Aku mulai muak dengan ini. Berlama-lama di depan layar komputer yang menampilkan angka-angka berderet. Kumpulan angka yang berbaris dengan titik-titik yang memisahkan antara bilangan yang satu dengan bilangan yang lain. Angka yang menunjukkan nominal uang. Kasihannya, aku hanya melihat nominalnya saja, bukan melihat bahkan menyentuh uangnya. Uangnya tidak ada di sini.
Beginilah seorang akuntan, bekerja menghitung uang, tanpa melihat wujud uangnya. Sebenarnya menjadi akuntan bukanlah keinginanku, ini terpaksa karena keinginan Ayah. Aku seorang sarjana akuntansi yang tidak suka pekerjaan monoton, aku lebih suka berkreasi dan menghasilkan suatu karya yang bisa dinikmati orang lain.
“Jangan melamun! Cepat selesaikan laporan keuanganmu sebelum Pak Bos memintanya. Aku sudah memberitahumu, ya! Jangan sampai kamu dimarahi lagi seperti waktu itu. Aku sudah cukup bosan mendengar ocehan marah-marah di kantor ini,” ucap Manager Keuanganku dengan muka yang selalu kusut, melebihi kusutnya baju yang belum disetrika.
Aku memonyongkan bibirku, manyun. Aku pikir, bisa-bisanya dia berkata seperti itu, sedangkan aku juga sama bosannya jika mendengar berisiknya marah-marah Pak Bos, bahkan sama muaknya seperti saat mengamati deretan angka-angka di hadapanku ini. Tapi bisa apa aku, siapa aku?
Jam dinding yang berdetak sendirian menunjukkan waktu pukul 11.30. Istirahat makan siang. Aku bergegas mematikan monitor, tanpa menutup satu pun aplikasi yang terbuka. Masa bodoh lah. Sayang, kan, kalau waktu istirahatku habis beberapa menit hanya karena menutup aplikasi di komputer?
Aku bergegas keluar kantor untuk makan. Tempat makan di perusahaan ini berada di lantai tiga.
Aku bertemu beberapa teman kantor dari departemen lain di tempat makan. Mereka kusapa, basa-basi saja, biar tidak terkesan sombong. Padahal sebenarnya aku agak malas menyapa mereka, apalagi harus duduk dan makan bersama mereka. Terkadang mereka masih membicarakan pekerjaan. Sebenarnya mereka itu tahu waktu tidak, sih? Waktu istirahat, kok, membicarakan pekerjaan? Bukan hanya karena aku tidak mengerti pekerjaan—departemen mereka, tapi kepalaku langsung pening jika mendengar pembicaraan yang berbau pekerjaan. Tolonglah hargai waktu istirahat yang telah diciptakan ini.
Aku memilih makan di meja lain, sendirian. Kulahap menu makanku yang isinya nasi berkuah dengan rendang yang banyak bumbunya, serta beberapa helai daun singkong.
Uh. Daging rendangnya keras sekali. Aku tidak sanggup memotong daging ini dengan sendok makan. Gigiku lebih kuat untuk memotongnya. Tapi masa iya, aku harus memasukkan daging ke dalam mulut dan aku potong-potong dulu menggunakan gigiku? Baiklah, ini agak menjijikkan. Seharusnya koki masakan Padang itu mengerti cara masak daging rendang yang benar. Aku jadi merasa yakin kalau bisa memasak daging rendang lebih baik dari ini. Maklum, Ibuku pintar memasak, dan aku sangat suka ikut kegiatan memasak dengan Ibu. Bahkan sekarang aku memanfaatkan waktu libur –Sabtu Minggu untuk memasak makanan pesanan orang.
Nasiku hampir habis. Aku malah memperhatikan piringku yang hampir kosong. Apa ini?
Aku terkejut melihat sesuatu yang aku kira menemplok di piring. Seekor lalat hitam kecil di pinggir piringku, membuat aku berpikir bahwa sepertinya makanan di piring ini menjadi kurang sehat.
Mataku melotot, memperhatikan baik-baik seekor lalat yang membuatku memiliki praduga negatif. Aku saksikan dengan detail lalat itu. Semakin aku memandanginya, lalat ini tidak kunjung pergi. Heran, maka aku sentuh saja lalat itu. Dan....... Sial, lalatnya bukan lalat sungguhan. Ini hanya gambar. Kalau dikira lalat sungguhan bagaimana? Seharusnya bukan piring model seperti ini yang dipakai. Mengundang konsumen yang bisa jadi salah perkiraan.
Tiba-tiba ada yang berbunyi dari dalam kantong celana bahanku. Ada yang menelpon.
“Halo, dengan Bu Mus?” tanya seorang wanita di balik telepon.
“Ya, benar.”
“Saya Ranti, yang kemarin memesan makanan untuk acara ulang tahun anak saya. Masih ingat?”
“Tentu saja, Bu Ranti yang memesan sepaket nasi tumpeng, kan? Ada apa, Bu?”
“Iya, masakanmu dan Ibumu enak, lho! Teman-teman anak saya juga bilang begitu. Nah begini, dua minggu ke depan kantor saya akan mengadakan kegiatan Family Gathering, saya berencana untuk memesan konsumsi padamu. Apa bisa?”
“Wah, sangat bisa, Bu. Kirimkan saja menu apa yang diinginkan, nanti saya beritahu Ibu saya.”
“Terima kasih. Nanti saya hubungi lagi.”
Aku tersenyum semringah. Bangganya jika dipuji masakan aku dan Ibuku enak. Aku merasa sudah melakukan sesuatu yang bernilai untuk orang lain. Apakah ini berlebihan? Aku tidak peduli.
Pokoknya aku merasa berhasil, tidak seperti pekerjaanku sebagai akuntan yang mengundang Pak Bos marah-marah dengan bisingnya. Entah karena aku salah input lah, tidak balance lah, tidak tepat waktu lah.
Ah, ya, omong-omong, sudah waktunya masuk kantor dan bekerja lagi. Sudah 1 jam aku berada di sini.
Aku melangkahkan kakiku dengan gontai, memegang kepalaku yang bersiap-siap akan pening lagi.
Hai, tunggu dulu, bukankah tadi aku merasakan kepuasan? Mengapa tiba-tiba aku tidak bersemangat lagi?
Aku menghentikan langkahku. Menatap beberapa koki yang berlalu lalang.
Salah satu koki itu memasang wajah kusam, ia berbicara dengan suara yang meninggi, “Padahal orang kantoran mah enak cuma tinggal duduk dan menikmati makanan, tapi masih ada saja yang nggak menghabiskan makanannya. Nggak tahu apa, membuatnya, kan, capek? Kalau saya sarjana, sudah dari dulu jadi orang kantoran saja.”
Aku berpikir sejenak, tidak peduli waktu masuk kantor sudah berlalu berapa menit.
Hm, kasihan sekali orang itu, dia malah lebih ingin menjadi orang kantoran. Aku malah ingin seperti dia. Bukankah aku lebih cocok menjadi seorang koki atau pengusaha restoran?! Aku lebih merasa berharga di posisi itu. Mengapa setiap manusia tidak ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai keinginannya, sih?