Ia menatapku begitu dalam, tentu saja membuat aku canggung.
Aku mengangkat sesendok es krim coklat dari mangkuk putih lonjong di depanku, lalu
melahapnya, berharap kecanggunganku tertutupi dengan melakukan ini.
Aku memang sedang di dalam ruangan dengan banyak pengunjung
di dalamnya, namun pikiranku melayang entah ke mana. Aku merasa pikiranku
sedang berkelana, ke tempat yang pernah kusinggahi, tapi aku tidak akan pernah
bisa kembali ke tempat itu. Tempat yang terbayang jelas sosok seseorang yang
sekarang sedang mengintaiku: masa lalu.
“Put, kita mulai cerita baru. Mau, kan?” ucapnya sangat
hati-hati padaku.
Deg. Aku yang duduk di hadapannya terpaku. Aku bergeming. Tidak
sedang menunggu apa-apa, tapi berharap ia tidak menungguku bicara.
Tanpa perintah, penglihatanku samar. Ada yang menghalangi
kedua bola mata. Aku berkedip pelan satu kali, ada yang jatuh dari mata sebelah
kanan, kemudian disusul dari mata sebelah kiri. Perlahan bulir air menghujani
pipiku tanpa suara. Aku merasa berhenti bernafas sesekali. Kemudian selembar
tisu melayang di depan wajahku, dibawa oleh lima jari yang pemiliknya aku
kenal. Telingaku mendengar kalimat dari seseorang yang sedari tadi masih setia
di hadapanku.
“Kok nangis? Malu, ah. Pakai tisu, nih!”
Aku memang menangis, tapi aku mengembangkan senyum. Aneh.
Aku sendiri tidak ingat kapan aku pernah melakukan ini sebelumnya. Menangis dan
tersenyum di waktu yang bersamaan.
“Nggak apa-apa,” kataku seraya mengambil tisu dan mengelap
air yang telah membuat wajahku basah.
Sekarang giliran ia yang tersenyum. Sepertinya ia memang
menungguku menjawab pertanyaannya.
“Apa kamu yakin? Tapi aku, kan, pernah salah?” tanyaku, kini
tidak disertai senyuman, perasaanku lah penyebabnya. Perasaan takut menyerangku
tiba-tiba.
“Setiap manusia pernah salah, kok.”
“Maksudku, aku pernah salah sama kamu. Waktu itu, aku meninggalkanmu
hanya karena lebih memilih orang lain. Aku ini jah..........”
“Sssttt. Jangan menengok ke belakang, Putri! Kita belajar dari masa lalu, perbaiki kesalahan lalu, kita masih punya
masa yang masih suci,” tuturnya dengan tatapan mata yang selalu aku hapal, teduh.
“Aku tidak yakin bisa membahagiakanmu setelah menyakitimu,”
ucapku tanpa menatap matanya. Aku tidak kuat.
Ia menghela nafas. Seolah melepaskan beberapa beban yang ia
tahan sejak awal berjumpa denganku. Dan aku tahu persis beban itu.
“Memang sakit sekali, sih. Tapi entah kenapa rasa sayangku
masih terlalu besar dari rasa benciku. Aku pikir, aku juga yang salah, aku
kurang membahagiakanmu. Tidak seperti, hmmm laki-laki yang kamu pilih saat
itu. Maka aku pikir, membahagiakanmu adalah penundaan. Dan inilah waktu yang tepat membahagiakanmu, setelah kamu bukan milik siapa-siapa.”
“Aku tetap jahat, Arya!” kataku dengan nada yang mulai
meninggi.
Arya menghela nafas untuk kedua kalinya. Sendok di tangannya
tidak mengayun selama berbicara padaku. Es krim di meja kami sama-sama mencair
perlahan, mungkin terkena panas dari energi yang aku dan Arya keluarkan. Baru
kali ini aku tidak menikmati makan es krim. Padahal dulu saat masih “bersama”
Arya, tempat dengan papan nama “Ragusa” di depannya ini adalah tempat makan favoritku. Walau jauh dari rumah kami masing-masing, kami tetap pergi ke sini.
