Kenangan.
Hal itu datang tanpa undangan. Otakku menjelajahi putaran waktu masa lalu dan
mengingat. Seolah mengembalikan apa yang sudah terjadi di sini. Namun
kenyataannya aku hanya duduk di sebuah kursi dan memandang samar ombak kecil berlari.
Malam ini, aku memandang sebuah bianglala raksasa yang berjarak beberapa meter
dari posisiku. Bianglala dengan lampu bagai bintang yang menyertainya.
Berputar, sama seperti mengingat masa lalu.
***
5
tahun yang lalu…
Aku,
Bela, Egi, dan Rama mengunjungi tempat wisata bernama “Ocarina” untuk mengisi
waktu pasca kelulusan kuliah.
“Kira!
Yang terakhir dari wisata kita hari ini, kita harus naik Giant Wheel. Ayo!” kata Rama yang mengajakku berlari kecil menuju
ke depan sebuah bianglala raksasa. Aku menengadahkan kepalaku. Bianglala itu
besar dan tinggi. Aku mencoba menghitung banyaknya gondola, “…..empat belas,
lima belas, enam belas. Ada enam belas,” ucapku sangat pelan. Bianglala itu
berputar dan seolah memanggilku untuk
naik dan ikut merasakan putarannya.
“Egi,
Bela, cepat ke sini!” teriak Rama sambil mengayunkan tangan pada dua orang
teman kami yang masih berjalan. Kami berempat pun menaiki salah satu gondola
dan menunggu bianglala berputar-putar. Lalu, gondola yang kami naiki bergerak
ke atas perlahan-lahan. Aku menunggu sampai berada di titik puncak. “Wow!”
seruku yang terpesona melihat pemandangan separuh kota Batam. Alunan musik
menambah kenikmatanku. Bianglala berputar kembali ke puncak selama beberapa
kali. Bela, Egi, dan Rama ikut mengamati pemandangan dari balik jendela kaca.
Kami berempat tidak berhenti tersenyum dan tertawa. Wisata yang sungguh
menyenangkan. Bukan hanya karena tempatnya, namun canda tawa dan senyum bahagia
dari mereka, terutama Rama.
***
Beberapa
minggu kemudian, aku, Bela, dan Egi mengantarkan Rama menuju bandara. Rama akan
merantau ke Jakarta untuk bekerja di salah satu perusahaan media massa cetak.
“Hati-hati,
Ram! Semoga sukses!” kata Egi sebagai sahabat laki-laki terdekat Rama.
Rama
menganggukkan kepalanya tanpa bicara apapun. Rama membalikkan badannya dan
mulai melangkah.
“Ram!”
teriakku di tengah keramaian bandara.
“Ya,
Ra?” sahut Rama yang membalikkan badannya dan menghadapku.
“Selamat
tinggal, Rama! Hati-hati, ya! Jangan putus komunikasi. Sempetin sms, dan……..” ucapku yang belum selesai.
Aku memberikan secarik kertas pada Rama.
“Ini
alamat e-mail-ku. Kalau mau cerita banyak, kirim e-mail, ya!” lanjutku.
Rama
mengambil kertas yang kupegang.
“Iya,
Ra, makasih. Oh, ya, kalau kangen, coba keluar rumah, tengok ke atas, dan lihat
bulan. Kita melihat bulan yang sama. Itu artinya kita masih dekat,” kata Rama
sambil tertawa kecil.
Aku
hanya tersenyum. Rasanya bercampur, antara senang, sedih, dan haru. Setidaknya
perpisahan yang membahagiakan adalah saat bisa mengucapkan “selamat tinggal”,
lalu terus memandang, walau perlahan menjauh dan kemudian hilang.
***
Aku
telah berpisah jarak dengan Rama. Aku sempatkan diri untuk menyapanya walau
hanya lewat sms. Rama juga sering
mengirimkan e-mail dan bercerita
seputar kehidupannya di Jakarta. Anehnya, aku tidak pernah menelpon Rama,
begitupun Rama. Bagiku, bercerita dengan kata-kata lebih menyenangkan dan
membantu untuk membayangkan cerita. Namun aku tidak bisa memungkiri saat aku merasa
rindu.
Aku,
Bela, dan Egi pun berpisah kota untuk bekerja. Hanya aku yang masih tetap di
kota Batam. Ingin rasanya berkumpul lagi seperti dulu. Maka sampai pada saat
hari ulang tahunku tiba, aku berniat mengundang Bela, Egi, dan Rama untuk makan
pancake di sebuah restoran di Batam.
Untungnya, kami sedang liburan akhir tahun. Keinginanku pun dapat terwujud.
***
Aku
menaikkan kacamataku yang merosot di hidung. Memandang jam tangan yang tidak
henti berdetak. Menunggu itu memang mengelisahkan. Tapi kesabaran
mengokohkanku. Bukankah siapa yang bersabar akan beruntung?
Bela
pun datang. Aku menyambutnya dengan gembira. Aku memeluk Bela yang
penampilannya sudah agak berubah, lebih dewasa. Aku menarik kursi sebelahku
untuk Bela duduk. Kemudian, Egi dan Rama pun datang. Mereka tidak berubah dari
sebelum kami berpisah. Egi duduk
menghadap Bela, lalu tentu saja, Rama duduk menghadapku. Kami memecahkan
suasana dengan saling bercerita.
“Hm…
Sebenernya setelah ini aku akan kerja berpindah tempat, dari satu kota ke kota
lain, dari satu pulau ke pulau lain. Jadi…..” ucap Rama yang berhenti memegang
sendok.
“Jadi
untuk sms bakal jarang, apalagi e-mail,” lanjut Rama dengan serius.
“Tapi
kalau ada acara kayak begini, bisa dateng, kan?” tanyaku dengan suara yang
lemah.
“Diusahakan,
Ra. Kalau aku lagi nggak di tempat yang jauh, misalnya Papua.”
Aku
berhenti makan pancake coklat kesukaanku. Aku merasa rasa coklatnya
menjadi hambar. Aku hanya menunduk tanpa mengeluarkan keluhan apapun.
“Jangan kangen, ya, Ra!” ledek Rama yang tidak lucu bagiku.
Namun Bela dan Egi tertawa. Orang lain memang tidak bisa membaca pikiran,
seandainya saja bisa…
Seusai makan dan melangkah menuju pintu keluar, Rama
memanggilku dengan bisikan. “Ra, sebentar!”
Sementara, Bela dan Egi sudah keluar lebih dulu.
Rama berkata, “Ingat bulan yang kita lihat di langit yang
sama, Ra! Nanti kita ketemu lagi di suatu titik dari luasnya dunia. Aku kejar
cita-citaku dulu. Do’akan, ya!”
***
Kembali pada masaku saat ini…
Itulah kenanganku. Aku masih memandang bianglala raksasa dan
mencoba mencari bulan di langit. Kepalaku menengadah lebih tinggi, lalu mataku
melirik kiri kanan.
“Kira, kenapa masih cari bulan? Kita kan sudah berada di
bawah langit yang sama?” ucap seorang laki-laki yang menghampiriku dan
membawakan pancake coklat kesukaanku.
Aku hanya menaikkan kedua ujung bibirku dan mengambil piring
dari tangan Rama.
“Makasih, ya, pancake-nya,”
ucapku.
“Besok aku masuk kerja pagi, jangan lupa buatin aku sarapan,
loh!” kata Rama yang kemudian duduk di kursi sebelahku.
Aku menganggukkan kepalaku dengan tegas. Aku tidak menyangka,
aku dipertemukan dengan Rama kembali dan
ia menjadi pendamping hidupku.
Aku kembali memandang bianglala raksasa.
Bianglala. Berputar, menuju titik
puncak untuk melihat keindahan. Lalu bergerak ke bawah lagi, hingga kita
kehilangan pemandangan indah yang sebelumnya terlihat. Jika masih ada waktu dan
diizinkan, maka bianglala akan kembali menuju pada titik yang sama. Waktu pun berputar
menyertai, mengukir sebuah kenangan yang masih tersangkut dalam ingatan,
menyisakan bayangan tentang betapa indahnya berada di titik puncak. Semua
menyatu padu seolah menjelaskanku tentang satu kata bernama: CINTA.