Aku
melepas roll hair satu per satu, lalu menyisir rambutku yang melengkung ke dalam
dan jatuh ke bahu. Aku membenarkan poni yang sengaja kutata ke arah kanan
wajahku, berharap poni ini akan tetap rapi walau diterpa angin di luar sana.
Kubangunkan badanku dari kursi rias, meraih tas yang hanya berisikan ponsel dan
dompet.
Gaun
panjang biru muda yang aku kenakan malam ini, aku tampilkan sekali lagi di
depan cermin besar. Cantik. Sengaja gaun pemberian Ibuku beberapa tahun lalu
ini kukenakan, yang sebenarnya telah kuikrarkan untuk kupakai saat makan malam
bersama, ya, seorang laki-laki idamanku. Tiba-tiba aku ingin menertawai diriku.
Aku melanggar ikrarku sendiri. Mana mungkin aku mengenakan gaun ini untuk
sekadar makan malam bersama seseorang? Aku saja sudah tidak bisa menghitung
sudah keberapa kali aku patah hati. Dasar bodoh. Aku tetap ingin mengenakan
gaun ini, setidaknya sebelum kematianku. Sungguh, aku sangat bahagia bisa
mengenakan gaun ini.
Aku
keluar dari kamar, menuruni anak tangga dengan mengangkat sedikit gaunku yang
menyentuh keramik. Suara high heels-ku
mengetuk-ngetuk lantai, memecah hening. Sekali lagi aku ingin tertawa. Bak Tuan
Putri saja, Kau, Nona! “Tuan Putri yang Kesepian”, lebih tepatnya. Tentu saja,
di rumah ini tidak ada siapa-siapa lagi kecuali aku. Ayah masih bekerja di
perusahaan besarnya, biasanya akan pulang jika sudah pukul sembilan malam,
jam-jam di mana keluarga sudah selesai makan malam bersama dan bercengkarama.
Sementara aku sudah sangat sering di penjara megah ini, sendirian. Seorang pekerja
rumah tangga di rumah ini hanya diperbolehkan bekerja sampai aku pulang dari
kampus, tidak sampai menginap. Bagaimana caraku meramaikan rumah ini? Apa aku
bakar saja rumah ini supaya ramai? Haha, klise.
Aku
mengunci pintu dan pagar rumahku. Aku berjalan seolah aku akan benar-benar
pergi makan malam bersama seseorang, ah, nyatanya, aku tidak tahu akan pergi ke
mana.
Beruntungnya,
kota yang kusinggahi ini sangat ramai, terlampau ramai malah. Aku menyusuri
trotoar besar di sebelah jalan raya yang padat kendaraan. Aku hanya berjalan,
mengikuti panjangnya susunan bata yang menjadi bahan trotoar besar ini. Memandang
lurus dengan tatapan kosong. Lelah berjalan, aku membanting tubuhku duduk pada
sebuah bangku kayu di tengah trotoar. Diam. Menunduk dan memandang lekat gaun
biru muda yang masih licin tanpa kusut, namun pikiran dan hatiku lah yang sebenarnya
kusut. Sejak kepergian Ibu dua tahun yang lalu, kehidupan serasa hanya sebuah
mimpi.
Setiap
aku terjaga dari tidur, aku selalu mengira aku sedang bermimpi, semua bukanlah
kenyataan. Bahkan tidak ada yang menyadariku atau mencubitku untuk memberitahu
aku sedang di mana? Di mimpikah? Pernah beberapa bulan setiap bangun pagi, aku
malah menyuguhi diriku dengan sarapan air mata. Aku ketakutan. Aku takut aku
masih terus di dalam mimpi dan tidak bisa bangun lagi. Sebab yang aku tahu, dunia
nyataku adalah Ibuku masih hidup, tapi ini mimpi, kan? Ah, siapa yang peduli
dengan ketakutanku? Bahkan setiap bangun pagiku, Ayah sudah buru-buru pergi ke
perusahaan besarnya untuk melanjutkan kehidupannya. Ayah sangatlah cuek, namanya
juga laki-laki, ya, bagiku semua laki-laki sebegitu cueknya.
Kini
aku duduk, menyandarkan punggungku pada bangku ini karena lelah. Bukan hanya
lelah kaki, tapi juga lelah hati. Selain Ayah, siapa lagi yang kupunya? Karena
perusahaan besar Ayahku, aku tidak pernah lagi bertemu dengan saudara-saudara
Ayah. Mengapa? Hai, apa aku masih mau berpikir bagaimana bisa itu terjadi? Huh,
memikirkan cara bertemu Ayahku di waktu yang tepat saja sudah membuatku
kehabisan tenaga. Lalu, Ibuku yang merupakan anak satu-satunya dan sudah yatim
piatu sejak aku lahir, siapa saudaranya yang bisa kutemukan?
Atau
mungkin aku bisa menemui seorang atau beberapa teman? Yang benar saja? Aku yang
selama ini terlalu sering sendirian, menganggap teman itu tidak ada yang setia,
percuma. Lebih baik berteman dengan diri sendiri, tidak diatur, tidak disakiti,
tidak dimanfaatkan.
