“Lo masih nungguin dia?” tanya laki-laki yang duduk berhadapan dengan kemudi, sesekali menatap perempuan di sebelah kirinya.
“Hah?” ucap Nia tersentak, seolah tidak mendengar.
Laki-laki itu mengulang pertanyaan walaupun ia tahu sebenarnya Nia sudah mendengar.
“Iya, lo masih nungguin Sigit?”
Perempuan itu menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga sambil mendesah kecil.
“Sampai kapan lo memendam perasaan, Nia? Lo nggak usah mikirin gue,” tutur laki-laki pengemudi itu lalu tertawa kecil.
“Lo kenapa nanya-nanya, sih? Udah nyetir aja!”
“Lho, memangnya kenapa kalau menyetir sambil ngobrol?”
“Nanti lo nggak fokus nyetir! Lo, kan, juga lagi bawa satu nyawa, kalau kenapa-kenapa gimana?”
“Heh, kita itu dikasih otak yang super
hebat tahu! Mestinya otak bisa dipakai buat mengerjakan beberapa
pekerjaan sekaligus, sayang kalau dipakai beberapa persen doang!”
“Wira, please, deh!” kata Nia sebal.
Laki-laki di sebelah kanannya itu memang lebih cerdas darinya, Wira
selalu punya pernyataan yang sulit disangkal.
“Nia, kita harus kayak Albert Einstein,
Thomas Alfa Edison, atau penemu-penemu lainnya, memaksimalkan kinerja
otak. Nah, jadi gue ngelakuin ini supaya…….”
“Setop! Iya, iya! Tapi sebenernya kita
ini mau ke mana, sih? Gue, kan, lo culik tadi, tapi lo nggak bilang kita
mau ke mana, gue telepon polisi, nih!”
“Polisi, kan, nggak kenal gue, buat apa
lo telepon dia. Mending lo jawab pertanyaan gu e yang tadi, deh. Lo
masih nungguin Sigit?”
“Menurut lo?”
“Masih lah! Terakhir gue denger cerita
lo, lo seneng banget bisa ketemu dia di Rabu malam. Lo bilang dia
matanya berbinar banget, dan lo selalu teduh melihatnya. Dari situ gue
tahu kalau lo masih nunggu dia, nunggu dia peka sama lo. Nunggu dia
nggak cuma nganggep lo temen. Ya, kan?”
“Ah, lo sok tahu.”
Wira tertawa lagi. Ia mengemudikan
mobilnya melintasi jalan satu arah yang sepi. Sementara Nia memilih
mengalihkan pandangannya ke jendela, memandang hamparan rumput dan tanah
kosong yang ia dan Wira lalui. Nia berharap pertanyaan Wira tidak perlu
dijawab.
Mobil melaju cukup kencang, lalu
berbelok ke kanan dan melewati jalan yang lebih sempit. Wira menginjak
pedal rem, mobil pun berhenti.
“Kita sudah sampai,” kata Wira dengan nada suara yang hampir tidak terdengar oleh Nia.
“Kita ini di depan rumah siapa?”
“Coba tebak!”
“Gue kenal?”
“Kenal banget lah! Dia juga kenal lo! Keluar saja, temui orang di dalam rumahnya!”
Nia bingung. Tapi ia tetap membuka pintu
mobil, melangkah keluar, dan berjalan dua langkah. Ia memandangi teras
rumah itu. Terdapat satu buah meja dan dua buah kursi yang terbuat dari
kayu. Tiba-tiba Nia melihat seseorang duduk di salah satu bangku itu.
Sigit.
Nia melihat sosok Sigit tersenyum
menghadapnya. Jantung Nia terasa berdegup lebih cepat. Nia melambaikan
tangannya namun tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Baru saja Nia
ingin mendekat, namun dalam hitungan lima detik, Nia malah mengucek
kedua matanya.
“Hah?” teriak Nia sendirian.
Nia langsung terburu-buru ke arah mobil, membuka pintu, langsung duduk, dan menutup pintu dengan tenaga yang cukup kencang.
“Lo kenapa?” tanya Wira panik. Sejauh ia
melihat Nia lewat kaca di hadapannya, nampaknya Nia tidak melakukan
apa-apa selain melambaikan tangan.
Nia diam, namun dengan muka yang amat tegang dan serius.
“Lo tadi melambaikan tangan sama siapa?”
“Gue mau pulang, Ra. Gue takut.”
“Takut apa, Nia? Lo jangan horor, dong!”
“Gue kayaknya udah terlalu menyimpan
perasaan, sampai-sampai gue….. punya ilusi hati yang bener-bener
berlebihan, Ra. Gue takut.”
Wira mengambilkan sekaleng minuman bersoda pada Nia.
“Gue cuma punya ini di mobil, nggak ada air putih. Sekarang lo minum dulu, biar tenang!”
Nia mengikuti perintah Wira. Wajahnya berubah, tidak setegang tadi.
“Gue tadi melihat Sigit di teras rumah
itu. Tapi ternyata gue cuma berilusi, Ra. Sebenernya Sigit nggak ada di
situ. Lagipula itu rumah siapa saja gue nggak tahu. Tadi gue kira itu
rumah Sigit. Wira, kita pulang saja, ya!”
“Nia, sebenernya itu rumah Sigit. Gue memang bawa lo ke rumah dia. Sudah sampai sini, kok, malah minta pulang?!”
“Enggak, tetep saja gue nggak mau, Ra.
Kita pulang saja! Percuma, gue cuma berilusi doang, nggak mungkin dia
mau menyapa gue seperti yang tadi gue bayangin sendiri. Dia nggak
seramah itu sama gue. Gue nggak mau termakan ilusi hati kayak gini, Ra.
Gue tersiksa!”
“Yakin mau pulang?”
“Iya.”
“Lo nggak nungguin dia keluar dari rumahnya?”
“Nggak.”
“Bentar lagi dia keluar kali, tungguin saja!”
“Nggak mau.”
“Sudah sejauh ini, lho!”
“Nggak bisa, Ra. Dia bukan buat gue.”
“Lo nggak usah mikirin gue, gue nggak
apa-apa. Walaupun memang gue sayang banget sama lo, tapi gue tahu lo
menunggu siapa. Gue mau bantuin lo untuk melakukan hal lain selain
menunggu, gue mau lo menemuinya. Makanya gue ajak…..”
“Ra! Ayo pulang!”
“Tapi……”
“Ra, gue mau pulang sama lo. Gue sadar,
kok, sama semua yang lo lakuin ke gue. Gue tahu lo begitu pedulinya sama
gue, sampai-sampai lo malah nganterin gue ke rumah Sigit. Tapi sekarang
gue sadar, Ra. Sigit bukan buat gue, dia nggak ada buat gue. Yang
sekarang gue mau adalah pulang sama lo!” ucap Nia dengan nada yang makin
lama makin meninggi, lalu bulir air dari matanya jatuh. Nia berusaha
mengatur napas, namun gagal karena menangis.
“Orang yang gue tunggu belum tentu juga menunggu gue, Ra. Gue nyerah.”
Sebenarnya Wira ingin sekali memeluk
Nia, namun ia menahan niatnya itu. Wira tidak mau Nia malah menjadi
marah. Wira hanya menatap nanar Nia yang sedang menjadi lemah.
“Maafin gue, Ra. Ayo kita pulang!” ucap Nia sambil….. memeluk Wira.
Note:
Sebenarnya Wira bohong. Ia tidak membawa
Nia ke rumah Sigit. Bahkan Wira sendiri tidak tahu itu rumah siapa.
Yang benar: Wira sangat menyayangi Nia.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar