Sebenarnya "Sheila - Part III" ini sudah ada di tahun 2013, tapi baru diposting di blog tahun 2014 ini. Hehehe.
Jadi, inilah ENDING-nya:
Sejenak melepas
lelah
Kau tinggalkan
diriku
Waktu hujan
turun…..
Di sudut gelap
mataku, begitu derasnya
Kan kucoba
bertahan
Satu tahun
kemudian…
Aku
melihat titik-titik air menempel pada luar kaca jendela kamarku. Aku masih
bingung dengan keadaanku sekarang. Sepi. Sunyi. “Huuuh,” tarik panjang nafasku.
“Sheilaaa!”
“Iya,
Ma. Ada apa?” sahutku mendengar ibu memanggil.
“Ikut
mama, yuk! Ke TK-nya adikmu!” ajak ibuku yang berjalan menghampiriku.
“Memang
mau ngapain, Ma?”
“Mau
rapat acara perpisahan TK sama guru-guru dan orang tua murid.”
“Oh…
Ayo, Ma!”
***
Ibuku
masih berada di dalam ruangan bernama Dandelion. Aku duduk di sebuah ayunan
sambil menikmati es krim coklat yang aku beli di tukang es krim keliling. Ibuku
yang sudah selesai, keluar ruangan.
“Gimana,
Ma, rapatnya? Jadinya perpisahan ke mana?”
“Perpisahannya
ke Bogor.”
“Waaah,
bisa ketemu sama Rena, dong, Ma, hehehe.”
“Tapi
yang boleh ikut perpisahan cuma anak murid dan salah satu orang tua aja, La.”
“Yaaah…”
“Memangnya
kamu udah nggak hubungin Rena lagi?”
“Bukannya
udah enggak hubungin, Ma. Tapi aku juga suka nggak sempet. Aku sekarang kan
udah kuliah, lebih tepatnya kerja sambil kuliah. Kalau ada waktu senggang, aku
manfaatin buat ngerjain tugas kuliah atau kerja yang belum selesai. Aku egois,
ya, Ma?”
“Kamu
bukan egois, La. Itu semua kan memang kewajiban kamu. Rena juga bisa paham
keadaan kamu, kok. Memangnya Rena sendiri nggak hubungin kamu?”
“Nggak,
Ma, dia sibuk kuliah. Dia ikut organisasi di kampusnya, jadi mungkin dia juga
nggak sempet, Ma.”
“Kalau
Anggara gimana?”
“Sama
kayak Rena, Ma.”
“Nah,
kalian semua punya tugas masing-masing. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan.
Perpisahan bukan berarti sebuah akhir. Perpisahan itu saat kita akan memulai
hal baru. Kamu juga, perpisahan kamu sama Rena dan Anggara bukan akhir, tapi
awal kalian nemuin hal baru. Nemuin cara baru bagaimana persahabatan kalian
tetap berjalan baik.”
Aku
tersenyum dan berkata, “Iya, Ma. Makasih, ya, Ma…”
Mencoba dewasa
Mencoba berubah
Mohon dampingilah
Jangan tinggalkan
Tak terbayangkan
jika kau pergi
Kau alasanku untuk
dewasa
***
Kuawali hariku
dengan mendo’akanmu agar kau slalu sehat dan bahagia di sana.
Sebelum kau
melupakanku lebih jauh, sebelum kau meninggalkanku lebih jauh.
Ku tak pernah
berharap kau kan merindukan keberadaanku yang menyedihkan ini.
Ku hanya ingin
bilang kau melihatku kapanpun dimanapun hatimu kan berkata seperti ini…..
….pria wanita
inilah yang jatuh hati padamu...
Matahari
sudah tenggelam. Aku bergegas ke arah tempat parkir. Sebelum menemukan sepeda
motorku, handphone-ku bergetar. SMS masuk sepertinya. Aku menghentikan
langkahku dan sejenak membaca SMS
yang masuk.
Anggara.
Nama
itu yang menjadi pengirim SMS ini.
Aku langsung berbalik dan keluar tempat parkir, mencari tempat duduk yang
biasanya ada di luar gerbang tempat parkir, tempat duduk dekat Pos Satpam. Aku
duduk dan membaca SMS dari Anggara
dengan pipi yang melebar sedikit, aku tersenyum.
“Assalamu’alaikum,
La. Apa kabar? Maaf baru bisa SMS sekarang. Gimana kerjaan lo di sana? Lo udah
kuliah kan? Kabar ibu lo gimana? Sehat? Sorry, ya, nanyanya banyak, hehe.”
Aku
langsung membalas SMS.
“Wa’alaikumsalam,
Ra. Alhamdulillah baik. Gue masih kerja di tempat yang lama. Sekarang gue udah
pindah ke bagian Accounting, hehehe. Gue udah kuliah, kok. Mama Alhamdulillah
sehat. Hehe, woles aja, Ra!”
Setelah
mengetik SMS, aku masuk lagi ke dalam
tempat parkir, menaiki motorku dan mengendarainya dengan wajah yang lebih
berseri. Aku pun menunggu balasan SMS
dari Anggara…..
Seberapa pantaskah
kau untukku tunggu?
Cukup indahkah
dirimu ‘tuk slalu kunantikan?
***
“Oke. Berarti
besok kita ketemu di restoran pancake, ya! See you, Sheila, Rena!”
Aku
tersenyum sendirian. “Akhirnya bisa ketemuan sama mereka lagi,” gumamku dalam
hati.
Datanglah, sayang…
Dan buat aku tersenyum!
***
“Pesan
pancake coklatnya tiga, ya, Mbak!”
ucap Anggara pada pelayan.
“Lo
pesennya langsung tiga, Ra? Rena kan belum dateng…”
“Nggak
apa-apa. Kalau Rena maih lama, lo aja yang makan, La. Hahaha.”
“Hahaha.
Tahu aja gue memang suka yang berbau coklat.”
Tiba-tiba
ada balita perempuan yang menghampiri kami. Balita ini imut sekali.
“Dek,
sini! Jangan ganggu kakak-kakaknya!” ucap bapak dari anak ini.
Aku
dan Anggara hanya tertawa kecil.
“Ayo,
Dek, ke sini. Pancake-nya udah
dateng, nih! Enak, loh!” bujuk ibu dari balita imut ini.
Anak
ini langsung ke meja bapak dan ibunya dan menunjuk-nunjuk Pancake yang ada di atas meja. Ibunya menggendong dan meletakkan
anaknya itu di pangkuannya, lalu menyuapinya pancake dengan lembut.
“Lucu,
ya!” kata Anggara padaku.
“Iya,
ya. Enak, ya, kalau udah punya suami,” kataku tanpa sadar. Kata-kata itu
terlontar begitu saja.
“Enaknya
apa, La?”
“Nggak
kesepian, ada yang nemenin, punya keluarga baru, bisa cerita-cerita, bisa makan
bareng, banyak deh! Hahaha.”
“Punya
istri juga enak. Dimasakin, ditungguin
pulang kerja, diceritain banyak hal, bisa diajak ke tempat makan favorit, dan
berada satu shaf di belakang gue.”
Pelayan
datang dan membawa tiga piring pancake.
Aku memotong pancake dan menikmatinya
beserta saus coklat yang manis. Anggara belum memakan pancake-nya, bahkan ia belum memegang sendok. Entah apa yang
sedang Anggara pikirkan.
“La….”
panggil Anggara.
“Yaa?”
“Lo
mau nggak jadi pendamping gue?”
“Pendamping,
Ra? Maksudnya?”
“Iya.
Pendamping wisuda gue, La.”
“……….”
Tiba-tiba
Rena datang dan duduk di sampingku.
Now listening in
Pancake Restaurant - Lihat, Dengar, Rasakan, SO7
***
Beberapa tahun
kemudian…
Aku
memandangi selembar foto yang terbingkai dan terpajang di meja. “Ini kan Rena
yang ambil gambar,” kataku sangat pelan. Di foto itu ada seorang perempuan yang
menutupi mukanya dengan boneka beruang bertoga, serta di sampingnya seorang
laki-laki yang juga bertoga dengan senyum yang sangat bahagia. Perempuan itu
aku. Laki-laki itu………. Anggara.
“Sheilaaa,
udah belum beresin kamarnya? Kalau udah, tolong bantuin aku beresin ruang tamu,
ya!” teriak seorang laki-laki dari luar kamar.
“Iya,
Ra… Tunggu, sedikit lagi selesai,” kataku sambil meletakkan foto yang ku pegang
kembali ke tempatnya.
Saat
ini aku sedang berbenah di rumah baruku, bersama Anggara, imamku kini.
Berlayarlah
denganku
Bertumpulah di
pundakku
Bersamaku engkau
tak perlu ragu
Semuanya kan baik
saja
Saat aku lanjut
usia
Saat ragaku terasa
tua
Tetaplah kau slalu
di sini
Menemani aku
bernyanyi
Saat rambutku
mulai rontok
Yakinlah ku tetap
setia
Memijit pundakmu
hingga kau tertidur pulas…..
Tidak ada komentar :
Posting Komentar