Sabtu, 20 Desember 2014

Menurut Kalian?

Suara langkah kaki di malam hari
Berlarian kecil memecah hening
Membelalakkan mataku namun bergeming
Meninggalkan kotak tepung berlilin
Menurut kalian, biasa saja

Giliranku yang berlarian
Menemuinya tanpa teman
Dibalik buku merah ada yang mengintip
Ternyata titik-titik cahaya yang menggelitik
Menurut kalian, biasa saja


Ah, tak perlu itu, sederhana saja
Pesan-pesannya yang sering
Cokelat payung dan koin dalam plastik bening
Bahkan air mata yang mengering
Menurut kalian, masih biasa saja


Aku juga ingin seperti kalian, biasa saja
Tapi coba dengar suara kakiku yang berjalan semalam
Menyusuri ruang berlampu terang dengan lagu-lagu kebetahan
Sendirian, menggapai kosong
Sesak, menyelipkan kuat
Terdengar suara riuh dari balik tumpukan kemasan
Aku ingin ikut ke dalamnya, marah-marah
Namun hatiku sudah berbunyi lebih awal
Urung dan pulang
Aku pulang yang salah
Aku mengingatnya, lagi
Menurut kalian, aku sungguh berlebihan


Nanar pada deretan pesannya, aku lengah
Hanya bisa memandang kamar yang buyar
Melihat lipatan bungkusan cokelat muda
Sampai ada suara yang menyelinap entah darimana
Bohong, itu suara via telepon beberapa minggu lalu
Kami tertawa tanpa bersalah dan menyakiti
Menurut kalian, aku bodoh


Huh, memang begini nasib manusia kesepian
Senang pulang pada yang bukan sepi
Senang pergi untuk lupa pada sepi
Menurut kalian, bagaimana jadi aku?
Dan menurutku, coba kalian jadi aku!

Aku Tidak Punya Hati

Aku jahat padamu
Menenggelamkanmu di lautan hati
Hati yang sangat rapuh, keropos
Airnya yang patah setiap hari
Dan telingaku jenuh mendengar bunyinya


Aku tidak punya hati
Menyeretmu dalam gua yang gelap ini
Memintamu mengikutiku yang suram ini
Padahal aku tahu, kamu milik putri cantik nan jelita
Aku malah memaksamu bersamaku
Aku tidak punya hati, kan?


Aku sangat egois
Menginginkanmu menjadi milikku
Menulis namamu dalam pengharapanku
Padahal aku tahu itu tidak mungkin
Itu hanya dunia paralel kita
Ah, bukan kita, tapi duniaku sendiri


Seperti judul lagu, “Andai Aku Bisa”
Maka berjayalah andai dalam langkahku
Maka kuselipkan kata “Tidak” sebelum “Bisa”
Aku….tidak bisa
Aku tidak akan pernah bisa


Kamu tahu?
Aku ini manusia sibuk
Sibuk menjadi apa dan siapa saja
Sibuk menjadi seorang pelupa, pelupa sakit hati
Ya, aku ingin lupa pada luka yang menganga
Lagi-lagi airnya patah berulang-ulang
Dan aku jatuh lagi berkali-kali
Ya, jatuh cinta
Padamu yang sangat tahu aku
Tanpa aku ceritakan bagaimana aku
Padamu yang mengenalku
Tanpa aku berikan riwayat hidupku


Maaf, ini puisi mati
Rasa ini pun harus mati
Akan kubunuh perasaan ini dengan pedang yang kauberi padaku
Atau dengan waktu yang kita gelangkan bersama


Tolong jangan bahagiakan aku lagi
Sebab setelah ini aku akan jatuh lagi
Tak apa, aku yakin aku jatuh
Jatuh cinta
Entah pada siapa
Mungkin padamu lagi?
image

Minggu, 16 November 2014

Dua Puluh

Hai, Guys!


Kali ini gue bukan mau nulis puisi, atau nulis cerpen, atau nulis artikel dengan ke-sok-tahu-an-nya gue. Hahaha.


Hmmm, gue cuma mau cerita sedikit tentang sesuatu yang gue alami.
Sebenernya , sih, gue mau nulis cerita ini dari bulan September, tapi berhubung gue baru sempet karena kesibukan (jiah) gue yang terus-menerus melanda, akhirnya baru bisa gue rampungin hari ini.
Ini cuma seputar kisah mengenai ulang tahun gue yang keduapuluh, yang kata orang, umur ini udah menjadi dasar seseorang untuk dibilang dewasa, bukan ABG lagi.
Oke, langsung saja!


11 September 2014
Eh, salah deng!
10 September 2014
Handphone  gue berdering. Nomor yang tertera tanpa nama. 0852-….-…. (nggak hafal).
Ah, dia. Gue tahu siapa yang menelpon gue walaupun gue nggak simpan nomornya.
Gue angkat.
“Halo!”
“Halo! Belom tidur?”
“Belom.”
“Jangan tidur dulu, ya!”
“Kenapa?”
“Hmmm, pokoknya jangan tidur dulu, oke!”
“Hmmm, iya.”
Tut… tut… tut!
Dia lagi, apa lagi? Dia mau ngelakuin hal “gila” apa lagi? Setelah dia pernah datang ke depan rumah jam 00.00 di tanggal 11 September tahun 2010? Setelah dia pernah “nyelipin” boneka kura-kura di buku pajak gue dan ketemuan di deket tangga masjid, waktu gue naik umur jadi 17 tahun?
Arrrrggggh!


Pukul 00.00
Gue was-was. Gue mempertajam pendengaran gue. Bukan, bukan buat dengerin suara di telepon, tapi buat mastiin di luar rumah nggak ada “suara-suara aneh” seperti 4 tahun yang lalu.
Tapi, pendengaran gue nggak bisa menyangkal. Gue denger suara-suara gitu di luar rumah, tapi gue nggak ngintip dari jendela kamar, gue takut gue cuma berilusi doang, atau malah de ja vu. Gue masih di kamar belakang (bukan kamar tidur), tapi nggak ngapa-ngapain. Diem. Atau lebih tepat disebut mikir, tapi nggak tahu apa yang dipikir, melayang. Sampai di menit ke 42, handphone gue berdering lagi. Nggak usah mikir siapa yang memanggil, gue udah sangka siapa. Siapa lagi kalau bukan orang yang tadi habis nelpon gue, sebut saja RYF.


Gue mendengar lagi suaranya, suara khas dia yang biasanya terdengar memilukan, tapi kali ini, suaranya berbeda, ini suara yang ceria.


Diawali salam dan sedikit kata-kata pembuka ala dia, lalu tiba-tiba ada suara lain di luar suara dia. Suara wanita. Ups, tenang! Bukan suara pacarnya, tapi suara sahabat SMK gue yang kami panggil Tata.


Tata, wanita periang dengan suara yang cukup menggelegar. Nggak peduli ngomong sama siapa dan di mana, ia selalu terdengar (dan terlihat) ceria, nggak seperti gue yang hobinya cemberut dan melontarkan suara memiris, hahaha.


Selanjutnya, ada suara lain lagi, suara laki-laki yang berat dan kadang bernada datar, Yudi namanya. Teman SMK kami, eh, selain itu juga sahabatnya RYF. Dia pernah satu kantor sama gue, tapi nggak lama. Gue bingung, mereka ada dalam satu tempat apa gimana, sih?! Eh, ternyata ini namanya Conference Call. Hahaha. Maklum, gue, kan, hampir nggak pernah teleponan jadi baru tahu.


Suara di luar rumah makin kedengeran. Gue tambah gusar, gue pindah ke kamar depan (kamar tidur). Walaupun ada nyokap gue, gue tetep milih teleponan di kamar, biasanya, sih, gue nggak mau, gue tahu nyokap itu orangnya suka ngedelek, ntar gue diledekin gini lagi: “Teleponan sama siapa? Udah jam berapa ini? Tidur!” Eh, itu mah bukan ngeledek, yak, tapi marah! Hahaha!


Gue tadinya mau ngintip ke jendela, tapi gue dikagetkan dengan suara lain yang sejujurnya asing banget di telinga gue.


“Halo.”
“Halo. Siapa, ya?”
*RYF,Tata,Yudipadaketawa*
“Halo.”
“Siapa, sih?”
*ketawanyatambah-tambah*
“Beneran nggak tahu. Siapa, sih?” Kalau ada cermin di depan muka gue, sudah dipastikan muka gue cengo’ banget!!!
“Ini beneran nggak tahu?” tanya RYF masih cekikikan.
“Siapa?” Gue melas.
“Ini Ijul,” ucap laki-laki yang sedari tadi gue nggak kenal suaranya itu.
“Oh, Ijul!!!”
“Kok, nggak tahu, sih?” tanya RYF yang sudah pasti heran.
“Iya, kan, nggak pernah denger suaranya lewat telepon,” kata gue polos.
Selama “bareng” sama Ijul, gue nggak pernah, tuh, teleponan sama dia, kecuali, kalau darurat banget. Contohnya, kalau gue lagi di tempat fotocopy, trus….. “Jul, fotocopy-nya berapa? Tadi si Gessy juga mau fotocopy materinya, boleh?” *ROTFL*
Gue memang bukan manusia yang suka teleponan. Aneh, kan?
Kemudian semuanya meledek gue. Suara Ijul terdengar sepatah-dua-patah kata.
Dan….. serius, suaranya Ijul merdu banget! Padahal bukan lagi nyanyi (secara, dia vokalis), dia cuma ngomong aja indah banget suaranya, whahaha!


Setelah tertawa karena meledek dan lain sebagainya, sampailah pada inti pembicaraan (gue lebih memperhatikan bagian ini, hahaha), yang maksudnya adalah ucapan ulang tahun buat gue.
Yang jadi moderator dalam pembicaraan ini, ya, RYF. Gue rasa, sih, ini udah diskenarioin, tapi whatever, lah. Gue jarang-jarang mendapati hal kayak gini :).


Dimulai dari Yudi, setelah ngucapin selamat ulang tahun, dia ngutarain permintaan yang ditujukan ke gue: Do’ain Yudi supaya mendapatkan gebetannya, dan semoga gue menggunakan sisa waktu dengan sebaik-baiknya.


Kedua Tata, ngucapin juga, kemudian minta gue untuk: jangan jauh-jauh, berkomunikasi dengan hati (hahaha, I know what you mean, Ta!), jangan berubah dan tetep jadi Sandra yang dia kenal.


Ketiga Ijul, setelah ngucapin, dia minta: jaga diri baik-baik, do’ain Ijul yang sebentar lagi mau TA (gue udah bayangin dia wisuda aja, hahahahahaha).


Lalu, keempat, RYF, sang moderator. Eh, tapi…………. pembicaraan jadi agak ngelantur, entah ini bagian dari skenario atau bukan. Sampai pada akhirnya RYF nggak ngasih tahu apa permintaannya.


Setelah permintaan dari mereka, gue lah yang gantian mengutarakan permintaan.
Selalu, kalau soal “mengutarakan-mengutarakan” gue awkward banget! Sampai akhirnya si Tata yang baik hati bilang: Sandra pengen dinyanyiin Ijul.
Si Ijul nanya nyanyi lagu apa? Tik tok tik tok. Gue bingung, hahahahahaha.
Untungnya Allah selalu memampirkan ide sekelibat.
“Nyanyi lagunya Project Pop, yang ‘kamu sangat berarti, istimewa di hati’.”
“Ingatlah hari ini!” tanggap RYF.
“Ayo, bareng-bareng!” ajak Ijul.
*nyanyibarengdengansuaradominanIjuldanRYF*
*guesenyum*


Lalu nggak lupa mengenai traktiran. Rencana traktiran dibicarakan dan diputuskan bersama. Kami akan bertemu tanggal 14 September di pecel lele depan kampus gue.
Sampai akhirnya pembicaraan kami berlima selesai karena ada sofa dan kulkas yang berantem (bagian ini disensor, ya! :p).


Tut… tut… tut! Teleponan berakhir di 00.55.


Oh, ya, di tengah teleponan berlima, nyokap gue ikut denger suara-suara aneh di luar rumah, dan bilang, “Di luar ada orang, tuh!” Sampai nyokap gue keluar kamar dan buka pintu rumah, pas balik nemuin gue, beliau bilang, “Ada kucing!” Woelaaaaaah! Hufttttt!


Pukul 01.05
Gue mengangkat handphone.
Suara dia lagi. Dengan kalimat pembuka, lalu inti pembicaraan.
“Tadi aku, kan, belum sebutin permintaan aku.”
“Emang apa?”
“Beneran mau denger?”
“He’eh”
“Permintaanku cuma dua kata.”
“Apa?”
*hening*
***


“Nungguin, ya?!”
“Iiiiiiih!”
*suaraketawadaribaliktelepon*
“Apaan?” ucap gue kepo.
“Jangan pergi!”
Jadi ini lah, hal “gila” yang daritadi gue tunggu-tunggu.
“Iya.”


11 September 2014
Malam hari, di Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, kampus II – Bekasi
“Hai!” ucap gue menyapa Adit, Saqoh, Engkong, Dyah, Alex.
Dessy yang berjalan bareng gue, ikut duduk mendekati mereka.
“Saqoh, pizza-nya mana? Udah diambil di Bude?”
Pizza apaan, sih, San?” tanya Adit pakai nada sewot nggak jelas.
“Ih, lah, kita ngapain di sini?”
“Lah, kan, kata lo kita ngumpul di sini? Lo lupa?” tanya Dyah yang nggak biasanya ngomong kayak begitu.
Astagfirullah. Kalau ada cermin di depan muka gue (lagi), muka gue pasti kelihatan kebingungan.


Beberapa jam yang lalu…
Gue sampai di kampus bareng Dessy, dan bawa sekotak Pizza buat makan-makan bareng sahabat-sahabat kampus dalam rangka hari ultah gue. Gue minta tolong Saqoh buat bawain Pizza karena gue bingung bagaimana cara bawanya di tengah kerumunan anak kampus yang banyak (atau lebih dibilang malu atau nggak pede). Akhirnya Saqoh yang baik hati dan penolong bersedia bawain sekotak Pizza itu dan dibawanya ke kantin Bude, dititipin di situ.
Dan…. sebelumnya gue kirim pesan via multichat BBM supaya kami semua ngumpul pulang kuliah, supaya bisa makan Pizza bareng.
Balik lagi di tempat semula, lobi kampus.
“Lho, gimana, sih?” tanya gue, bingung.
“Apaan, sih, San?!” kata Adit yang bikin gue tambah nggak ngerti.


Tiba-tiba, dari belakang muncul sekotak kue bulat dengan lilin 2 dan 0 di atasnya. Lilinnya menyala dan dibawa oleh laki-laki berjulukan Beler. Kue dengan tulisan di atasnya: Lo jangan geer, San!
*nyanyilaguulangtahun*
*makeawish* *tiuplilin*
“Ini rencana Adit!” Entah siapa yang bilang.
“Enggak, ini dari kita semua,” kata Adit dengan nadanya yang amat gue kenal.
*speechless*
Mereka pada ngomong apa gitu, tapi gue nggak fokus.
“Ini kue Blueberry, kue kesukaan gue, jadi nanti bisa buat gue! Hahaha,” ledek Adit (kalau nggak salah, gue lupa! :p)
*potongkue*
Serius, kuenya lembut banget! Gue motongnya nggak pake usah pakai tenaga, udah kepotong kuenya #apasih.


Yap, potongan kue yang pertama.
“Potongan kue pertama buat siapa?”
“Dessy!”
“Nggak boleh cewek. Juga nggak boleh gue, Saqoh, atau Engkong!” ucap Alex.
“Ih!”
*padaketawa*
*handphonedengansettingvideodiaktifkan*
“Buat siapa, Sandra?” tanya Engkong sambil megang handphone gue, merekam.
“Adit.”
“Ciyeeeee!”
Ah, udah, ah, jangan diceritain. Hahahahahaha.
Nggak, nggak…
“Dengan cara begini, udah sebagai kado terindah, buat Sandra,” ceplos Alex, ngasal.
*guediem*
Dan…. akhirnya gue nyuapin Adit kue potongan pertama.
Kedua: Dessy. Ketiga: Dyah. Keempat: Alex. Kelima: Saqoh. Keenam: Engkong.
Alhamdulillah! That’s a specially moment for me!!!!!! :’)
*makanPizza*
*rapiinkueyangmasihada*
“Buat nyokap lo, San! Bilang, dari Adit!”


Setelah makan-makan, kami semua pun menuju motor masing-masing buat pulang.
Dyah gue tarik buat nemenin gue ambil motor di samping kampus, jauh -_-
“Ngapain Dyah ikut lo? Dyah jangan bareng lo, kejauhan!”
“Enggak. Dyah nemenin gue ambil motor!”
“Nggak usah. Dit, temenin Sandra, tuh!”
“Ayo, San!”
Gue menduduki jok belakang motor Adit. Berhenti di deket motor gue. Gue cantolin kue yang buat nyokap di motor, pake helm, hidupin mesin motor, dan mengendarai motor gue menuju gerbang bareng Adit. Yap, no voice selama cuma berdua sama Adit :p
Gue pulang.
Membawa kue Blueberry. Mengendarai motor menuju rumah.
Tidak merasakan apa-apa.
Hambar.
What’s happen with me?
Hahaha. Seperti yang Tata katakan, berkomunikasi dengan hati.
Gue….. belum bisa.
Permintaan yang gue pikir itu nggak mudah. Buktinya, gue nggak tahu, gue senang, sedih, terharu, atau apa?! Hambar. Apa gue mati rasa? Atau gue ini Aleksitimia (suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk menghayati suasana perasaannya)? Hahahaha. Gue mulai ngawur.
Memang, semua spesial banget buat gue, tapi tanpa seseorang yang spesial, rasanya ada yang aneh.
Egois memang. Tapi hati gue yang merasakan.


Sampai tanggal 14 September tiba……………
Gue sakit tenggorokan. Kebanyakan pulang malem pas menjelang ospek, badan gue mulai lemah.
Tapi gue tetep berusaha ketemu sama RYF, Ijul, Tata, Nisa, Yudi.
Makan bareng mereka, bercanda bareng mereka, karaokean bareng mereka sampai pukul 23.00-an.
Pulangnya, gue dianter sama RYF dan Yudi sampai rumah. FYI, gue nggak pakai jaket.
Besoknya, gue beneran sakit, demam. Gue nggak masuk kerja di hari Senin.
Besoknya lagi gue masuk kerja, dengan badan yang masih kurang bersahabat.
Besoknya lagi gue nggak masuk kerja lagi.
Besoknya lagi gue nggak masuk kerja lagi.
Hari Kamis baru masuk kerja.
Gue kenapa?
Baru kali ini gue nggak masuk kerja 3 hari karena sakit dalam waktu yang hampir berurutan.
Sepertinya gue…………….. kecapek’an. Hehehe.


Cukup sekian cerita gue. Haha. Kalau ada kesalahan dalam penulisan dan dialog, gue minta maaf yang sebesar-besarnya, karena gue nggak bisa ingat persis perkataan tiap-tiap orangnya, mohon maklum :).
Thanks, Guys, udah sempetin baca! Kalau kalian mau kenal sama tokoh-tokoh yang ada di cerita gue, silakan tanya gue ke @sandrasasi. Whahaha. Macem selebtweet aja gue :p
Semoga ada pesan tersirat yang bisa menjadi pelajaran atau pesan buat kalian yang membacanya.
Setelah gue merasakan semua hal di atas, gue mengerti sesuatu.

Setiap orang punya tempatnya masing-masing. Ada yang ditempatkan sebagai sahabat, bahkan seolah seperti keluarga baru. Mereka semua spesial, kita berhak bahagia atas itu. Tidak usah dipikirkan harus merasa apa, berbahagialah. Hingga pada saatnya kita tahu: siapa yang paling istimewa, dan siapa yang hanya membawa pelajaran. Semua adalah yang terbaik yang Allah beri. Allah Maha Mengetahui, kan? :)
Sekali lagi, makasih :)!

Minggu, 02 November 2014

Menunggu

“Lo masih nungguin dia?” tanya laki-laki yang duduk berhadapan dengan kemudi, sesekali menatap perempuan di sebelah kirinya.
“Hah?” ucap Nia tersentak, seolah tidak mendengar.
Laki-laki itu mengulang pertanyaan walaupun ia tahu sebenarnya Nia sudah mendengar.

“Iya, lo masih nungguin Sigit?”
Perempuan itu menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga sambil mendesah kecil.
“Sampai kapan lo memendam perasaan, Nia? Lo nggak usah mikirin gue,” tutur laki-laki pengemudi itu lalu tertawa kecil.
“Lo kenapa nanya-nanya, sih? Udah nyetir aja!”
“Lho, memangnya kenapa kalau menyetir sambil ngobrol?”
“Nanti lo nggak fokus nyetir! Lo, kan, juga lagi bawa satu nyawa, kalau kenapa-kenapa gimana?”
“Heh, kita itu dikasih otak yang super hebat tahu! Mestinya otak bisa dipakai buat mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus, sayang kalau dipakai beberapa persen doang!”
“Wira, please, deh!” kata Nia sebal. Laki-laki di sebelah kanannya itu memang lebih cerdas darinya, Wira selalu punya pernyataan yang sulit disangkal.
“Nia, kita harus kayak Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, atau penemu-penemu lainnya, memaksimalkan kinerja otak. Nah, jadi gue ngelakuin ini supaya…….”
“Setop! Iya, iya! Tapi sebenernya kita ini mau ke mana, sih? Gue, kan, lo culik tadi, tapi lo nggak bilang kita mau ke mana, gue telepon polisi, nih!”
“Polisi, kan, nggak kenal gue, buat apa lo telepon dia. Mending lo jawab pertanyaan gu e yang tadi, deh. Lo masih nungguin Sigit?”
“Menurut lo?”
“Masih lah! Terakhir gue denger cerita lo, lo seneng banget bisa ketemu dia di Rabu malam. Lo bilang dia matanya berbinar banget, dan lo selalu teduh melihatnya. Dari situ gue tahu kalau lo masih nunggu dia, nunggu dia peka sama lo. Nunggu dia nggak cuma nganggep lo temen. Ya, kan?”
“Ah, lo sok tahu.”

Wira tertawa lagi. Ia mengemudikan mobilnya melintasi jalan satu arah yang sepi. Sementara Nia memilih mengalihkan pandangannya ke jendela, memandang hamparan rumput dan tanah kosong yang ia dan Wira lalui. Nia berharap pertanyaan Wira tidak perlu dijawab.
Mobil melaju cukup kencang, lalu berbelok ke kanan dan melewati jalan yang lebih sempit. Wira menginjak pedal rem, mobil pun berhenti.

“Kita sudah sampai,” kata Wira dengan nada suara yang hampir tidak terdengar oleh Nia.
“Kita ini di depan rumah siapa?”
“Coba tebak!”
“Gue kenal?”
“Kenal banget lah! Dia juga kenal lo! Keluar saja, temui orang di dalam rumahnya!”
Nia bingung. Tapi ia tetap membuka pintu mobil, melangkah keluar, dan berjalan dua langkah. Ia memandangi teras rumah itu. Terdapat satu buah meja dan dua buah kursi yang terbuat dari kayu. Tiba-tiba Nia melihat seseorang duduk di salah satu bangku itu.

Sigit.
Nia melihat sosok Sigit tersenyum menghadapnya. Jantung Nia terasa berdegup lebih cepat. Nia melambaikan tangannya namun tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Baru saja Nia ingin mendekat, namun dalam hitungan lima detik, Nia malah mengucek kedua matanya.
“Hah?” teriak Nia sendirian.

Nia langsung terburu-buru ke arah mobil, membuka pintu, langsung duduk, dan menutup pintu dengan tenaga yang cukup kencang.
“Lo kenapa?” tanya Wira panik. Sejauh ia melihat Nia lewat kaca di hadapannya, nampaknya Nia tidak melakukan apa-apa selain melambaikan tangan.
Nia diam, namun dengan muka yang amat tegang dan serius.
“Lo tadi melambaikan tangan sama siapa?”
“Gue mau pulang, Ra. Gue takut.”
“Takut apa, Nia? Lo jangan horor, dong!”
“Gue kayaknya udah terlalu menyimpan perasaan, sampai-sampai gue….. punya ilusi hati yang bener-bener berlebihan, Ra. Gue takut.”

Wira mengambilkan sekaleng minuman bersoda pada Nia.
“Gue cuma punya ini di mobil, nggak ada air putih. Sekarang lo minum dulu, biar tenang!”
Nia mengikuti perintah Wira. Wajahnya berubah, tidak setegang tadi.
“Gue tadi melihat Sigit di teras rumah itu. Tapi ternyata gue cuma berilusi, Ra. Sebenernya Sigit nggak ada di situ. Lagipula itu rumah siapa saja gue nggak tahu. Tadi gue kira itu rumah Sigit. Wira, kita pulang saja, ya!”
“Nia,  sebenernya itu rumah Sigit. Gue memang bawa lo ke rumah dia. Sudah sampai sini, kok, malah minta pulang?!”
“Enggak, tetep saja gue nggak mau, Ra. Kita pulang saja! Percuma, gue cuma berilusi doang, nggak mungkin dia mau menyapa gue seperti yang tadi gue bayangin sendiri. Dia nggak seramah itu sama gue. Gue nggak mau termakan ilusi hati kayak gini, Ra. Gue tersiksa!”
“Yakin mau pulang?”
“Iya.”
“Lo nggak nungguin dia keluar dari rumahnya?”
“Nggak.”
“Bentar lagi dia keluar kali, tungguin saja!”
“Nggak mau.”
“Sudah sejauh ini, lho!”
“Nggak bisa, Ra. Dia bukan buat gue.”
“Lo nggak usah mikirin gue, gue nggak apa-apa. Walaupun memang gue sayang banget sama lo, tapi gue tahu lo menunggu siapa. Gue mau bantuin lo untuk melakukan hal lain selain menunggu, gue mau lo menemuinya. Makanya gue ajak…..”
“Ra! Ayo pulang!”
“Tapi……”
“Ra, gue mau pulang sama lo. Gue sadar, kok, sama semua yang lo lakuin ke gue. Gue tahu lo begitu pedulinya sama gue, sampai-sampai lo malah nganterin gue ke rumah Sigit. Tapi sekarang gue sadar, Ra. Sigit bukan buat gue, dia nggak ada buat gue. Yang sekarang gue mau adalah pulang sama lo!” ucap Nia dengan nada yang makin lama makin meninggi, lalu bulir air dari matanya jatuh. Nia berusaha mengatur napas, namun gagal karena menangis.
“Orang yang gue tunggu belum tentu juga menunggu gue, Ra. Gue nyerah.”
Sebenarnya Wira ingin sekali memeluk Nia, namun ia menahan niatnya itu. Wira tidak mau Nia malah menjadi marah. Wira hanya menatap nanar Nia yang sedang menjadi lemah.
“Maafin gue, Ra. Ayo kita pulang!” ucap Nia sambil….. memeluk Wira.


Note:
Sebenarnya Wira bohong. Ia tidak membawa Nia ke rumah Sigit. Bahkan Wira sendiri tidak tahu itu rumah siapa. Yang benar: Wira sangat menyayangi Nia.

Apalah Arti Menunggu?

Ini bukan soal judul lagunya Raisa, soalnya sekarang yang lagi booming judulnya LDR (apa, sih!).
Ini soal arti dari kata “menunggu”, tapi nggak pakai KBBI.
Jadi, gini…
Kata orang, pekerjaan yang paling membosankan adalah menunggu.

Life-is-to-short-2014-quote
Kata gambar di atas, “Life is too short to wait” yang punya makna kalau hidup itu terlalu singkat, jadi sangat sayang kalau digunain buat menunggu.

Wait, wait!
Coba, deh, dipikir dan ditelaah lagi! Kenapa? Mungkin ada yang nggak sesuai sama teori-teori yang gue sebutkan di atas.

Sebelumnya, coba inget-inget dulu apa saja, sih, yang masuk kategori “menunggu”?
Menunggu mie instan matang dan siap buat disantap
Menunggu cairan tipe-x mengering di kertas
Menunggu kereta atau bus dateng untuk mengantar kita ke tempat tujuan
Menunggu seseorang di sebuah cafe atas janji yang sudah disepakati sebelumnya
Menunggu film favorit (yang masih “coming soon”) tayang di bioskop
Menunggu mantan mau maafin kesalahan dan balikan *eh
Menunggu gebetan putus dari pacarnya *eh
Oke, segitu saja.

Dari contoh-contoh itu, ada yang sadar nggak, kalau menunggu adalah suatu tindakan/action?
Yap, menunggu itu bukan cuma berdiam diri. Menunggu adalah sebuah tindakan nyata yang kita sadari. Menunggu itu bukan membuang waktu, menunggu itu bagian dari proses atau usaha mencapai sesuatu.

Waktu kita mau makan mie instan, kita meracik mie tersebut sesuai petunjuk, lalu kita masih harus nungguin mie itu matang. Walaupun lamanya nggak lama-lama-banget, tapi tetep saja menunggu itu adalah proses supaya mie itu benar-benar matang dan bisa dimakan.

Waktu kita pakai tipe-x buat menghapus tinta pulpen di kertas, jelas harus menunggu cairannya mengering , kan? Supaya setelah itu bisa menimpanya dengan tulisan (tinta pulpen) yang baru. Kalau kita nggak nunggu? Ya, siap-siap saja pulpennya bakal nggak nyata karena terkena cairan tipe-x yang belum kering, atau cairan tipe-x yang nggak rata keringnya di kertas, membuat nggak rapi untuk ditimpa tulisan baru.

Waktu nunggu kereta atau bus, seseorang, film “coming soon”, juga merupakan usaha atau proses yang nggak bisa dipungkiri. Soalnya, kalau kita nggak merelakan diri untuk menunggu, kita malah nggak dapat apa-apa, kan?
;)
Jadi, tenang, Guys, kalau kalian harus banget melakukan suatu tindakan bernama “menunggu”. Karena setelah gue telaah, menunggu bukan sesuatu yang sia-sia, itu bagian dari proses. Cuma sayangnya, nggak sedikit orang yang nggak sabaran, banyak orang yang maunya apa-apa cepet. Sebenarnya ada cara yang lebih tepat supaya “menunggu” itu jadi nggak terasa.

Misalnya, pas lagi nunggu kereta atau bus, bisa dimanfaatin buat mainan games di handphone, atau baca novel, atau teleponan sama pacar, haha. Pas lagi masak mie instan, nonton tv dulu sebentar, tapi jangan kelamaan, bisa-bisa mie-nya bonyok, haha. Pas lagi…..ah, kalian sendiri juga tahu lah!

Tapi, ada catatan, nih! Menunggu itu juga harus rasional dan realistis. Kalau menunggu mie instan matang, ya, jelas, mie-nya memang sedang dimasak di panci yang berisi air dan dipanaskan di atas kompor. Kalian menunggu sesuatu yang nggak sia-sia.

Kalau menunggu mantan balik lagi ke kita? Hmmm. Coba pikir lagi, deh! Kita lagi nunggu seseorang yang juga nunggu kita nggak? :p Kalau dianya udah nggak mikirin kita, udah nggak peduli sama kita, apalagi dia udah punya pacar baru, lebih baik menunggunya disudahi saja, supaya tidak ada yang sia-sia.

Tapi kalau memang masih mau balikan, usaha yang bisa dilakukan bukan menunggu, tapi bertindak lain. Bertindak apa? Ya, itu, sih, kalian yang tahu, karena kalian yang ngejalanin, yang tahu titik masalahnya, yang tahu apa yang harus diperbaiki. Jadi, bertindaklah dengan cara lain, karena menunggu bukan cara yang tepat.
Ya, sekali lagi, menunggu itu bagian dari proses, jadi harus ditempatkan di tempat yang tepat. Ada yang harus ada menunggu-nya, yang juga yang enggak. Karena menunggu itu sebenarnya menyempurnakan pencapaian. Sebab kalau kita sering gegabah dan terlalu terburu-buru mengambil keputusan, bisa jadi kita salah pencapaian.

Menunggulah jika itu cara terbaik mencapai yang terbaik.
Bahkan, “Hidup terlalu singkat untuk menunggu” itu kurang tepat. Kenapa? Pertama, hidup di dunia itu memang benar-benar singkat. Kedua, kita semua memang sedang menunggu, menunggu giliran meninggalkan kehidupan dunia yang singkat ini.
Sekian.

Saya menunggu komentar kalian! :p

Minggu, 12 Oktober 2014

Rendang Keras dan Lalat di Piring

Aku mulai muak dengan ini. Berlama-lama di depan layar komputer yang menampilkan angka-angka berderet. Kumpulan angka yang berbaris dengan titik-titik yang memisahkan antara bilangan yang satu dengan bilangan yang lain. Angka yang menunjukkan nominal uang. Kasihannya, aku hanya melihat nominalnya saja, bukan melihat bahkan menyentuh uangnya. Uangnya tidak ada di sini.

Beginilah seorang akuntan, bekerja menghitung uang, tanpa melihat wujud uangnya. Sebenarnya menjadi akuntan bukanlah keinginanku, ini terpaksa karena keinginan Ayah. Aku seorang sarjana akuntansi yang tidak suka pekerjaan monoton, aku lebih suka berkreasi dan menghasilkan suatu karya yang bisa dinikmati orang lain.

“Jangan melamun! Cepat selesaikan laporan keuanganmu sebelum Pak Bos memintanya. Aku sudah memberitahumu, ya! Jangan sampai kamu dimarahi lagi seperti waktu itu. Aku sudah cukup bosan mendengar ocehan marah-marah di kantor ini,” ucap Manager Keuanganku dengan muka yang selalu kusut, melebihi kusutnya baju yang belum disetrika.

Aku memonyongkan bibirku, manyun. Aku pikir, bisa-bisanya dia berkata seperti itu, sedangkan aku juga sama bosannya jika mendengar berisiknya marah-marah Pak Bos, bahkan sama muaknya seperti saat mengamati deretan angka-angka di hadapanku ini. Tapi bisa apa aku, siapa aku?

Jam dinding yang berdetak sendirian menunjukkan waktu pukul 11.30. Istirahat makan siang. Aku bergegas mematikan monitor, tanpa menutup satu pun aplikasi yang terbuka. Masa bodoh lah. Sayang, kan, kalau waktu istirahatku habis beberapa menit hanya karena menutup aplikasi di komputer?

Aku bergegas keluar kantor untuk makan. Tempat makan di perusahaan ini berada di lantai tiga.

Aku bertemu beberapa teman kantor dari departemen lain di tempat makan. Mereka kusapa, basa-basi saja, biar tidak terkesan sombong. Padahal sebenarnya aku agak malas menyapa mereka, apalagi harus duduk dan makan bersama mereka. Terkadang mereka masih membicarakan pekerjaan. Sebenarnya mereka itu tahu waktu tidak, sih? Waktu istirahat, kok, membicarakan pekerjaan? Bukan hanya karena aku tidak mengerti pekerjaan—departemen mereka, tapi kepalaku langsung pening jika mendengar pembicaraan yang berbau pekerjaan. Tolonglah hargai waktu istirahat yang telah diciptakan ini.

Aku memilih makan di meja lain, sendirian. Kulahap menu makanku yang isinya nasi berkuah dengan rendang yang banyak bumbunya, serta beberapa helai daun singkong.

Uh. Daging rendangnya keras sekali. Aku tidak sanggup memotong daging ini dengan sendok makan. Gigiku lebih kuat untuk memotongnya. Tapi masa iya, aku harus memasukkan daging ke dalam mulut dan aku potong-potong dulu menggunakan gigiku? Baiklah, ini agak menjijikkan. Seharusnya koki masakan Padang itu mengerti cara masak daging rendang yang benar. Aku jadi merasa yakin kalau bisa memasak daging rendang lebih baik dari ini. Maklum, Ibuku pintar memasak, dan aku sangat suka ikut kegiatan memasak dengan Ibu. Bahkan sekarang aku memanfaatkan waktu libur –Sabtu Minggu untuk memasak makanan pesanan orang.

Nasiku hampir habis. Aku malah memperhatikan piringku yang hampir kosong. Apa ini?

Aku terkejut melihat sesuatu yang aku kira menemplok di piring. Seekor lalat hitam kecil di pinggir piringku, membuat aku berpikir bahwa sepertinya makanan di piring ini menjadi kurang sehat.

Mataku melotot, memperhatikan baik-baik seekor lalat yang membuatku memiliki praduga negatif. Aku saksikan dengan detail lalat itu. Semakin aku memandanginya, lalat ini tidak kunjung pergi. Heran, maka aku sentuh saja lalat itu. Dan....... Sial, lalatnya bukan lalat sungguhan. Ini hanya gambar. Kalau dikira lalat sungguhan bagaimana? Seharusnya bukan piring model seperti ini yang dipakai. Mengundang konsumen yang bisa jadi salah perkiraan.

Tiba-tiba ada yang berbunyi dari dalam kantong celana bahanku. Ada yang menelpon.

“Halo, dengan Bu Mus?” tanya seorang wanita di balik telepon.
“Ya, benar.”
“Saya Ranti, yang kemarin memesan makanan untuk acara ulang tahun anak saya. Masih ingat?”
“Tentu saja, Bu Ranti yang memesan sepaket nasi tumpeng, kan? Ada apa, Bu?”
“Iya, masakanmu dan Ibumu enak, lho! Teman-teman anak saya juga bilang begitu. Nah begini, dua minggu ke depan kantor saya akan mengadakan kegiatan Family Gathering, saya berencana untuk memesan konsumsi padamu. Apa bisa?”
“Wah, sangat bisa, Bu. Kirimkan saja menu apa yang diinginkan, nanti saya beritahu Ibu saya.”
“Terima kasih. Nanti saya hubungi lagi.”

Aku tersenyum semringah. Bangganya jika dipuji masakan aku dan Ibuku enak. Aku merasa sudah melakukan sesuatu yang bernilai untuk orang lain. Apakah ini berlebihan? Aku tidak peduli.

Pokoknya aku merasa berhasil, tidak seperti pekerjaanku sebagai akuntan yang mengundang Pak Bos marah-marah dengan bisingnya. Entah karena aku salah input lah, tidak balance lah, tidak tepat waktu lah.

Ah, ya, omong-omong, sudah waktunya masuk kantor dan bekerja lagi. Sudah 1 jam aku berada di sini.

Aku melangkahkan kakiku dengan gontai, memegang kepalaku yang bersiap-siap akan pening lagi.

Hai, tunggu dulu, bukankah tadi aku merasakan kepuasan? Mengapa tiba-tiba aku tidak bersemangat lagi?

Aku menghentikan langkahku. Menatap beberapa koki yang berlalu lalang.

Salah satu koki itu memasang wajah kusam, ia berbicara dengan suara yang meninggi, “Padahal orang kantoran mah enak cuma tinggal duduk dan menikmati makanan, tapi masih ada saja yang nggak menghabiskan makanannya. Nggak tahu apa, membuatnya, kan, capek? Kalau saya sarjana, sudah dari dulu jadi orang kantoran saja.”

Aku berpikir sejenak, tidak peduli waktu masuk kantor sudah berlalu berapa menit.

Hm, kasihan sekali orang itu, dia malah lebih ingin menjadi orang kantoran. Aku malah ingin seperti dia. Bukankah aku lebih cocok menjadi seorang koki atau pengusaha restoran?! Aku lebih merasa berharga di posisi itu. Mengapa setiap manusia tidak ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai keinginannya, sih?

Ragusa yang Pulang

Ia menatapku begitu dalam, tentu saja membuat aku canggung. Aku mengangkat sesendok es krim coklat dari mangkuk putih lonjong di depanku, lalu melahapnya, berharap kecanggunganku tertutupi dengan melakukan ini.

Aku memang sedang di dalam ruangan dengan banyak pengunjung di dalamnya, namun pikiranku melayang entah ke mana. Aku merasa pikiranku sedang berkelana, ke tempat yang pernah kusinggahi, tapi aku tidak akan pernah bisa kembali ke tempat itu. Tempat yang terbayang jelas sosok seseorang yang sekarang sedang mengintaiku: masa lalu.

“Put, kita mulai cerita baru. Mau, kan?” ucapnya sangat hati-hati padaku.

Deg. Aku yang duduk di hadapannya terpaku. Aku bergeming. Tidak sedang menunggu apa-apa, tapi berharap ia tidak menungguku bicara.

Tanpa perintah, penglihatanku samar. Ada yang menghalangi kedua bola mata. Aku berkedip pelan satu kali, ada yang jatuh dari mata sebelah kanan, kemudian disusul dari mata sebelah kiri. Perlahan bulir air menghujani pipiku tanpa suara. Aku merasa berhenti bernafas sesekali. Kemudian selembar tisu melayang di depan wajahku, dibawa oleh lima jari yang pemiliknya aku kenal. Telingaku mendengar kalimat dari seseorang yang sedari tadi masih setia di hadapanku.

“Kok nangis? Malu, ah. Pakai tisu, nih!”

Aku memang menangis, tapi aku mengembangkan senyum. Aneh. Aku sendiri tidak ingat kapan aku pernah melakukan ini sebelumnya. Menangis dan tersenyum di waktu yang bersamaan.

“Nggak apa-apa,” kataku seraya mengambil tisu dan mengelap air yang telah membuat wajahku basah.

Sekarang giliran ia yang tersenyum. Sepertinya ia memang menungguku menjawab pertanyaannya.

“Apa kamu yakin? Tapi aku, kan, pernah salah?” tanyaku, kini tidak disertai senyuman, perasaanku lah penyebabnya. Perasaan takut menyerangku tiba-tiba.

“Setiap manusia pernah salah, kok.”
“Maksudku, aku pernah salah sama kamu. Waktu itu, aku meninggalkanmu hanya karena lebih memilih orang lain. Aku ini jah..........”
“Sssttt. Jangan menengok ke belakang, Putri! Kita belajar dari masa lalu, perbaiki kesalahan lalu, kita masih punya masa yang masih suci,” tuturnya dengan tatapan mata yang  selalu aku hapal, teduh.
“Aku tidak yakin bisa membahagiakanmu setelah menyakitimu,” ucapku tanpa menatap matanya. Aku tidak kuat.

Ia menghela nafas. Seolah melepaskan beberapa beban yang ia tahan sejak awal berjumpa denganku. Dan aku tahu persis beban itu.

“Memang sakit sekali, sih. Tapi entah kenapa rasa sayangku masih terlalu besar dari rasa benciku. Aku pikir, aku juga yang salah, aku kurang membahagiakanmu. Tidak seperti, hmmm laki-laki yang kamu pilih saat itu. Maka aku pikir, membahagiakanmu adalah penundaan. Dan inilah waktu yang tepat membahagiakanmu, setelah kamu bukan milik siapa-siapa.”
“Aku tetap jahat, Arya!” kataku dengan nada yang mulai meninggi.

Arya menghela nafas untuk kedua kalinya. Sendok di tangannya tidak mengayun selama berbicara padaku. Es krim di meja kami sama-sama mencair perlahan, mungkin terkena panas dari energi yang aku dan Arya keluarkan. Baru kali ini aku tidak menikmati makan es krim. Padahal dulu saat masih “bersama” Arya, tempat dengan papan nama “Ragusa” di depannya ini adalah tempat makan favoritku. Walau jauh dari rumah kami masing-masing, kami tetap pergi ke sini. Dan sekarang kami di sini dengan suasana dan kondisi yang jauh berbeda.

“Apakah sebaiknya kita berjalan sendiri-sendiri saja sekarang? Aku tidak ingin menyakitimu lagi. Sungguh,” ucapku memohon, tapi tidak sepenuh hati, sebab masih ada sepotong hatiku yang tertinggal padanya.

“Sebentar, aku ingin bertanya dulu.”
“Apa?”
“Anggap saja aku adalah rumah lamamu. Apakah kamu meninggalkanku karena aku tidak cukup baik untuk melindungimu? Sampai kamu mencari rumah baru? Aku tahu, Putri, rumah itu tidak salah. Jika sudah merasa tidak cocok dengan rumah, penghuninya berhak pindah. Tapi apakah kamu lupa, bukankah rumah itu bisa direnovasi?”
“Hmmm. Iya, benar, aku lupa.”
“Selain manusia pernah salah, setiap manusia juga pernah lupa.”
“Tapi aku lupa dengan sangat bodoh. Aku tidak yakin pulang ke rumah itu lagi, aku terlalu bersalah.”
“Jangan membohongi diri, Putri. Air matamu saja menjelaskannya padaku. Air matamu jatuh pertama dari mata sebelah kanan. Itu berarti kamu menangis karena bahagia. Lain halnya jika air matamu jatuh pertama dari mata sebelah kiri, itu baru kesedihan. Ya, kan?”

Aku menelan ludah. Aku tidak mengerti mengapa Arya selalu bisa menebak dengan tepat. Percuma saja aku mengelak. Sia-sia aku mengutuk diriku ini yang sudah terlanjur amat bodoh. Walaupun kisah masa lalu terus berputar di kepalaku, aku ternyata sangat bahagia saat Arya masih mau menerimaku, sekarang. Buktinya, air mata saja mengungkapkannya.

Arya tahu aku tidak mau mengutarakan perasaan bahagiaku. Dengan tenang, Arya memperjelas maksudnya.

“Jika kamu mau memperbaikinya, tetaplah di sini, nikmatilah es krimmu. Jika kamu masih enggan, maka kamu bisa meninggalkanku di sini, biarlah kita berjalan sendiri-sendiri seperti katamu. Aku akan berusaha melepaskanmu untuk kedua kalinya, setidaknya aku sudah agak terlatih untuk itu. Bahkan mungkin, kelak bisa jadi profesional. Hehe.”

Aku masih diam.

“Put? Bagaimana?”

Aku belum menjawab.

“Put? Put? Putri? Bangun!”


Aku membuka kedua mataku. Samar-samar, kulihat bagian belakang jok mobil, diduduki oleh seorang wanita yang memanggilku.

"Bangun, Putri! Kita sudah sampai di rumah baru."

Sial. Ternyata yang tadi itu hanya mimpi.

"Apa, Bu? Kita pindah rumah?" tanyaku yang baru menyadari ada sebuah kardus di pangkuanku. 

Ibuku malah tertawa kecil.

"Nyawamu belum kumpul, ya? Kita, kan, hari ini pindah rumah."

"Kenapa kita pindah?" tanyaku bingung, nyawaku benar-benar belum terkumpul.

"Rumah kita yang lama, kan, sudah nggak cocok untuk kita. Anggota keluarga kita sudah bertambah banyak, sedangkan rumah kita terlalu sempit. Sudah, sekarang kamu bawa barang-barang kamu, kita berbenah!"

Aku memilih terpaku sebentar, memandangi kardus coklat yang tidak terlalu berat di pangkuanku. Isi kardus coklat ini hanya barang-barang sederhana pemberian laki-laki bernama Arya, mantan kekasih yang masih mengikuti pikiranku. Terbesit satu kalimat di kepala: Apa benar cinta bisa kembali pulang?

Jumat, 19 September 2014

Gaun Biru Muda

Aku melepas roll hair satu per satu, lalu menyisir rambutku yang melengkung ke dalam dan jatuh ke bahu. Aku membenarkan poni yang sengaja kutata ke arah kanan wajahku, berharap poni ini akan tetap rapi walau diterpa angin di luar sana. Kubangunkan badanku dari kursi rias, meraih tas yang hanya berisikan ponsel dan dompet.

Gaun panjang biru muda yang aku kenakan malam ini, aku tampilkan sekali lagi di depan cermin besar. Cantik. Sengaja gaun pemberian Ibuku beberapa tahun lalu ini kukenakan, yang sebenarnya telah kuikrarkan untuk kupakai saat makan malam bersama, ya, seorang laki-laki idamanku. Tiba-tiba aku ingin menertawai diriku. Aku melanggar ikrarku sendiri. Mana mungkin aku mengenakan gaun ini untuk sekadar makan malam bersama seseorang? Aku saja sudah tidak bisa menghitung sudah keberapa kali aku patah hati. Dasar bodoh. Aku tetap ingin mengenakan gaun ini, setidaknya sebelum kematianku. Sungguh, aku sangat bahagia bisa mengenakan gaun ini.

Aku keluar dari kamar, menuruni anak tangga dengan mengangkat sedikit gaunku yang menyentuh keramik. Suara high heels-ku mengetuk-ngetuk lantai, memecah hening. Sekali lagi aku ingin tertawa. Bak Tuan Putri saja, Kau, Nona! “Tuan Putri yang Kesepian”, lebih tepatnya. Tentu saja, di rumah ini tidak ada siapa-siapa lagi kecuali aku. Ayah masih bekerja di perusahaan besarnya, biasanya akan pulang jika sudah pukul sembilan malam, jam-jam di mana keluarga sudah selesai makan malam bersama dan bercengkarama. Sementara aku sudah sangat sering di penjara megah ini, sendirian. Seorang pekerja rumah tangga di rumah ini hanya diperbolehkan bekerja sampai aku pulang dari kampus, tidak sampai menginap. Bagaimana caraku meramaikan rumah ini? Apa aku bakar saja rumah ini supaya ramai? Haha, klise.

Aku mengunci pintu dan pagar rumahku. Aku berjalan seolah aku akan benar-benar pergi makan malam bersama seseorang, ah, nyatanya, aku tidak tahu akan pergi ke mana.

Beruntungnya, kota yang kusinggahi ini sangat ramai, terlampau ramai malah. Aku menyusuri trotoar besar di sebelah jalan raya yang padat kendaraan. Aku hanya berjalan, mengikuti panjangnya susunan bata yang menjadi bahan trotoar besar ini. Memandang lurus dengan tatapan kosong. Lelah berjalan, aku membanting tubuhku duduk pada sebuah bangku kayu di tengah trotoar. Diam. Menunduk dan memandang lekat gaun biru muda yang masih licin tanpa kusut, namun pikiran dan hatiku lah yang sebenarnya kusut. Sejak kepergian Ibu dua tahun yang lalu, kehidupan serasa hanya sebuah mimpi.

Setiap aku terjaga dari tidur, aku selalu mengira aku sedang bermimpi, semua bukanlah kenyataan. Bahkan tidak ada yang menyadariku atau mencubitku untuk memberitahu aku sedang di mana? Di mimpikah? Pernah beberapa bulan setiap bangun pagi, aku malah menyuguhi diriku dengan sarapan air mata. Aku ketakutan. Aku takut aku masih terus di dalam mimpi dan tidak bisa bangun lagi. Sebab yang aku tahu, dunia nyataku adalah Ibuku masih hidup, tapi ini mimpi, kan? Ah, siapa yang peduli dengan ketakutanku? Bahkan setiap bangun pagiku, Ayah sudah buru-buru pergi ke perusahaan besarnya untuk melanjutkan kehidupannya. Ayah sangatlah cuek, namanya juga laki-laki, ya, bagiku semua laki-laki sebegitu cueknya.

Kini aku duduk, menyandarkan punggungku pada bangku ini karena lelah. Bukan hanya lelah kaki, tapi juga lelah hati. Selain Ayah, siapa lagi yang kupunya? Karena perusahaan besar Ayahku, aku tidak pernah lagi bertemu dengan saudara-saudara Ayah. Mengapa? Hai, apa aku masih mau berpikir bagaimana bisa itu terjadi? Huh, memikirkan cara bertemu Ayahku di waktu yang tepat saja sudah membuatku kehabisan tenaga. Lalu, Ibuku yang merupakan anak satu-satunya dan sudah yatim piatu sejak aku lahir, siapa saudaranya yang bisa kutemukan?

Atau mungkin aku bisa menemui seorang atau beberapa teman? Yang benar saja? Aku yang selama ini terlalu sering sendirian, menganggap teman itu tidak ada yang setia, percuma. Lebih baik berteman dengan diri sendiri, tidak diatur, tidak disakiti, tidak dimanfaatkan.

Dan di ujung angin malam, kesepian ini terasa benar-benar mematikan untukku.

Aku lebih baik pergi, menyusul Ibu dan bahagia di sana. Sederhana bukan?

Kini aku berencana mengikuti manusia-manusia kota dan memasuki tempat yang tak pernah kukunjungi sebelumnya. Entah diskotik, atau ‘cafe’, yang mungkin akan membunuhku secara baik-baik. Tapi sungguh, aku tidak bisa ‘minum’ dengan cara yang baik dan benar, bisa-bisa aku malah mati secara terkejut. Tidak, lagipula itu tidak membuatku mati seketika, hanya mematikan masa depan saja. Tanggung, kan?

Atau aku akan berjalan cepat ke tengah jalan raya tanpa melihat kendaraan yang melaju. Berharap ada kendaraan yang menabrakku hingga aku terpental beberapa meter. Tidak, aku tidak ingin menjadi wanita bergaun biru muda yang masuk koran dengan pose tubuh yang tercecer, menggelikan. Huek.

Atau aku akan berdiri di sebuah jembatan tinggi, melongok ke bawah dan menatap sungai dengan aliran air yang deras di bawahnya. Tanpa aba-aba, aku akan menjatuhkan tubuhku menuju sungai dengan tenang. Aku yakin kain gaunku akan berterbangan begitu indahnya bagai bidadari terbang. Kemudian, aku tenggelam dan hilang. Tapi sayang sekali, di dekat sini, sungai berisi banyak sampah, bukan air, namanya juga sungai kota.

Ah, aku tidak berbakat bunuh diri.

Ponselku berbunyi. Ayah memanggil.
“Halo.”
“Kamu di mana?”
“Di luar, Yah.”
“Cepat pulang!”
“Ya.”
Aku memutus panggilan. Ada ide mengalir cepat tiba-tiba. Ide bunuh diri yang sangat baik. Aku akan pulang, meminta maaf pada Ayah atas segala kesalahanku, lalu aku akan membunuhku dengan pisau yang biasa terletak di dapur rumah. Sungguh, bunuh diri yang sangat baik bukan?

Aku bergegas pulang, melepas high heels, berlari telanjang kaki agar aku cepat sampai rumah. Aku tahu aku akan ditertawakan Ayah pulang dengan dandanan seperti ini. Masa bodoh. Yang penting aku cepat pergi –entah ke rumah atau ke surga.



Ayah memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala.

“Kamu habis menemui siapa?” tanya Ayah yang duduk di sofa sambil membuka kacamatanya.
“Tidak  ada.”
“Tapi mengapa malam ini kamu cantik sekali?”

Sungguh, baru kali ini Ayah memuji, uh, meledekku.

“Iseng saja. Sayang, kan, gaun ini belum pernah dipakai,” ucapku asal, masih berdiri menghadap Ayah.
“Oh.”
“Ayah. Boleh aku minta waktumu sebentar?” tanyaku seraya duduk di sampingnya.
“Ya.”
“Aku ingin meminta maaf padamu, Ayah. Pasti selama ini aku pernah membuatmu kecewa, bahkan menyakiti Ayah. Maafkan aku,” ucapku lirih sambil menundukkan kepala.
“Ayah juga minta maaf,” balas Ayah tanpa senyum sedetikpun. Sudah kuduga, Ayah benar-benar tidak pernah peka.

Aku harus melanjutkan rencanaku. Baru saja akan menuju dapur, Ayah malah memanggil.
“Asha, tolong kunci pintu dahulu! Tadi, kan, kamu yang terakhir masuk rumah.”

Sungguh, baru kali ini Ayah memanggil namaku secara utuh. Ada sesuatu yang terasa berjalan melewati hatiku, entah apa.

Aku berjalan ogah ke arah pintu. Kunci yang kuputar menimbulkan bunyi sebanyak dua kali. Seusai mengunci pintu, aku membalikkan badan. Seketika, kini aku yang mengunci diriku, terpaku, menahan nafas, membelalakkan mata, dan hanya bisa berteriak sekencang yang aku bisa.

“Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!”


Ayahku mati. Dengan pisau yang harusnya membunuhku, pisau yang sudah aku rencanakan untuk membunuhku. Aku terlambat. Aku terlambat mati lebih dahulu. Aku terlambat menyelamatkan ayah. Tepat di atas meja dapur, tergeletak secarik kertas dengan tulisan: Ayah lelah. Ayah pun patah hati, bahkan sudah hancur karena tiadanya Ibumu. Ayah lebih kesepian. Kesepian bukan akhir dari segalanya, kematian lah yang mengakhiri segalanya. Jangan berniat mati karena kesepian, Asha. Cukup Ayah saja.

Minggu, 07 September 2014

Masa Depan

Terkadang, aku ingin sekali melihat masa depan
Aku ingin melihat diriku yang berubah menjadi lebih cantik
Ingin melihat wajah Ibu yang sudah beristirahat mengurusku, namun aku yang mengurus beliau, Ibu duduk manis dan membaca buku kesukaannya
Ingin memandang wajah berseri laki-laki tampan yang bersedia duduk bersamaku pada satu meja makan

Aku ingin memperhatikan setiap detil dunia yang semakin megah
Ingin memperhatikan orang-orang menggunakan benda-benda yang mirip alat sihir saking canggihnya
Ingin melihat robot-robot yang membantu manusia, serupa doraemon

Aku ingin sekali menatap manusia-manusia berlalu lalang di depanku, dan sesekali ada yang meraih tanganku untuk bersalaman atau mungkin minta berfoto
Ingin melihat film yang dibuat berdasarkan buku dengan namaku di halaman depannya
Ingin menepuktangani diriku yang sudah tidak takut lagi sekadar berbicara

Aku ingin mengintip diriku yang bercengkrama dengan keluarga besar, keluarga yang kudapatkan dari ledakan kesepian rumah lama
Ingin melihat aku menikmati kenyamanan rumah yang interiornya aku atur bersama laki-laki tampan tadi
Ingin melihat aku mencubit pipi anak kecil atau mengepang rambutnya, lalu berkata, "Kamu anak Mama yang cantik!"
Ingin melihat aku membenarkan sepatu anak kecil dan menambahkan topi di kepalanya, lalu berkata, "Kamu ganteng kayak Papa kamu!"

Sayangnya aku tidak bisa melihat masa depan
Tentu saja
Coba pikir!
Jika aku bisa melihat masa depan
Masa yang kupijaki kini bisa-bisa kacau balau

Sebab jika masa depanku sudah kutahui
Maka saat ini aku tidak akan seberjuang ini
Lalu, masa depan itu tidak pernah ada

Menyeramkan bukan?

Selasa, 19 Agustus 2014

Now Playing

Ini malam
Malam penuh lagu yang didendangkan tepat di telinga
Mengalun hingga mengisi isi kepalaku
Berjalan beriringan bersama dirimu
Ya, kamu yang kini aku pikirkan
Aku tersenyum malu-malu meresapi arti lagu
Ada kamu di dalamnya
Bagaimana bisa?
Aku tidak terganggu akan hadirmu yang selalu melayang di anganku sendiri
Aku menikmatinya
Sejenak, mengalir lirih

Aku menyayangimu

Aku rasa ini cukup

Tolong, rasakan gesekan angin dan dedaunan di tempat biasa
Kamu akan tahu ada yang mengagumimu dari jauh tapi dekat
Atau kamu akan tahu sewindu kemudian
Terhitung sejak awal kita bertemu
Suatu hari nanti, jangan cintai aku apa adanya
Sebab kamu lah teman hidupku, sepatu kiri
Ayo berlari!


Now Playing: Lagu-lagu dari “Tulus”

Jumat, 01 Agustus 2014

Kalimat Singkat

Seberapa kuat hati bisa menahan gejolak rasa? Aku jatuh cinta diam-diam. Senyumnya yang sejuk menjadikan mataku teduh. Ya Tuhan, betapa harunya aku. Sudah lama aku lupa akan perasaan ini. Kini hadir lagi bersama embusan angin malam yang cantik. Terima kasih, Tuhan Yang Maha Kuasa.






Sumber gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgQxoQRidyOhYa3XOcr6iBXCDgW6VAR42a9cdKB891pds7zC6zSNYaY8DVKJ1-2mGpYH_1zo0qwHIXVslfabI5y7D5CJue6Hti70oOYmBJUEa1Tj3uDisVipz6zUPFO5GC8E9Iy6pdV0Q/s1600/tumblr_lcbrj9ov6r1qbg4z7o1_500_large.jpg

Selasa, 29 Juli 2014

Jika dan Hanya Jika

Seandainya aku ahli matermatika
Aku tidak akan menuliskannya
Sebab ini hanya rumus
Namun kini kujadikan kamus

Jika dan hanya jika
Jika saja kamu tahu aku menunggumu, dan itu hanya jika
Jika saja kamu tahu aku mengingatmu sekarang bahkan setiap hari, dan itu hanya jika
Jika saja kamu tahu ada manusia yang senang bernyanyi karena kamulah objeknya, dan itu hanya jika

Kepadamu yang aku sulit terka
Kepadamu yang aku coba terka
Kepadamu yang aku usahakan terka
Kepadamu yang aku sungguh-sungguh terka

Bagaimana caraku membuatmu melihatku dari sisi jendela yang berbeda?
Jika saja aku berhasil dan itu hanya jika
Bagaimana caraku memberikanmu sepercik kesejukan yang serupa dengan cuaca malam?
Jika saja aku sanggup dan itu hanya jika

Sebenarnya aku ingin menyebutkan sesuatu
Tentang berbagai hal yang mengenalkanku padamu
Atau sesuatu yang ingin kuperkenalkan padamu
Tapi aku takut kamu letih mendengarku, maka aku bergeming

Kau tahu?
Sebenarnya rasa takut itu terus menyerangku
Memasuki relung jiwa yang rapuh untuk berteriak
Hingga pada akhirnya, aktivitas itu menjadi bagian daripada aku
Aku ketakutan
Aku takut.............jatuh cinta



Jika cinta selalu bisa berlabuh tanpa ombak badai di lautan, dan itu hanya jika
Jika cinta tak lebih sulit memecahkan masalah matematika, dan itu hanya jika
Jika cinta mampu membuat kuat hati yang abadi, dan itu hanya jika
Jika cinta hanya sebuah perasaan yang tak harus memaksa untuk memiliki, dan itu hanya jika

Terima kasih, senja biru, rumus baru, kamusku yang haru
Jika saja kamu mendengar hatiku yang patah saat ini
Dan itu hanya jika





Sumber gambar: http://www.kawankumagz.com/articleFoto/Ketika_Cinta_Bertepuk_Sebelah_Tangan___.jpg

Rabu, 02 Juli 2014

Surat dari Tita untuk Adit

Untuk: Adit

Selamat pagi, matahariku. Akhirnya aku bisa menyapa pagimu, walau hanya lewat surat ini.

Sebenarnya aku bingung akan memulai suratku dari mana, tapi ada sesuatu yang bergejolak dalam diriku yang memaksaku untuk tetap menulis surat ini. Melalui surat ini aku ingin menyatakan sesuatu tentangmu.

Aku Tita, seseorang yang selalu memperhatikanmu, entah dari dekat atau dari jauh. Aku yang selalu tersenyum terpaksa saat bertemu atau berpapasan denganmu. Kamu tahu kenapa aku terpaksa? Tentu karena aku sebenarnya malu. Saat itu juga, dunia seolah berhenti berotasi, waktu terasa menghentikan detaknya, kakiku lemas seketika dan lemah untuk berdiri, kemudian aku bingung harus melakukan apa. Tapi saat kamu membalas senyumku dengan senyuman, aku selalu merasakan kesejukan, lalu matamu terlalu menyilaukan untukku.

Aku sangat bersyukur. Mengenalmu seperti anugerah terindah dalam hidupku. Mungkin kamu hanya ada 1 di dunia. Aku begitu bahagia dan banyak hal lain yang ada padamu yang membuatku bahagia. Walau kamu punya kekurangan, tapi aku paham, bukankah tidak ada manusia yang benar-benar sempurna? Bukankah saling melengkapi itu lebih romantis? Hmmm, bisakah kita?

Dit, aku tahu kebiasaanmu, kamu sering memuji dirimu sendiri. Padahal sebenarnya tanpa memuji pun kamu memang sudah begitu adanya, menawan. Bukan, bukan karena menawan aku jadi menyukaimu. Tapi karena aku menyukaimu, kamu jadi tampak menawan di mataku, sangat.

Dit, aku agak bingung akhir-akhir ini. Apa-apa yang kamu lakukan dan itu tertuju padaku, menjadi bergerak perlahan. Dari bangku sebelah yang kamu duduki, aku menyaksikanmu memberikan pulpen pada aku --yang duduk tepat di sampingmu, dengan gerakan yang tampak melambat. Berjalan perlahan dan akhirnya sampai di tanganku. Apa itu hanya perasaanku saja, ya?

Kamu pasti bingung sekarang. Padahal, sebelumnya aku kan membencimu. Benci dengan sikapmu yang cuek dan menyebalkan. Tapi Tuhan menciptakan banyak kebetulan, sampai pada akhirnya rasa benci itu mengganti dirinya menjadi rasa sayang. Kamu percaya?

Entah petunjuk dari mana, tapi aku yakin suatu saat kamu pasti akan menyatakan sesuatu padaku. Di manapun kamu menyatakan perasaanmu tentangku, entah itu di Paris --dekat Menara Eiffel, atau di bangku taman dekat rumahku, aku tetap bahagia. Kamu membawa mawar putih atau hanya sekadar datang dengan tangan kosong, aku tetap bersyukur. Dan apa pun perasaan yang kamu nyatakan kelak, baik atau buruk, aku akan tetap tersenyum, dengan atau tanpa air mata.

Terima kasih sudah membaca suratku.


Adit, aku sayang kamu, sayang.





Tita


***


(Surat ini diikutsertakan untuk tantangan #SuratCintaEiffel Adit-Tita @bentangpustaka)

Selasa, 01 Juli 2014

Pertanyaan Besar

Hai, Bintang!
Ke mana saja dirimu?
Kamu benar-benar bintang, ya?
Bisa tampil di hadapanku di tenangnya malam
Namun juga menghilang kala siang menjelang
Kamu, datang dan hilang, lagi dan lagi

Aku selalu punya pertanyaan besar, Bintang
Sebenarnya mana yang benar?
Kamu terlalu lelah menantiku lalu bersama yang lain,
atau aku yang sangat terlambat menyayangimu?

Aku sudah berusaha
Entah berusaha membuat jarak pada kita
Atau berusaha menguapkan rasa sayangku yang berdosa ini ke awan-awan
Hingga tak ada lagi kita
Dalam cerita indah, dalam cerita manis
Sama seperti cerita kita yang telah kau tulis dan kau bakar habis
Bahkan aku belum sempat tahu apa ending-nya
Kamu sudah memusnahkan itu
Baiklah, itu hakmu, Bintang

Perempuan yang kamu panggil bulan ini benar-benar bingung
Kamu selalu bilang bahwa esok akan berbeda
Tapi aku selalu menerka kamu bohong
Dia yang ada di sampingmu juga perempuan, dia juga punya hati
Aku tidak akan sampai hati menyakitinya

Namun, apa maksud dari semua khayalanmu?
Apa maksud dari segala cerita dan fiksi yang kau nyatakan?
Apa maksudmu, Bintang? Apa?
Jelaskan padaku! Aku mohon!

Semoga kalimatku ini tidak memberi efek apa-apa untukmu
Jangan balik menelponku
Sebab aku hanya ingin menyampaikan pesan
Sebab aku tak berhak atasmu
Tetap dia yang membahagiakanmu
Berbahagialah walau bukan aku alasanmu bahagia
Aku tahu diri aku siapa

Tunggu!
Tunggu dulu!
Aku ingin bertanya lagi
Kamu terlalu lelah menantiku lalu bersama yang lain,
atau aku yang sangat terlambat menyayangimu?
Apa jawabannya?

Mungkin hanya Tuhan yang tahu