rasa sedihku.
Layaknya luka yang telah terobati
Bila kita jatuh nanti, kita siap tuk melompat lebih tinggi!
Bersama kita bagai hutan dan hujan
Aku ada karna kau telah tercipta….
***
“Raditya Dika-nya itu, Ren, ekspresinya bikin ketawa terus.Hahaha.”
“Iya, La. Ceritanya juga lucu banget. Hahaha. Abis ini kita makan, yuk!”
“Yuk!”
Kami memasuki salah satu restoran cepat saji. Kami mengantre lalu memesan makan dan minum. Saat kasir memberitahu nominal harga makanan dan minuman kami, aku langsung mengambil dompet dari tasku. Rena pun berkata, “Nggak usah ambil uang, La. Ini sekalian pakai uang gue aja.”
“Ceritanya traktir, ya, Ren? Hehehe. Terima kasih, ya.”
“Iya. Hehehe.”
Setelah beberapa menit menghabiskan makan dan minum, kami berjalan menuju studio photobox. Renalah yang mengajakku, aku pikir ini pertama kalinya Rena mengajakku photobox.
“Lo yang pilih background-nya,ya, La!” ucap Rena saat kami sampai di depan pintu studio.
“Gue? Yaudah, nanti gue pilih yang lucu. Hahaha.”
Setelah kami memasuki studio dan ber-photobox dengan gaya kami masing-masing, lagi-lagi Rena yang membayarnya.
“Makasih lagi, ya, Ren. Hari ini seru banget. Hehehe.”
“Sama-sama, La. Eh, kita duduk di situ dulu, yuk!”
Lalu Rena mengajakku duduk di tempat duduk peristirahatan mal.
“La, kemarin pagi gue dapat kabar dari ayah gue, ayah guemau pindah rumah, La.”
“Pindah? Ke mana?”
“Ke Bogor, La. Ayah gue juga pindah kerja di sana.”
“Kok, pindah, Ren?”
“Kantor ayah gue buka cabang baru di Bogor, dan ayah gue harus pindah kerja ke sana.”
“Berarti lo juga pindah, dong, Ren?” tanyaku dengan wajah menunduk.
“Iya, La.”
Sahabat sejatiku hilangkah dari ingatanmu
Di hari kita saling berbagi
Dengan kotak sejuta mimpi aku datang menghampirimu
Kuperlihatkan semua hartaku
Kita slalu berpendapat, kita ini yang terhebat
Kesombongan di masa muda yang indah
Aku raja kau pun raja
Aku hitam kau pun hitam
Arti teman lebih dari sekedar materi
***
Sekantung coklat dari Rena belum habis, sama seperti rasa manis yang masih terasa dalam persahabatan aku dan Rena. Aku melanjuti makan coklat sambil berbaring di tempat tidurku. Radio yang sengaja kuhidupkan melantunkan sebuah lagu:
Melihat tawamu, mendengar senandungmu
Terlihat jelas di mataku, warna-warna indahmu
Menatap langkahmu, meratapi kisah hidupmu
Tegaskan bahwa kamu, anugerah terindah yang pernah kumiliki
Sifatmu kan slalu, redakan ambisiku
Tepikan khilafku dari bunga yang layu
Saat kau di sisiku, kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu, anugerah terindah yang pernah kumiliki
Seolah lagu ini mengerti perasaanku. Sejenak aku merenung. Mengapa aku harus merasa sedih saat Anggara dan Rena pergi ke kota lain? Mengapa aku harus takut kehilangan sahabat seperti mereka? Mereka dan semua hal yang telah terjadi dalam hidupku adalah anugerah, anugerah terindah yang pernah kumiliki, harusnya aku mensyukurinya, Alhamdulillah…
***
Kembali pada masaku saat ini…
Aku masih memandang pohon-pohon yang melambai-lambai. Aku menengadahkan kepalaku dan memandang ke atas, namun belum ada bintang. Aku sadar, kemanapun pikiranku melayang di langit luas, aku tetap saja kembali pulang, kembali ke bait pertama. Bait dimana aku pertama kali bertemu, menyapa, tersenyum, dan memanggil. Tiba-tiba langit menjatuhkan sesuatu, ternyata hujan turun.....
Sekuat kaki ini kucoba berlari
Tetapi hati ini menuntunnya kembali
Ke bait pertama, ke bait pertama
Bersambung...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar