Kususuri jalan panjang yang mengikuti arus sungai kota
Bersama beberapa teman, aku mengendarai kuda besi bermesin
Aku mengejar yang di depan, juga teman di belakangku
Lalu aku tiba pada sebuah tempat
Kata orang-orang,
ini tempat berkumpulnya ‘anak muda’
Aku yang juga merasa bagian dari mereka pun masuk
Asing bagiku, baru pertama aku datang
Aku tiba-tiba meragu untuk melangkah lebih jauh
Bukan perihal salah tempat, namun tampak penuh tempat
Aku dan teman-teman terlalu malu, hingga belum ada yang
masuk di menit ke sekian
Sampai datanglah seorang laki-laki menghampiri
Aku yakin, laki-laki ini peka akan kebingunganku
Selayaknya malaikat acara, ia membawakan kursi lebih ke sebuah
meja
Selayaknya tamu istimewa, kami disambut dan dipersilakan
duduk
Aku memanggil nama seorang perempuan yang tidak sama cantik
denganku
Ia dengan rambut sebahu lebih, menaikkan kedua ujung
bibirnya
Aku telah dulu mengenalnya
Lagi-lagi, aku dan teman-teman seperti tamu istimewa
Kami duduk di posisi paling depan
Dengan seenaknya duduk padahal terlambat
Inti acara pun dimulai
Manusia-manusia asing satu per satu maju
Ada yang membawa secarik kertas, atau segenggam kertas digital
Aku mendengarkan suara-suara yang mereka suarakan
Tapi pikiranku tidak di tempatnya
Lain dari yang lain, aku tidak fokus pada puisi
Lain dari yang lain, aku lebih ingin memaknai posisi
Seiring waktu berlalu, setiap pasang mata sudah menampilkan
diri
Kini giliranku...
Aku tidak fokus, lidahku agak kelu rasanya
Tapi bagaimanapun juga, aku harus tetap bersuara
Maka aku bunyikan pita suaraku, aku bacakan kalimat-kalimat
syahdu
Mungkin tidak se-syahdu yang seharusnya, namun aku tetap
melanjutkan sampai akhir
Selesai, lega bercampur tidak lega, sudahlah
Setidaknya aku tidak berpuisi sendirian seperti biasanya
Setidaknya aku belajar membuka mulutku saat di depan orang
banyak
Setidaknya aku sedang menjajaki jalur menuju citaku
Ya, citaku!
Aku hampir lupa pada waktu
Sudah puluhan menit aku hanya duduk dengan canggung
Kecanggungan berganti kesadaran
Ini tempat makan dan minum berbayar
Dengan perintah kesadaran, aku memesan sesuatu
Angka-angka yang tertera lebih dari empat
Dua atau tiga angka nol berbaris rapi di sebelah kanan titik
Aku agak tertegun, bukan karena apa-apa
Sementara itu...
Kamu menuju suatu tempat yang lain
Aku memang tidak mengikutimu, tapi sedikit bisa
membayangkannya
Kamu di antara manusia-manusia asing pula
Mungkin ada yang kamu kenali tapi tidak semua
Kamu punya cita di sana, seperti ceritamu padaku sebelumnya
Kamu berniat untuk
membuat orang lain tertawa
Dengan ‘komedi berdiri’ yang sedang merajai kekreatifan
negara
Aku tidak menontonmu tapi sedikit ada gambaran untukku
Pasti banyak orang yang memberi suguhan lucu dan manis
Semanis minuman segar yang disediakan berbayar
Aku tidak tahu jelas berapa banyak angka yang tertera di
sana
Entah tertera pada menu di papan tulis hitam
Atau tertera pada buku bergambar makanan dan minuman
Aku mengira bahwa kamu seperti aku, sedang tertegun
Bahkan jika kamu tidak mencicipi sedikit saja
Kamu bisa saja didapati sedang diledeki yang lain
Yang tabah, ya, kamu!
Hal yang tersirat pada benak kita masing-masing
Apakah cita berbanding lurus dengan harga makanan?
Apakah cita bisa dicapai dengan membeli minuman segar?
Apa harus menggembungkan dompet untuk meraih impian?
Lagi-lagi ini hal lain yang mungkin hanya dipikir oleh kita
Bukan berfokus pada puisi
Bukan berfokus pada komedi
Aku dan kamu bergumam, “Apa bulan depan kita bawa bekal
saja?”
Bekal yang entah dibawa dari rumah, atau bekal yang yang
kita beli di jalan
Apa pun itu, bekal bisa menambah tenaga kita berkarya, kan?
Sepulangnya kita dari tempat cita
Banyak hal yang dipelajari dan menjadi pelajaran
Lalu terbesit satu hal yang kamu juga tahu
Kelak saat kita tampil kembali pada acara yang sama
Saat kita lebih percaya diri dari bulan kemarin
Saat itu juga kita berucap, “Ketika aku harus bawa bekal...”
Bukan hanya bekal makanan dan minuman
Namun juga bekal kemampuan