Minggu, 24 November 2013

Cerita dan Kenyataan (Saat Cinta Selalu Pulang)



Ini memang ajaib… Otak itu hebat, ya! Bisa menghafal segala kejadian yang pernah terjadi.
Sebelum nulis ini, aku menonton sebuah film. Ya, entah darimana, otakku seperti membuka putaran kaset video yang memutar kejadian lalu.  Tak jelas, namun jelas terbayang.

Mulanya, sepeda. Pernah aku bilang kalau aku pengen banget naik sepeda di daerah yang banyak pohon dan rumputnya, kalau di Indonesia, tempatnya, ya, Bandung! Aku mau banget keliling naik sepeda di tempat sejuk itu. Kata seseorang di bayanganku, “Terus nanti kita balapan naik sepeda, terus di tempat itu ada danaunya juga”. Kurang lebih begitu. Itu pernah terjadi.

Kemudian, tetangga. Aku pernah berharap kalau aku bisa tetanggaan sama sahabat laki-laki. Tapi sekarang aku tahu itu cuma ada di film yang tadi aku tonton. Hehe.

Lalu, sekolah SMA. Terlalu banyak yang ada di pikiranku tentang SMA, eh, SMK. Sangat banyak, sampai aku bingung bagaimana menceritakannya. Tapi yang aku tahu, aku menemukan sebuah hal yang sangaaaaaat indah. Yang bisa bikin hidup aku tuh kayak warna-warni, bikin senyum terus, bikin jadi semangat, bikin selalu bersyukur, bikin sejuk, dan bikin damai. Apalagi kalo tempatnya: gerbang sekolah, koridor, lapangan, sekretariat OSIS, taman deket sekretariat OSIS, kantin yang jual es krim dan Pop Ice, setiap ruang kelas terutama ruang 17, perpustakaan, lab Akuntansi, daerah kelas Teknik Las, lab Teknik Komputer Jaringan, sebelah lab Teknik Komputer Jaringan, masjid, gedung baru yang dulu masih dibangun, ruang Kesiswaan, parkiran…. (lah itu mah hampir semua bagian sekolah, haha). Hal yang sangat indah itu adalah: cinta.

Masih bagian dari sekolah SMK, selanjutnya adalah pemain basket. Oke, agak nyesek buat nafas pas nulis di bagian ini, tapi pemain basket memang termasuk dalam rangkaian video yang terputar di dalam otakku saat ini. Ada seseorang yang waktu itu main basket dalam suatu pertandingan Class Meeting, dan aku menyaksikannya. Sangat sederhana, tapi aku baru pertama kali itu melakukan hal itu. Haha. Seperti di film-film saja.

Selanjutnya, Nata, seorang tokoh dalam film yang aku tonton tadi, pandai bernyanyi. Ya, otakku memutar cerita tentang seseorang yang bernyanyi. Ia pernah bernyanyi di sekretariat OSIS, di aula, di panggung, dan bernasyid di ruang kelas atau di masjid. Hal yang paling mengesankan adalah saat ia bernyanyi lagu “Happy Birthday”, “Nuansa Bening”, “Yang Terbaik Bagimu”, “Kasih Putih” dalam sebuah rekaman yang ditujukan sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-16 tahun. Selain itu, ia pernah bernyanyi dalam Masa Orientasi Siswa saat acara api unggun. Ia juga suka mengajakku bernyanyi, dan yang menyenangkan adalah saat aku diajak ke studio musik untuk ikut latihan band, seusai itu, ia memberiku sebungkus apel merah, buah kesukaanku.

Beda lagi dengan pandai bernyanyi, juga ada pembuat lagu dan pemain gitar. Aku hanya tahu dia bisa membuat lagu, tapi aku tidak pernah mendengarkannya. Kalau tidak salah ingat, sepertinya aku juga pernah mendengar alunan gitar yang ia mainkan.

Kemudian, bintang dan mengaitkan jari kelingking. Itu hanya hal yang ada dalam imajinasiku. Di tengah rumput, melihat langit malam dan menemukan titik-titik cahaya yang menyenangkan hati. Berbincang bersama dan berjanji. Di imajinasiku.

Ada lagi, tempat kuliah. Nyari seseorang di tempat kuliahnya. Memang aku tidak pernah begitu, hanya saja, mungkin aku ingin. Setiap aku berangkat atau pulang kuliah aku terkadang melewati jalan menuju kampus seseorang. Hanya melewati. Pernah satu kali aku melihatnya, namun saat aku sudah melewatinya  agak jauh, aku baru tersadar. Aku hanya menanyakan hal itu lewat Whatsapp, ia bilang, benar, itu dia. Alhamdulillah J. Tempat kuliahku pun berada di jalan yang juga merupakan jalan menuju rumahnya. Kadang, saat aku melewati jalan itu, makan di pinggir jalan itu, fotocopy di pinggir jalan itu, aku berharap ada dia lewat. Hahaha.

Lalu, bianglala. Aku pernah melirik gambar yang dikumpulkan seseorang di handphonenya (kalau tidak salah ingat). Gambar itu adalah gambar bianglala. Bianglala itu ga kayak yang sering aku lihat. Bianglalanya keren! Lebih besar dan jari-jarinya banyak. Dan ternyata…….. Bianglala itu ada di film yang tadi aku tonton. Bianglala itu ada di Austria.

Masih soal bianglala… Aku pikir, bianglala itu dijelasin di novel yang menjadi dasar dari film yang tadi aku tonton. Dan novel itu adalah….. REFRAIN.

Ada seseorang yang ngirim foto novel itu lewat Whatsapp. Dia bermaksud untuk minjemin novel itu, tapi aku nggak mau.

Jadi, Refrain adalah film yang tadi aku tonton, yang mampu buat aku memutar banyak kisah yang pernah terjadi di kehidupan nyataku. Ya, hidup aku seperti dunia dongeng, ya! Haha.

Alhamdulillah, aku sangat berterima kasih kepada Allah SWT yang telah menulis kisah nyataku yang hebat ini.

Terima kasih kepada kak Winna Efendi yang telah menulis novel “Refrain” yang membuat aku lebih memahami lagi arti, hmmm, cinta.

Terima kasih kepada Erni Dwi Rahmawati yang udah beli kaset DVD-nya, dan ngajak aku nonton bareng.

Terima kasih kepada dua orang yang menjadi tokoh dalam cerita dongeng nyataku. Tanpa kalian, tulisan ini tidak akan ada. Mengutip dari novel Refrain sendiri yang aku temuin di http://coretanyanti.wordpress.com/2012/09/02/refrain-saat-cinta-selalu-pulang/ : Karena cinta tidak ingin bertahan dalam hati dua orang yang tidak menginginkan hal yang sama. Karena jika salah satunya tidak memiliki ruang yang cukup untuk cinta, maka cinta itu akan beranjak pergi.

Refrain: Saat Cinta Selalu Pulang…

Sabtu, 23 November 2013

Sheila - Part II (Terinspirasi dari lagu-lagu Sheila On 7)

Di dalam restoran tampak seorang perempuan berkacamata sedang duduk bersama dua orang laki-laki yang satu berjaket abu-abu dan yang satu berkemeja coklat. Aku dan Rena masih berdiri di depan pintu restoran berdinding kaca ini.

“La, Gara sama siapa, tuh?”
“Gue juga nggak tahu,” jawabku sambil menaikkan bahu.

Kami membuka pintu restoran dan langsung menghampiri Anggara yang berkemeja coklat.
Anggara yang melihat kami pun memanggil. “Rena, Sheila, kesini!” kata Anggara sambil mengayunkan tangan.
Sesampainya kami di meja yang ditempati Anggara, aku dan Rena menggeser kursi lalu duduk.
“Assalamu’alaikum, Ra,” sapaku.
“Wa’alaikumsalam. Apa kabar, La? Udah satu tahun nggakketemu. Lo tambah kurus kelihatannya, La. Hehe.”
“Alhamdulillah, baik, Ra. Gue kurusan? Hahaha.”
“Haha. Lo juga apa kabar, Ren? Wah, gue kangen sama teriakan lo manggil nama gue. Hehe.”
“Gue baik, Alhamdulillah. Pasti di sana nggak ada orang yang teriakannya sekencang gue, ya?”
“Bisa jadi, Ren, bisa jadi. Oh, ya, kenalin temen gue dari Bandung, namanya Wisnu dan Aca. Mereka mau tahu Bekasi, makanya gue ajak kesini.”
Aku dan Rena pun berkenalan dengan Wisnu dan Aca. Aca menyebutkan namanya sambil tersenyum, ia terlihat cantik dengan tatapan mata dari balik kacamatanya. Wisnu pun memperkenalkan dirinya dengan logat suara yang kental bahasa Sunda.
“Kalian teman kampus Anggara, ya?” tanyaku.
“Iya, satu jurusan juga,” jawab Wisnu.
Pelayan menghampiri kami, lalu meletakkan lima piring berisi pancake coklat di atas meja.
“Setelah ini, kita ke rumah Sheila, yuk!” ajak Anggarasambil menyendok pancake.
Rena berseru, “Ayo!”
“Ayo! Eh , tapi bukannya kalian nggak bawa kendaraan?”
“Kita naik angkutan umum aja, kalian boleh duluan, kok,” usulAnggara.
“Oke.”

Aku dan Rena menaiki motorku setelah Anggara, Aca, dan Wisnu memberhentikan mobil angkutan umum. Aku dan Rena memutuskan untuk melaju di belakang mobil angkutan umum itu, supaya tetap berbarengan menuju rumahku. Jalan menuju rumahku ada yang memang cukup bagus, di kiri dan kanan jalan terdapat sawah yang hijau membentang. Aku melirik ke arah dalam angkutan umum, aku melihat Anggara dan Aca sedang berbincang. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, yang aku tahu mereka terlihat sangat akrab.

“Di sini juga masih ada sawah, ya?” tanya Aca sambil memandang keluar jendela mobil.
“Iya, Ca. Kalau jalanan ke rumah Sheila, memang masih ngelewatin sawah-sawah.”
“Kiraim di kota besar dekat Jakarta ini, udah nggak ada sawah, kirain cuma gedung, ruko-ruko, dan perumahan aja.”
“Ruko-ruko juga banyak, sih, coba aja lihat itu, itu ada ruko-ruko dengan gedung bercorak luar negeri, tapi kalau dilihat dari sini, ruko-ruko itu kayak ada di belakang sawah,” jelas Anggara sambil menunjuk ruko-ruko dan sawah yang dimaksud.
“Pemandangan yang keren, ya, Ra. Haha.”
“Haha. Iya, nggak kalah keren sama Bandung.”
Aca hanya tertawa kecil.

Aku masih mengendarai motorku. Aku rasa, aku sedang tidak baik-baik saja. Aku merasa takut. Rasanya aku ingin segera menghilang namun itu tidak mungkin. Aku ingat saat masih sekolah, Anggara hanya dekat dengan dua anakperempuan, yaitu aku dan Rena. Tapi sekarang, aku tahu ada yang lain. Mungkin saja mereka sudah dekat dari setahun yang lalu. Dekat dengan perempuan itu, tanpa Rena dan aku.


Kau ajarkan aku bahagia
Kau ajarkan aku derita

Setelah bertemu dengan Anggara, Aca, dan Wisnu langsung akan kembali ke Bandung.
“Kemarin gue udah ketemu sama ibu bapak. Hari ini gue udahketemu kalian. Maaf, ya, gue cuma dua hari aja di Bekasi, soalnya gue udah mulai kuliah lagi.”
“Iya, Ra. Lo hati-hati, ya! Kalian juga hati-hati, Aca, Wisnu!” kataku.
“Iya, terima kasih, La. Seneng bisa kenalan dan main ke sini,” ucap Wisnu.
“Kapan-kapan boleh main lagi, ya? Hehe,” kata Aca.
“Boleh, boleh,”
Aku membuka pagar dan mempersilakan Anggara, Aca, dan Wisnu keluar rumah.
“Assalamu’alaikum, La,”
“Wa’alaikumsalam, Ra. Hati-hati, ya!”
“Iya. Sampai ketemu lagi, La!” ucap Anggara.

Lambat laun Anggara, Aca dan Wisnu menghilang dari pandanganku. Aku pun berkata pada Rena, “Sayang banget Gara cuma ke sini sebentar, padahal masih pengen main bareng,”
“Iya, La. Mungkin nanti kita bisa main bareng lebih lama. Kangen banget sama Gara.”
“Iya bener, Ren. Tapi udah seneng banget, kok, akhirnya kita bisa ketemu.”
“Alhamdulillah. Gue juga seneng, La. Oh, ya, besok kita ke mal, yuk!
“Mau ngapain? Nonton?”
“Iya, ada film bagus, loh. Film yang diambil dari bukunya penulis buku komedi. Pasti lucu, deh!”
“Boleh, tuh, ayo!”
“Oke. Eh, ya, ini ada coklat buat kamu, La,” kata Rena sambil memberi sekantung coklat berbentuk payung kecil dan koin.
“Wah, terima kasih, ya, Ren. Aku suka banget.”
“Hehe. Sama-sama. Yaudah, besok aku ke rumah kamu lagi, ya. Aku pulang dulu,” ucap Rena sambil berjalan keluar rumahku.
“Iya, Ren. Hati-hati di jalan, ya!”
“Assalamu’alaikum, La.”
“Wa’alaikumsalam.”
Aku tersenyum sambil melihat sekantung coklat yang diberikan Rena. Aku merasa lebih tenang dari sebelumnya. Rena memang sahabat yang baik, dia bisa meredakan rasa sedihku.


Layaknya luka yang telah terobati
Bila kita jatuh nanti, kita siap tuk melompat lebih tinggi!
Bersama kita bagai hutan dan hujan
Aku ada karna kau telah tercipta….


***
“Raditya Dika-nya itu, Ren, ekspresinya bikin ketawa terus.Hahaha.”
“Iya, La. Ceritanya juga lucu banget. Hahaha. Abis ini kita makan, yuk!”
“Yuk!”

Kami memasuki salah satu restoran cepat saji. Kami mengantre lalu memesan makan dan minum. Saat kasir memberitahu nominal harga makanan dan minuman kami, aku langsung mengambil dompet dari tasku. Rena pun berkata, “Nggak usah ambil uang, La. Ini sekalian pakai uang gue aja.”
“Ceritanya traktir, ya, Ren? Hehehe. Terima kasih, ya.”
“Iya. Hehehe.”

Setelah beberapa menit menghabiskan makan dan minum, kami berjalan menuju studio photobox. Renalah yang mengajakku, aku pikir ini pertama kalinya Rena mengajakku photobox.
“Lo yang pilih background-nya,ya, La!” ucap Rena saat kami sampai di depan pintu studio.
“Gue? Yaudah, nanti gue pilih yang lucu. Hahaha.”
Setelah kami memasuki studio dan ber-photobox dengan gaya kami masing-masing, lagi-lagi Rena yang membayarnya.
“Makasih lagi, ya, Ren. Hari ini seru banget. Hehehe.”
“Sama-sama, La. Eh, kita duduk di situ dulu, yuk!”
Lalu Rena mengajakku duduk di tempat duduk peristirahatan mal.

“La, kemarin pagi gue dapat kabar dari ayah gue, ayah guemau pindah rumah, La.”
“Pindah? Ke mana?”
“Ke Bogor, La. Ayah gue juga pindah kerja di sana.”
“Kok, pindah, Ren?”
“Kantor ayah gue buka cabang baru di Bogor, dan ayah gue harus pindah kerja ke sana.”
“Berarti lo juga pindah, dong, Ren?” tanyaku dengan wajah menunduk.
“Iya, La.”


Sahabat sejatiku hilangkah dari ingatanmu
Di hari kita saling berbagi
Dengan kotak sejuta mimpi aku datang menghampirimu
Kuperlihatkan semua hartaku
Kita slalu berpendapat, kita ini yang terhebat
Kesombongan di masa muda yang indah
Aku raja kau pun raja
Aku hitam kau pun hitam
Arti teman lebih dari sekedar materi

***
Sekantung coklat dari Rena belum habis, sama seperti rasa manis yang masih terasa dalam persahabatan aku dan Rena. Aku melanjuti makan coklat sambil berbaring di tempat tidurku. Radio yang sengaja kuhidupkan melantunkan sebuah lagu:

Melihat tawamu, mendengar senandungmu
Terlihat jelas di mataku, warna-warna indahmu
Menatap langkahmu, meratapi kisah hidupmu
Tegaskan bahwa kamu, anugerah terindah yang pernah kumiliki
Sifatmu kan slalu, redakan ambisiku
Tepikan khilafku dari bunga yang layu
Saat kau di sisiku, kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu, anugerah terindah yang pernah kumiliki

Seolah lagu ini mengerti perasaanku. Sejenak aku merenung. Mengapa aku harus merasa sedih saat Anggara dan Rena pergi ke kota lain? Mengapa aku harus takut kehilangan sahabat seperti mereka? Mereka dan semua hal yang telah terjadi dalam hidupku adalah anugerah, anugerah terindah yang pernah kumiliki, harusnya aku mensyukurinya, Alhamdulillah…

***
Kembali pada masaku saat ini…

Aku masih memandang pohon-pohon yang melambai-lambai. Aku menengadahkan kepalaku dan memandang ke atas, namun belum ada bintang. Aku sadar, kemanapun pikiranku melayang di langit luas, aku tetap saja kembali pulang, kembali ke bait pertama. Bait dimana aku pertama kali bertemu, menyapa, tersenyum, dan memanggil. Tiba-tiba langit menjatuhkan sesuatu, ternyata hujan turun.....


Sekuat kaki ini kucoba berlari
Tetapi hati ini menuntunnya kembali
Ke bait pertama, ke bait pertama



Bersambung...

Senin, 18 November 2013

Sheila - Part I (Terinspirasi dari lagu-lagu Sheila On 7)

Ribuan hari aku menunggumu
Jutaan lagu tercipta untukmu
Apakah kau akan terus begini
Masih adakah celah di hatimu
Yang masih bisa tuk kusinggahi
Cobalah aku kapan engkau mau
Tahukah lagu yang kau suka?
Tahukah bintang yang kau sapa?
Tahukah rumah yang kau tuju?
Itu aku…

Angin malam ini cukup dingin. Di tempat ini, aku hanya memandang pohon-pohon yang melambai-lambai. Langit di atas sana hanya hitam, tidak dengan hiasan titik-titik putih. Sayup-sayup aku teringat sesuatu. Aku mengepalkan jemariku dan membukanya satu persatu. Satu, dua, tiga, empat. Aku berhenti membuka jariku saat hitungan keempat, lalu tersenyum tanpa suara. Hitungan ini meyakinkanku, aku sudah ribuan hari menunggu dia. Aku tertawa kecil dalam hati, lagi-lagi tak bersuara.

Di saat kita bersama
Di waktu kita tertawa, menangis, merenung oleh cinta…..

Saat itu, aku masih sekolah…

***
Aku berlari kecil menuju lapangan, ikut berdiri pada baris yang telah dibentuk. Aku masih terengah-engah. Aku berdiri tepat dibelakang Rena.
“La, kok, tumben baru datang sekarang?” tanya Rena. Aku yang sedang membuat stabil kembali nafasku sambil menjawab, “Iya,tadi macet, Ren. Untung gerbangnya belum ditutup.”

Upacara berlangsung cukup tertib. Seperti biasa, diakhir upacara, disiarkan suatu pengumuman. Kali ini, pengumuman tentang prestasi yang baru saja diraih oleh salah satu murid sekolahku. Ia meraih juara kedua lomba Matematika Teknik se-Jawa Barat. Ia mendapat ucapan selamat dari Kepala Sekolah.

Seusai upacara, semua yang berada di lapangan langsung berhamburan keluar tak beraturan. Aku dan Rena berjalan sambil mencari seseorang.
“La, di sana!” kata Rena sambil menunjuk ke arah tiang basket.
Kami langsung berjalan menuju tempat itu.
“Hai, Gara, selamat yaaaaa!” teriak Rena.
“Terima kasih, ya!” seru Anggara sambil tersenyum.
“Kayaknya bisa, nih, traktir Pop Ice di kantin, hehe,” kataku.
Anggara tertawa kecil. “Istirahat nanti siang aja, yuk!” ajak Anggara.
Aku pun berseru, “Asyik, oke!”
***
Kantin sekolah hari ini cukup sepi.  Aku dan Rena menghampiri Anggara yang sudah duduk di salah satu kursi.
“Lo udah lama di kantin, Ra?” tanyaku.
“Baru, kok. Kalian langsung pesan aja!”
“Gue mau rasa Vanilla Latte, La,” kata Rena.
***
“Lo lombanya waktu itu di mana, Ra, kok sampai tiga hari?” tanya Rena sambil  menyeruput Pop Ice.
“Lombanya di Bandung. Di sana itu orang-orang pedesaan. Cantik…........”
“Ciye, Gara!............” ledekku memotong cerita.
“Bukan itu aja maksud gue. Orang-orang di sana pinter-pinter. Mereka belajar matematika itu pakai buku itu,” jelas Anggara sambil menunjuk buku besar yang aku pegang.
“Terus isi bukunya penuh?” tanyaku.
“Iya. Isinya rumus semua.”
“Wow. Di sana lo nginap di mana, Ra?” tanya Rena penasaran.
“Di salah satu hotel di kotanya, dekat jalan raya, jadi gue nggak bisa langsung lihat pemandangan hijaunya Bandung.”
“Yah, sayang banget,” kataku sambil membuang gelas plastik yang sudah kosong ke dalam tong sampah.
“Eh, tahu nggak, abis lulus, Insya Allah gue mau kuliah di Bandung.”
“Bandung?”
“Iya, La. Bandung itu kota impian gue,” jelas Anggara padaku.
Aku hanya tersenyum kecil.

Hari telah berganti
Tak bisa kuhindari
Tibalah saat ini bertemu dengannya…..

“Hari ini hari terakhir latihan teater, loh, La. Lo beneran nggak bisa dateng? Kan perpisahannya seminggu lagi.”
“Bisa, Rena. Tapi gue datengnya agak telat, hehe.”
“Emang mau ngapain?”
“Mau anterin kue coklat ke Anggara.”
“Oh. Kue coklat buatan ibu kamu yang tadi aku makan?”
“Iya, Ren. Izin, ya.”
“Oke, Sheila.”

Aku menyusuri koridor utama sekolah dan menggerakkan kepala dan mataku kiri kanan. Aku yang tidak menemukan Anggara dikoridor, lanjut berjalan ke arah ruangan yang terdengar “suara” dari luar. Aku melihat Anggara sedang mengikuti iringan musik akustik dengan bernyanyi. Dia belum melihatku. Aku malah diam berdiri di depan pintu. Beberapa saat kemudian, Anggara melihatku. Aku tersentak dan mulai memanggil, “Anggara, sini deh!”
Anggara menghampiriku dan aku langsung memberikan kotak makanan kecil.
“Ini apa, La?”
“Ini kue coklat buatan ibu gue, ibu gue buatnyabanyak, tadi Rena udah makan, nah, yang ini buat lo.”
“Makasih, ya, La. Pas banget buat dimakan di selalatihan.”
“Iya, sama-sama, Ra. Gue langsung latihan teater,ya!”
“Iya, La. Sukses, ya, latihannya!”
“Lo juga!”

***

Mungkin diriku masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian

“Ciye….. tadi akustikannya bagus banget, Ra!” puji Rena pada Anggara.
“Hehe. Kalian juga aktingnya bagus, lucu lagi, kalian jadi cewek centil di sekolah, tadi gue ketawa melulu.”
“Menghibur orang itu dapat pahala,” kataku sambil menoleh ke arah Rena.
“Iya, dong. Eh, hmmm, ini hari perpisahan, ya?” kata Rena dengan nada yang menurun.
“Nggak terasa, ya, kita udah tiga tahun bareng-bareng,” ucapku pelan.
Anggara menatap aku dan Rena dengan tidak biasa, “Iya. Maafin gue, ya, kalau gue punya salah.”
Rena langsung berucap, “Gue juga, Ra.”
“Gue juga minta maaf, ya,” kataku.
Anggara tersenyum memandangi aku dan Rena. “Gue bakal ke Bandung hari Rabu, makasih banyak atas do’a kalian, gue jadi beneran bisa kuliah di sana.”
Aku hanya diam dan menunduk. Aku berharap tidak ada lagi kalimat yang terdengar dari Anggara. Aku hanya mendengar perkataan batinku, “Jangan berhenti berharap!”

Bersambung...