Rabu, 28 Mei 2014

My Inspiration

Tahun 2012, saat sedang booming-booming-nya Film Negeri 5 Menara, saya dan teman-teman saya berencana untuk menonton film itu. Salah satu teman saya bernama Ani, menjelaskan saya sekilas trailer film itu. “Yuk, San, kita nonton Negeri 5 Menara, ceritanya bagus, pokoknya di akhirnya mereka bisa berada di dekat menara masing-masing negara impian mereka. Pemainnya ada orang blasteran, namanya Gazza Zubizareta,” kata Ani di bangku sebelahku.

Maka saya, Ani, dan beberapa teman lainnya pun menuju Mall yang paling dekat dengan sekolah. Kami ke sana sepulang sekolah dengan baju seragam putih abu-abu yang masih kami kenakan. Sebenarnya, uang saya sangat pas-pas-an. Saya sampai tidak ikut makan sembari menunggu bioskopnya buka (kami terlalu cepat datang), saya hanya duduk di depan bioskop bersama Ani. Hanya duduk.

Film dimulai. Saya yang saat itu masih sangat jarang nonton bioskop sudah pasti tercengang-cengang karena gambar dan suara yang amat jelas. Bukan hanya karena gambar dan suaranya, tapi ceritanya sungguh menggetarkan hati.

Saat itu kebetulan saya kelas 3 SMK. Saya akan lulus dan sedang menentukan pilihan selanjutnya. Sebagai anak SMK, pilihan hidup setelah sekolah ada 2, kerja atau kuliah (atau menikah? Hehe). Sungguh saya bingung sekali. Saya sebenarnya ingin sekali kuliah, tapi saya sangat mengerti keadaan dan kondisi ekonomi keluarga, maka saya berusaha keras untuk mengurung niat itu. Kata Ibu, saya harus bekerja, harus.

Setelah menonton film Negeri 5 Menara, saya memikirkan sesuatu. Saya teringat akan mantra “Man Jadda wajada”: siapa yang bersungguh-sungguh, ia pasti akan berhasil. Bukan siapa yang paling tajam, tapi siapa yang paling bersungguh-sungguh. Saya juga ingat dengan adegan Alif yang pantang menyerah, walaupun masuk Pondok Madani bukanlah keinginannya, ia tetap menjalani kehidupannya di sana. Hal yang membuat saya kagum adalah saat Alif menetapkan untuk masuk ekstrakulikuler Majalah Syams. Entah kenapa saya merasa ada yang menggetarkan hati saya saat melihat kegigihan Alif menjalankan tugasnya di ekstrakulikuler itu. Dari ketidaknyamanannya di Pondok Madani, Alif masih bisa berpikir untuk mengikuti ektrakulikuler yang ia sukai. Bahkan di akhir film, ia dan teman-temannya benar-benar bisa berada di negara impian mereka. Saya berpikir begini: tidak apa jika kita mendapat sesuatu yang tidak sesuai dengan mau kita, karena sebenarnya kita masih punya celah dan kesempatan untuk menikmati sesuatu yang kita inginkan. Dan semua yang kita terima, akan bermanfaat kemudian, sepahit apa pun itu.

Lalu jika dikaitkan dengan kehidupan saya? Saya tidak bisa berkuliah tahun itu. Berkali-kali saya jelaskan tentang mimpi-mimpi saya pada Ibu, tetap saja tidak bisa. Saya juga sadar, seharusnya saya mencari uang saja, karena sampai SMK saya sudah dibiayai sekolah oleh Ibu saya yang berjuang mencari nafkah sendirian (tanpa suami). Akhirnya saya memutuskan untuk bekerja. Saya melamar dan ikut tes sana-sini. Kemudian bulan Mei 2012, saya diterima bekerja di perusahaan swasta kecil menengah di kota Bekasi.

Pengumuman SNMPTN tiba, dan saya benar-benar gagal kuliah. Saya memilih Universitas Indonesia dan Universitas Negeri Jakarta, dan tidak lolos di kedua tempat itu. Saya benar-benar gagal saat itu.

Saya menjalani kerja dengan setengah hati. Sungguh tidak mengasyikkan. Tiap pagi bangun, siap-siap, berangkat, kerja sampai sore, lalu pulang. Begitu terus dari hari Senin sampai Jum’at. Hari Sabtu dan Minggu adalah waktu saya mengurung diri di rumah, saya tidak punya teman selain teman-teman di sekolah. Susah jika ingin bertemu dan bermain dengan mereka, mereka sudah sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. Dan tentu saja di antara mereka ada yang sudah jadi anak kuliah, membuat saya iri tak karuan. Tidak boleh, tidak boleh, batin saya.

Beruntungnya, saya punya handphone dan notebook yang spesifikasi untuk internetnya cukup baik. Jadi saya selalu mencari tahu tentang SBMPTN. Sebenarnya saya belum benar-benar merelakan Universitas Negeri. Saya masih ingin mengikuti SBMPTN. Tapi sampai pada hari SBMPTN tiba pun saya tetap tidak ikut. Saya masih bimbang dengan keadaan yang tidak memungkinkan. Kemudian saya berniat untuk mengikuti SNMPTN atau SBMPTN tahun depan, tahun 2013.

Saya mengikuti TO yang diselenggarakan UI dan bertempat di salah satu SMA Negeri Bekasi. Jujur, sebenarnya saya linglung. Saya ikut TO hanya bersama satu teman saya yang sebaya. Selebihnya adalah anak-anak yang masih SMA/SMK. Nekat betul saya!

Saya sering sekali menghabiskan waktu untuk mencari informasi seputar SBMPTN, atau tentang “anak kuliah”. Saya penasaran: Apa, sih, yang anak kuliah lakukan? Tujuan jadi anak kuliah itu apa?

Kemudian saya menemukan novel “Ranah 3 Warna”. Novel itu saya temukan di toko buku. Novel itu bukan pertama kalinya saya lihat. Tapi dulu –saat masih sekolah, saya belum bisa membeli novel itu dengan uang saya sendiri. Maka saya baru bisa membelinya saat sudah bekerja.

Saya bawa pulang novel itu, dan sungguh mengejutkan! Novel kelanjutan dari cerita film Negeri 5 Menara yang pernah saya tonton ini sesuai dengan keadaan saya. Saya membaca novel itu setiap pulang kerja. Saya jadi lebih semangat bekerja, hmmm, semangat untuk cepat-cepat pulang dan bisa membaca novel itu sampai habis. Dan, sungguh menakjubkan!

Saya masih bersemangat ikut SBMPTN. Saya masih mencari tahu tentang anak kuliah. Saya masih searching universitas dan jurusan yang sesuai. Saya masih mendalami novel Ranah 3 Warna.

Kemudian...

Otak saya berpikir keras. Kalau masuk Universitas Negeri, kerjanya ditinggalin, dong? Kalau kuliah doang, nanti biayanya dari Ibu semua? Nggak kasihan? Kalau kuliah jauh-jauh, ninggalin Ibu sendirian, dong? Kalau jadi anak kos memangnya bisa?

Ya Allah..............

“Man Shabara Zhafira”: siapa yang bersabar, ia pasti akan beruntung. Kalimat di novel Ranah 3 Warna memang membuat saya serasa jleb. Saya harus sabar. Saya tidak boleh egois. Saya tidak boleh mengeluh terus: ‘saya mau kuliah, saya mau kuliah’.

Kisah Alif di novel Ranah 3 Warna lebih menegangkan dari film Negeri 5 Menara. Cobaannya makin banyak. Rintangan silih berganti. Hal yang membuat saya kagum dari kisah itu adalah saat Alif berusaha mengirimkan tulisannya ke media cetak koran dan dibimbing oleh seniornya. Lagi-lagi, entah kenapa saya merasa hati saya bergetar. Apalagi saat Alif bisa ke Kanada, sungguh keren! Dan cerita tentang ayahnya, membuat saya merindukan ayah saya yang juga sudah pergi jauh. Lengkap sekali.

Dari cerita-cerita itu membuat saya merasa saya harus lebih kuat. Saya pasti bisa mendapatkan sesuatu yang saya inginkan bila saya berusaha sungguh-sungguh dan juga bersabar. Kisah Ranah 3 Warna sukses menyemangati dan memotivasi.

Lalu di saat menjelang bulan SBMPTN, saya membeli novel pelengkap Trilogi Negeri 5 Menara: “Rantau 1 Muara”.

Spesial dan istimewa sekali untuk saya. Setelah kisah perjuangan Alif jadi sarjana, novel Rantau 1 Muara menceritakan kisah Alif yang sudah bekerja, dan pekerjaan Alif sangat menggiurkan. Lagi-lagi, entah kenapa saya merasa hati saya bergetar. Alif bekerja sebagai jurnalis. Alif juga mendapat beasiswa dan bekerja di Washington DC. Alif mendapatkan pasangan hidupnya dan kisah Alif-Dinara terasa so sweet!

Sementara itu, setelah beberapa lama saya mencari, menimbang, dan menelaah lebih dalam, saya membuat suatu keputusan. Saya akan tetap bekerja, tapi saya juga akan tetap kuliah. Impian saya, menjadi seorang mahasiswi, harus tetap tercapai. Akhirnya setelah browsing dan bertanya-tanya seputar universitas dan jurusannya, saya membuat suatu keputusan.

Saya tidak jadi mengikuti SBMPTN 2013. Saya akan bekerja sambil kuliah di  Universitas Swasta di Bekasi, mengambil jurusan Ilmu Komunikasi, kelak akan mengambil konsentrasi Jurnalistik. Saya ingin jadi jurnalis, seperti Alif.

***

Ya, itulah yang saya alami selama memahami isi Trilogi Negeri 5 Menara (walaupun novel Negeri 5 Menara tidak saya baca, hanya menonton filmnya). Pada akhirnya, saya mengetahui “Man Saara Ala Darbi Washala”: siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan.

Saya mengerti mengapa hati saya selalu bergetar menonton dan membaca cerita Alif saat berusaha menulis. Ternyata menulis adalah keinginan saya, impian saya. Saya sekarang sudah menjadi mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi. Alhamdulillah, cita-cita saya menjadi mahasiswi sudah tercapai. Dan saya memiliki cita-cita selanjutnya. Saya ingin menjadi jurnalis dan juga, hmmm, penulis! Ingin seperti author of Trilogi Negeri 5 Menara, A. Fuadi. Bismillaahirrahmaanirrahim!

Semoga saya bisa terus berusaha dan gigih mencapai cita-cita saya selanjutnya, semoga cita-cita saya menjadi nyata, juga cinta saya, Aamiin. Allahu Akbar!
Man Jadda wajada!
Man Shabara Zhafira!


Man Saara Ala Darbi Washala!

Minggu, 11 Mei 2014

Aku Penasaran dengan Waktu

Aku penasaran dengan waktu. Waktu itu hidup atau hanya benda mati? Tuhan menciptakan waktu dengan begitu menakjubkan. Aku curiga, aku berpendapat bahwa waktu itu sebenarnya hidup. Bukankah ia selalu berdetak? Bahkan ia bisa membaca berapa detak jantung dalam satuan detik, menit, bahkan jam. Mengapa ia menjadi lebih dulu daripada detak jantung itu sendiri?

Aku penasaran dengan waktu. Kala waktu yang menjadi sahabatku sejak lahir, memberikan identitas kepadaku kapan aku lahir, menjadi sebuah ingatan Ibu Bapakku, sehingga aku terasa seperti baru lahir di setiap harinya. Aku jadi bertanya kapan waktu itu sendiri lahir pertama kalinya? Kapan waktu memulai detik pertamanya? Kapan waktu benar-benar belum tercipta? Apa pernah waktu mengalami suatu hal bernama 0 detik?

Aku penasaran dengan waktu. Waktu mengiringiku menjelajahi dunia. Aku menghabiskan waktu dengan belajar dan belajar. Waktu pasti tahu itu. Mengenakan seragam warna merah-biru-abu sampai kini aku bisa mengenakan baju bebas –begitulah orang menyebutnya. Waktu sampai-sampai tidak terasa hingga aku sudah sembilan belas tahun berada di dunia ini. Tapi aku tidak tahu sampai kapan waktu ini ada, terutama waktu hidupku sendiri. Tuhan Yang Maha Mengetahui-lah yang tahu. Hanya Tuhan yang bisa menegur waktu.

Aku penasaran dengan waktu. Kata teman kerjaku,  ada penelitian di negara maju yang jauh dari sini, bahwa waktu itu bisa dikendalikan. Bahkan di sana, para pemikir jenius sedang berusaha menciptakan mesin waktu. Ya, mesin waktu. Aku takjub sambil tak percaya. Memangnya bisa? Bukankah itu hanya ada dalam kartun atau film-film? Katanya, kita sebagai molekul-molekul padat bisa berubah menjadi molekul-molekul yang tak beraturan, seperti molekul pada udara. Lalu dari perenggangan molekul itu, kita bisa saja menjadi udara. Jika begitu, kita bisa memasuki alam atau mesin atau alat yang aku pun tak bisa membayangkannya di kehidupan nyata. Maka kita bisa kembali ke masa lalu, dengan wujud kita yang sekarang atau kita yang lalu. Entah. Maaf kalau aku ngaco. Hahaha.

Aku penasaran dengan waktu. Mengapa waktu menjadikan 3 masa? Masa lalu, masa kini, dan masa depan. Bagiku, hal yang paling menyeruak dalam pikiran sebenarnya bukan masa lalu, meskipun mungkin banyak puing-puing kenangan yang masih lekat dan lekap dalam jiwa. Bukan pula masa depan yang masih dalam bayangan, yang kita harap-harap akan jauh lebih indah dari reruntuhan bangunan kenangan yang sudah jadi puing tadi, yang kita imajinasikan akan seindah cerita dari novel happy ending karya penulis terkemuka. Nyatanya, aku lebih mendalami masa kini. Aku siapa. Aku sedang apa. Aku sedang mencari apa. Aku sedang mencintai siapa. Aku sedang membahagiakan siapa. Bukankah yang sedang dilakukan sekarang adalah akibat dari masa lalu dan pijakan kecil menuju masa depan?

Terakhir, aku masih sangat penasaran dengan waktu. Detik adalah waktu yang tidak bisa kembali, dan tidak bisa dijemput. Izinkan aku untuk mengungkapkan sedikit rahasiaku. Ada suatu masa, dimana jika aku tidak berada di sana pada detik itu, mungkin aku tidak akan jatuh cinta. Jika pada detik itu aku tidak bercakap dengannya, mungkin aku tidak akan merasa jatuh cinta sampai saat ini. Pada setiap detik yang selalu kebetulan, ada keajaiban yang aku sendiri tidak tahu darimana asalnya. Detik yang selalu membuat aku jatuh cinta. Detik saat aku menemukan cinta. Jika pada detik itu aku terlambat, mungkin aku tidak dapat menangkap senyuman indah itu. Jika pada detik itu aku beranjak, mungkin aku tidak akan ditegurnya. Haha. Jika pada detik itu aku tidak tahu namanya, mungkin aku tidak akan senyum-senyum sendiri sekarang. Jika pada detik itu aku tidak penasaran dengannya, mungkin aku tidak akan penasaran dengan waktu dan tidak akan menulis ini.

Aku berterima kasih kepada Tuhan yang telah menciptakan waktu.

Terima kasih, waktu.