Minggu, 12 Oktober 2014

Rendang Keras dan Lalat di Piring

Aku mulai muak dengan ini. Berlama-lama di depan layar komputer yang menampilkan angka-angka berderet. Kumpulan angka yang berbaris dengan titik-titik yang memisahkan antara bilangan yang satu dengan bilangan yang lain. Angka yang menunjukkan nominal uang. Kasihannya, aku hanya melihat nominalnya saja, bukan melihat bahkan menyentuh uangnya. Uangnya tidak ada di sini.

Beginilah seorang akuntan, bekerja menghitung uang, tanpa melihat wujud uangnya. Sebenarnya menjadi akuntan bukanlah keinginanku, ini terpaksa karena keinginan Ayah. Aku seorang sarjana akuntansi yang tidak suka pekerjaan monoton, aku lebih suka berkreasi dan menghasilkan suatu karya yang bisa dinikmati orang lain.

“Jangan melamun! Cepat selesaikan laporan keuanganmu sebelum Pak Bos memintanya. Aku sudah memberitahumu, ya! Jangan sampai kamu dimarahi lagi seperti waktu itu. Aku sudah cukup bosan mendengar ocehan marah-marah di kantor ini,” ucap Manager Keuanganku dengan muka yang selalu kusut, melebihi kusutnya baju yang belum disetrika.

Aku memonyongkan bibirku, manyun. Aku pikir, bisa-bisanya dia berkata seperti itu, sedangkan aku juga sama bosannya jika mendengar berisiknya marah-marah Pak Bos, bahkan sama muaknya seperti saat mengamati deretan angka-angka di hadapanku ini. Tapi bisa apa aku, siapa aku?

Jam dinding yang berdetak sendirian menunjukkan waktu pukul 11.30. Istirahat makan siang. Aku bergegas mematikan monitor, tanpa menutup satu pun aplikasi yang terbuka. Masa bodoh lah. Sayang, kan, kalau waktu istirahatku habis beberapa menit hanya karena menutup aplikasi di komputer?

Aku bergegas keluar kantor untuk makan. Tempat makan di perusahaan ini berada di lantai tiga.

Aku bertemu beberapa teman kantor dari departemen lain di tempat makan. Mereka kusapa, basa-basi saja, biar tidak terkesan sombong. Padahal sebenarnya aku agak malas menyapa mereka, apalagi harus duduk dan makan bersama mereka. Terkadang mereka masih membicarakan pekerjaan. Sebenarnya mereka itu tahu waktu tidak, sih? Waktu istirahat, kok, membicarakan pekerjaan? Bukan hanya karena aku tidak mengerti pekerjaan—departemen mereka, tapi kepalaku langsung pening jika mendengar pembicaraan yang berbau pekerjaan. Tolonglah hargai waktu istirahat yang telah diciptakan ini.

Aku memilih makan di meja lain, sendirian. Kulahap menu makanku yang isinya nasi berkuah dengan rendang yang banyak bumbunya, serta beberapa helai daun singkong.

Uh. Daging rendangnya keras sekali. Aku tidak sanggup memotong daging ini dengan sendok makan. Gigiku lebih kuat untuk memotongnya. Tapi masa iya, aku harus memasukkan daging ke dalam mulut dan aku potong-potong dulu menggunakan gigiku? Baiklah, ini agak menjijikkan. Seharusnya koki masakan Padang itu mengerti cara masak daging rendang yang benar. Aku jadi merasa yakin kalau bisa memasak daging rendang lebih baik dari ini. Maklum, Ibuku pintar memasak, dan aku sangat suka ikut kegiatan memasak dengan Ibu. Bahkan sekarang aku memanfaatkan waktu libur –Sabtu Minggu untuk memasak makanan pesanan orang.

Nasiku hampir habis. Aku malah memperhatikan piringku yang hampir kosong. Apa ini?

Aku terkejut melihat sesuatu yang aku kira menemplok di piring. Seekor lalat hitam kecil di pinggir piringku, membuat aku berpikir bahwa sepertinya makanan di piring ini menjadi kurang sehat.

Mataku melotot, memperhatikan baik-baik seekor lalat yang membuatku memiliki praduga negatif. Aku saksikan dengan detail lalat itu. Semakin aku memandanginya, lalat ini tidak kunjung pergi. Heran, maka aku sentuh saja lalat itu. Dan....... Sial, lalatnya bukan lalat sungguhan. Ini hanya gambar. Kalau dikira lalat sungguhan bagaimana? Seharusnya bukan piring model seperti ini yang dipakai. Mengundang konsumen yang bisa jadi salah perkiraan.

Tiba-tiba ada yang berbunyi dari dalam kantong celana bahanku. Ada yang menelpon.

“Halo, dengan Bu Mus?” tanya seorang wanita di balik telepon.
“Ya, benar.”
“Saya Ranti, yang kemarin memesan makanan untuk acara ulang tahun anak saya. Masih ingat?”
“Tentu saja, Bu Ranti yang memesan sepaket nasi tumpeng, kan? Ada apa, Bu?”
“Iya, masakanmu dan Ibumu enak, lho! Teman-teman anak saya juga bilang begitu. Nah begini, dua minggu ke depan kantor saya akan mengadakan kegiatan Family Gathering, saya berencana untuk memesan konsumsi padamu. Apa bisa?”
“Wah, sangat bisa, Bu. Kirimkan saja menu apa yang diinginkan, nanti saya beritahu Ibu saya.”
“Terima kasih. Nanti saya hubungi lagi.”

Aku tersenyum semringah. Bangganya jika dipuji masakan aku dan Ibuku enak. Aku merasa sudah melakukan sesuatu yang bernilai untuk orang lain. Apakah ini berlebihan? Aku tidak peduli.

Pokoknya aku merasa berhasil, tidak seperti pekerjaanku sebagai akuntan yang mengundang Pak Bos marah-marah dengan bisingnya. Entah karena aku salah input lah, tidak balance lah, tidak tepat waktu lah.

Ah, ya, omong-omong, sudah waktunya masuk kantor dan bekerja lagi. Sudah 1 jam aku berada di sini.

Aku melangkahkan kakiku dengan gontai, memegang kepalaku yang bersiap-siap akan pening lagi.

Hai, tunggu dulu, bukankah tadi aku merasakan kepuasan? Mengapa tiba-tiba aku tidak bersemangat lagi?

Aku menghentikan langkahku. Menatap beberapa koki yang berlalu lalang.

Salah satu koki itu memasang wajah kusam, ia berbicara dengan suara yang meninggi, “Padahal orang kantoran mah enak cuma tinggal duduk dan menikmati makanan, tapi masih ada saja yang nggak menghabiskan makanannya. Nggak tahu apa, membuatnya, kan, capek? Kalau saya sarjana, sudah dari dulu jadi orang kantoran saja.”

Aku berpikir sejenak, tidak peduli waktu masuk kantor sudah berlalu berapa menit.

Hm, kasihan sekali orang itu, dia malah lebih ingin menjadi orang kantoran. Aku malah ingin seperti dia. Bukankah aku lebih cocok menjadi seorang koki atau pengusaha restoran?! Aku lebih merasa berharga di posisi itu. Mengapa setiap manusia tidak ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai keinginannya, sih?

Ragusa yang Pulang

Ia menatapku begitu dalam, tentu saja membuat aku canggung. Aku mengangkat sesendok es krim coklat dari mangkuk putih lonjong di depanku, lalu melahapnya, berharap kecanggunganku tertutupi dengan melakukan ini.

Aku memang sedang di dalam ruangan dengan banyak pengunjung di dalamnya, namun pikiranku melayang entah ke mana. Aku merasa pikiranku sedang berkelana, ke tempat yang pernah kusinggahi, tapi aku tidak akan pernah bisa kembali ke tempat itu. Tempat yang terbayang jelas sosok seseorang yang sekarang sedang mengintaiku: masa lalu.

“Put, kita mulai cerita baru. Mau, kan?” ucapnya sangat hati-hati padaku.

Deg. Aku yang duduk di hadapannya terpaku. Aku bergeming. Tidak sedang menunggu apa-apa, tapi berharap ia tidak menungguku bicara.

Tanpa perintah, penglihatanku samar. Ada yang menghalangi kedua bola mata. Aku berkedip pelan satu kali, ada yang jatuh dari mata sebelah kanan, kemudian disusul dari mata sebelah kiri. Perlahan bulir air menghujani pipiku tanpa suara. Aku merasa berhenti bernafas sesekali. Kemudian selembar tisu melayang di depan wajahku, dibawa oleh lima jari yang pemiliknya aku kenal. Telingaku mendengar kalimat dari seseorang yang sedari tadi masih setia di hadapanku.

“Kok nangis? Malu, ah. Pakai tisu, nih!”

Aku memang menangis, tapi aku mengembangkan senyum. Aneh. Aku sendiri tidak ingat kapan aku pernah melakukan ini sebelumnya. Menangis dan tersenyum di waktu yang bersamaan.

“Nggak apa-apa,” kataku seraya mengambil tisu dan mengelap air yang telah membuat wajahku basah.

Sekarang giliran ia yang tersenyum. Sepertinya ia memang menungguku menjawab pertanyaannya.

“Apa kamu yakin? Tapi aku, kan, pernah salah?” tanyaku, kini tidak disertai senyuman, perasaanku lah penyebabnya. Perasaan takut menyerangku tiba-tiba.

“Setiap manusia pernah salah, kok.”
“Maksudku, aku pernah salah sama kamu. Waktu itu, aku meninggalkanmu hanya karena lebih memilih orang lain. Aku ini jah..........”
“Sssttt. Jangan menengok ke belakang, Putri! Kita belajar dari masa lalu, perbaiki kesalahan lalu, kita masih punya masa yang masih suci,” tuturnya dengan tatapan mata yang  selalu aku hapal, teduh.
“Aku tidak yakin bisa membahagiakanmu setelah menyakitimu,” ucapku tanpa menatap matanya. Aku tidak kuat.

Ia menghela nafas. Seolah melepaskan beberapa beban yang ia tahan sejak awal berjumpa denganku. Dan aku tahu persis beban itu.

“Memang sakit sekali, sih. Tapi entah kenapa rasa sayangku masih terlalu besar dari rasa benciku. Aku pikir, aku juga yang salah, aku kurang membahagiakanmu. Tidak seperti, hmmm laki-laki yang kamu pilih saat itu. Maka aku pikir, membahagiakanmu adalah penundaan. Dan inilah waktu yang tepat membahagiakanmu, setelah kamu bukan milik siapa-siapa.”
“Aku tetap jahat, Arya!” kataku dengan nada yang mulai meninggi.

Arya menghela nafas untuk kedua kalinya. Sendok di tangannya tidak mengayun selama berbicara padaku. Es krim di meja kami sama-sama mencair perlahan, mungkin terkena panas dari energi yang aku dan Arya keluarkan. Baru kali ini aku tidak menikmati makan es krim. Padahal dulu saat masih “bersama” Arya, tempat dengan papan nama “Ragusa” di depannya ini adalah tempat makan favoritku. Walau jauh dari rumah kami masing-masing, kami tetap pergi ke sini. Dan sekarang kami di sini dengan suasana dan kondisi yang jauh berbeda.

“Apakah sebaiknya kita berjalan sendiri-sendiri saja sekarang? Aku tidak ingin menyakitimu lagi. Sungguh,” ucapku memohon, tapi tidak sepenuh hati, sebab masih ada sepotong hatiku yang tertinggal padanya.

“Sebentar, aku ingin bertanya dulu.”
“Apa?”
“Anggap saja aku adalah rumah lamamu. Apakah kamu meninggalkanku karena aku tidak cukup baik untuk melindungimu? Sampai kamu mencari rumah baru? Aku tahu, Putri, rumah itu tidak salah. Jika sudah merasa tidak cocok dengan rumah, penghuninya berhak pindah. Tapi apakah kamu lupa, bukankah rumah itu bisa direnovasi?”
“Hmmm. Iya, benar, aku lupa.”
“Selain manusia pernah salah, setiap manusia juga pernah lupa.”
“Tapi aku lupa dengan sangat bodoh. Aku tidak yakin pulang ke rumah itu lagi, aku terlalu bersalah.”
“Jangan membohongi diri, Putri. Air matamu saja menjelaskannya padaku. Air matamu jatuh pertama dari mata sebelah kanan. Itu berarti kamu menangis karena bahagia. Lain halnya jika air matamu jatuh pertama dari mata sebelah kiri, itu baru kesedihan. Ya, kan?”

Aku menelan ludah. Aku tidak mengerti mengapa Arya selalu bisa menebak dengan tepat. Percuma saja aku mengelak. Sia-sia aku mengutuk diriku ini yang sudah terlanjur amat bodoh. Walaupun kisah masa lalu terus berputar di kepalaku, aku ternyata sangat bahagia saat Arya masih mau menerimaku, sekarang. Buktinya, air mata saja mengungkapkannya.

Arya tahu aku tidak mau mengutarakan perasaan bahagiaku. Dengan tenang, Arya memperjelas maksudnya.

“Jika kamu mau memperbaikinya, tetaplah di sini, nikmatilah es krimmu. Jika kamu masih enggan, maka kamu bisa meninggalkanku di sini, biarlah kita berjalan sendiri-sendiri seperti katamu. Aku akan berusaha melepaskanmu untuk kedua kalinya, setidaknya aku sudah agak terlatih untuk itu. Bahkan mungkin, kelak bisa jadi profesional. Hehe.”

Aku masih diam.

“Put? Bagaimana?”

Aku belum menjawab.

“Put? Put? Putri? Bangun!”


Aku membuka kedua mataku. Samar-samar, kulihat bagian belakang jok mobil, diduduki oleh seorang wanita yang memanggilku.

"Bangun, Putri! Kita sudah sampai di rumah baru."

Sial. Ternyata yang tadi itu hanya mimpi.

"Apa, Bu? Kita pindah rumah?" tanyaku yang baru menyadari ada sebuah kardus di pangkuanku. 

Ibuku malah tertawa kecil.

"Nyawamu belum kumpul, ya? Kita, kan, hari ini pindah rumah."

"Kenapa kita pindah?" tanyaku bingung, nyawaku benar-benar belum terkumpul.

"Rumah kita yang lama, kan, sudah nggak cocok untuk kita. Anggota keluarga kita sudah bertambah banyak, sedangkan rumah kita terlalu sempit. Sudah, sekarang kamu bawa barang-barang kamu, kita berbenah!"

Aku memilih terpaku sebentar, memandangi kardus coklat yang tidak terlalu berat di pangkuanku. Isi kardus coklat ini hanya barang-barang sederhana pemberian laki-laki bernama Arya, mantan kekasih yang masih mengikuti pikiranku. Terbesit satu kalimat di kepala: Apa benar cinta bisa kembali pulang?