Dan
di ujung angin malam, kesepian ini terasa benar-benar mematikan untukku.
Aku
lebih baik pergi, menyusul Ibu dan bahagia di sana. Sederhana bukan?
Kini
aku berencana mengikuti manusia-manusia kota dan memasuki tempat yang tak
pernah kukunjungi sebelumnya. Entah diskotik, atau ‘cafe’, yang mungkin akan
membunuhku secara baik-baik. Tapi sungguh, aku tidak bisa ‘minum’ dengan cara
yang baik dan benar, bisa-bisa aku malah mati secara terkejut. Tidak, lagipula
itu tidak membuatku mati seketika, hanya mematikan masa depan saja. Tanggung,
kan?
Atau
aku akan berjalan cepat ke tengah jalan raya tanpa melihat kendaraan yang
melaju. Berharap ada kendaraan yang menabrakku hingga aku terpental beberapa
meter. Tidak, aku tidak ingin menjadi wanita bergaun biru muda yang masuk koran
dengan pose tubuh yang tercecer, menggelikan. Huek.
Atau
aku akan berdiri di sebuah jembatan tinggi, melongok ke bawah dan menatap sungai
dengan aliran air yang deras di bawahnya. Tanpa aba-aba, aku akan menjatuhkan
tubuhku menuju sungai dengan tenang. Aku yakin kain gaunku akan berterbangan
begitu indahnya bagai bidadari terbang. Kemudian, aku tenggelam dan hilang. Tapi
sayang sekali, di dekat sini, sungai berisi banyak sampah, bukan air, namanya
juga sungai kota.
Ah,
aku tidak berbakat bunuh diri.
Ponselku
berbunyi. Ayah memanggil.
“Halo.”
“Kamu
di mana?”
“Di
luar, Yah.”
“Cepat
pulang!”
“Ya.”
Aku
memutus panggilan. Ada ide mengalir cepat tiba-tiba. Ide bunuh diri yang sangat
baik. Aku akan pulang, meminta maaf pada Ayah atas segala kesalahanku, lalu aku
akan membunuhku dengan pisau yang biasa terletak di dapur rumah. Sungguh, bunuh
diri yang sangat baik bukan?
Aku
bergegas pulang, melepas high heels,
berlari telanjang kaki agar aku cepat sampai rumah. Aku tahu aku akan
ditertawakan Ayah pulang dengan dandanan seperti ini. Masa bodoh. Yang penting
aku cepat pergi –entah ke rumah atau ke surga.
Ayah
memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala.
“Kamu
habis menemui siapa?” tanya Ayah yang duduk di sofa sambil membuka kacamatanya.
“Tidak ada.”
“Tapi
mengapa malam ini kamu cantik sekali?”
Sungguh,
baru kali ini Ayah memuji, uh, meledekku.
“Iseng
saja. Sayang, kan, gaun ini belum pernah dipakai,” ucapku asal, masih berdiri
menghadap Ayah.
“Oh.”
“Ayah.
Boleh aku minta waktumu sebentar?” tanyaku seraya duduk di sampingnya.
“Ya.”
“Aku
ingin meminta maaf padamu, Ayah. Pasti selama ini aku pernah membuatmu kecewa,
bahkan menyakiti Ayah. Maafkan aku,” ucapku lirih sambil menundukkan kepala.
“Ayah
juga minta maaf,” balas Ayah tanpa senyum sedetikpun. Sudah kuduga, Ayah
benar-benar tidak pernah peka.
Aku
harus melanjutkan rencanaku. Baru saja akan menuju dapur, Ayah malah memanggil.
“Asha,
tolong kunci pintu dahulu! Tadi, kan, kamu yang terakhir masuk rumah.”
Sungguh,
baru kali ini Ayah memanggil namaku secara utuh. Ada sesuatu yang terasa berjalan
melewati hatiku, entah apa.
Aku
berjalan ogah ke arah pintu. Kunci yang kuputar menimbulkan bunyi sebanyak dua
kali. Seusai mengunci pintu, aku membalikkan badan. Seketika, kini aku yang
mengunci diriku, terpaku, menahan nafas, membelalakkan mata, dan hanya bisa
berteriak sekencang yang aku bisa.
“Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!”
Ayahku
mati. Dengan pisau yang harusnya membunuhku, pisau yang sudah aku rencanakan
untuk membunuhku. Aku terlambat. Aku terlambat mati lebih dahulu. Aku terlambat
menyelamatkan ayah. Tepat di atas meja dapur, tergeletak secarik kertas dengan
tulisan: Ayah lelah. Ayah pun patah
hati, bahkan sudah hancur karena tiadanya Ibumu. Ayah lebih kesepian. Kesepian
bukan akhir dari segalanya, kematian lah yang mengakhiri segalanya. Jangan berniat mati karena kesepian, Asha. Cukup Ayah saja.
.jiah sedih bingit :D
BalasHapusNjir... twist-nya. Keren-keren. :D
BalasHapusSedihnya ..
BalasHapusBerasa ada di dalem ceritanya san :D
Ending yang...
BalasHapus