Dan sekarang kami di sini dengan suasana dan kondisi yang jauh berbeda.
“Apakah sebaiknya kita berjalan sendiri-sendiri saja
sekarang? Aku tidak ingin menyakitimu lagi. Sungguh,” ucapku memohon, tapi
tidak sepenuh hati, sebab masih ada sepotong hatiku yang tertinggal padanya.
“Sebentar, aku ingin bertanya dulu.”
“Apa?”
“Anggap saja aku adalah rumah lamamu. Apakah kamu
meninggalkanku karena aku tidak cukup baik untuk melindungimu? Sampai kamu
mencari rumah baru? Aku tahu, Putri, rumah itu tidak salah. Jika sudah merasa
tidak cocok dengan rumah, penghuninya berhak pindah. Tapi apakah kamu lupa, bukankah
rumah itu bisa direnovasi?”
“Hmmm. Iya, benar, aku lupa.”
“Selain manusia pernah salah, setiap manusia juga pernah lupa.”
“Tapi aku lupa dengan sangat bodoh. Aku tidak yakin pulang
ke rumah itu lagi, aku terlalu bersalah.”
“Jangan membohongi diri, Putri. Air matamu saja
menjelaskannya padaku. Air matamu jatuh pertama dari mata sebelah kanan. Itu
berarti kamu menangis karena bahagia. Lain halnya jika air matamu jatuh pertama dari mata sebelah kiri, itu baru kesedihan. Ya, kan?”
Aku menelan ludah. Aku tidak mengerti mengapa Arya selalu
bisa menebak dengan tepat. Percuma saja aku mengelak. Sia-sia aku mengutuk
diriku ini yang sudah terlanjur amat bodoh. Walaupun kisah masa lalu terus
berputar di kepalaku, aku ternyata sangat bahagia saat Arya masih mau
menerimaku, sekarang. Buktinya, air mata saja mengungkapkannya.
Arya tahu aku tidak mau mengutarakan perasaan bahagiaku. Dengan
tenang, Arya memperjelas maksudnya.
“Jika kamu mau memperbaikinya, tetaplah di sini, nikmatilah
es krimmu. Jika kamu masih enggan, maka kamu bisa meninggalkanku di sini,
biarlah kita berjalan sendiri-sendiri seperti katamu. Aku akan berusaha melepaskanmu
untuk kedua kalinya, setidaknya aku sudah agak terlatih untuk itu. Bahkan
mungkin, kelak bisa jadi profesional. Hehe.”
Aku masih diam.
“Put? Bagaimana?”
Aku belum menjawab.
“Put? Put? Putri? Bangun!”
Aku membuka kedua mataku. Samar-samar, kulihat bagian belakang jok mobil, diduduki oleh seorang wanita yang memanggilku.
"Bangun, Putri! Kita sudah sampai di rumah baru."
Sial. Ternyata yang tadi itu hanya mimpi.
"Apa, Bu? Kita pindah rumah?" tanyaku yang baru menyadari ada sebuah kardus di pangkuanku.
Ibuku malah tertawa kecil.
"Nyawamu belum kumpul, ya? Kita, kan, hari ini pindah rumah."
"Kenapa kita pindah?" tanyaku bingung, nyawaku benar-benar belum terkumpul.
"Rumah kita yang lama, kan, sudah nggak cocok untuk kita. Anggota keluarga kita sudah bertambah banyak, sedangkan rumah kita terlalu sempit. Sudah, sekarang kamu bawa barang-barang kamu, kita berbenah!"
Aku memilih terpaku sebentar, memandangi kardus coklat yang tidak terlalu berat di pangkuanku. Isi kardus coklat ini hanya barang-barang sederhana pemberian laki-laki bernama Arya, mantan kekasih yang masih mengikuti pikiranku. Terbesit satu kalimat di kepala: Apa benar cinta bisa kembali pulang?
Kayaknya ada unsur gue-nya nih haha :p
BalasHapus