Jumat, 19 September 2014

Gaun Biru Muda

Aku melepas roll hair satu per satu, lalu menyisir rambutku yang melengkung ke dalam dan jatuh ke bahu. Aku membenarkan poni yang sengaja kutata ke arah kanan wajahku, berharap poni ini akan tetap rapi walau diterpa angin di luar sana. Kubangunkan badanku dari kursi rias, meraih tas yang hanya berisikan ponsel dan dompet.

Gaun panjang biru muda yang aku kenakan malam ini, aku tampilkan sekali lagi di depan cermin besar. Cantik. Sengaja gaun pemberian Ibuku beberapa tahun lalu ini kukenakan, yang sebenarnya telah kuikrarkan untuk kupakai saat makan malam bersama, ya, seorang laki-laki idamanku. Tiba-tiba aku ingin menertawai diriku. Aku melanggar ikrarku sendiri. Mana mungkin aku mengenakan gaun ini untuk sekadar makan malam bersama seseorang? Aku saja sudah tidak bisa menghitung sudah keberapa kali aku patah hati. Dasar bodoh. Aku tetap ingin mengenakan gaun ini, setidaknya sebelum kematianku. Sungguh, aku sangat bahagia bisa mengenakan gaun ini.

Aku keluar dari kamar, menuruni anak tangga dengan mengangkat sedikit gaunku yang menyentuh keramik. Suara high heels-ku mengetuk-ngetuk lantai, memecah hening. Sekali lagi aku ingin tertawa. Bak Tuan Putri saja, Kau, Nona! “Tuan Putri yang Kesepian”, lebih tepatnya. Tentu saja, di rumah ini tidak ada siapa-siapa lagi kecuali aku. Ayah masih bekerja di perusahaan besarnya, biasanya akan pulang jika sudah pukul sembilan malam, jam-jam di mana keluarga sudah selesai makan malam bersama dan bercengkarama. Sementara aku sudah sangat sering di penjara megah ini, sendirian. Seorang pekerja rumah tangga di rumah ini hanya diperbolehkan bekerja sampai aku pulang dari kampus, tidak sampai menginap. Bagaimana caraku meramaikan rumah ini? Apa aku bakar saja rumah ini supaya ramai? Haha, klise.

Aku mengunci pintu dan pagar rumahku. Aku berjalan seolah aku akan benar-benar pergi makan malam bersama seseorang, ah, nyatanya, aku tidak tahu akan pergi ke mana.

Beruntungnya, kota yang kusinggahi ini sangat ramai, terlampau ramai malah. Aku menyusuri trotoar besar di sebelah jalan raya yang padat kendaraan. Aku hanya berjalan, mengikuti panjangnya susunan bata yang menjadi bahan trotoar besar ini. Memandang lurus dengan tatapan kosong. Lelah berjalan, aku membanting tubuhku duduk pada sebuah bangku kayu di tengah trotoar. Diam. Menunduk dan memandang lekat gaun biru muda yang masih licin tanpa kusut, namun pikiran dan hatiku lah yang sebenarnya kusut. Sejak kepergian Ibu dua tahun yang lalu, kehidupan serasa hanya sebuah mimpi.

Setiap aku terjaga dari tidur, aku selalu mengira aku sedang bermimpi, semua bukanlah kenyataan. Bahkan tidak ada yang menyadariku atau mencubitku untuk memberitahu aku sedang di mana? Di mimpikah? Pernah beberapa bulan setiap bangun pagi, aku malah menyuguhi diriku dengan sarapan air mata. Aku ketakutan. Aku takut aku masih terus di dalam mimpi dan tidak bisa bangun lagi. Sebab yang aku tahu, dunia nyataku adalah Ibuku masih hidup, tapi ini mimpi, kan? Ah, siapa yang peduli dengan ketakutanku? Bahkan setiap bangun pagiku, Ayah sudah buru-buru pergi ke perusahaan besarnya untuk melanjutkan kehidupannya. Ayah sangatlah cuek, namanya juga laki-laki, ya, bagiku semua laki-laki sebegitu cueknya.

Kini aku duduk, menyandarkan punggungku pada bangku ini karena lelah. Bukan hanya lelah kaki, tapi juga lelah hati. Selain Ayah, siapa lagi yang kupunya? Karena perusahaan besar Ayahku, aku tidak pernah lagi bertemu dengan saudara-saudara Ayah. Mengapa? Hai, apa aku masih mau berpikir bagaimana bisa itu terjadi? Huh, memikirkan cara bertemu Ayahku di waktu yang tepat saja sudah membuatku kehabisan tenaga. Lalu, Ibuku yang merupakan anak satu-satunya dan sudah yatim piatu sejak aku lahir, siapa saudaranya yang bisa kutemukan?

Atau mungkin aku bisa menemui seorang atau beberapa teman? Yang benar saja? Aku yang selama ini terlalu sering sendirian, menganggap teman itu tidak ada yang setia, percuma. Lebih baik berteman dengan diri sendiri, tidak diatur, tidak disakiti, tidak dimanfaatkan.

Dan di ujung angin malam, kesepian ini terasa benar-benar mematikan untukku.

Aku lebih baik pergi, menyusul Ibu dan bahagia di sana. Sederhana bukan?

Kini aku berencana mengikuti manusia-manusia kota dan memasuki tempat yang tak pernah kukunjungi sebelumnya. Entah diskotik, atau ‘cafe’, yang mungkin akan membunuhku secara baik-baik. Tapi sungguh, aku tidak bisa ‘minum’ dengan cara yang baik dan benar, bisa-bisa aku malah mati secara terkejut. Tidak, lagipula itu tidak membuatku mati seketika, hanya mematikan masa depan saja. Tanggung, kan?

Atau aku akan berjalan cepat ke tengah jalan raya tanpa melihat kendaraan yang melaju. Berharap ada kendaraan yang menabrakku hingga aku terpental beberapa meter. Tidak, aku tidak ingin menjadi wanita bergaun biru muda yang masuk koran dengan pose tubuh yang tercecer, menggelikan. Huek.

Atau aku akan berdiri di sebuah jembatan tinggi, melongok ke bawah dan menatap sungai dengan aliran air yang deras di bawahnya. Tanpa aba-aba, aku akan menjatuhkan tubuhku menuju sungai dengan tenang. Aku yakin kain gaunku akan berterbangan begitu indahnya bagai bidadari terbang. Kemudian, aku tenggelam dan hilang. Tapi sayang sekali, di dekat sini, sungai berisi banyak sampah, bukan air, namanya juga sungai kota.

Ah, aku tidak berbakat bunuh diri.

Ponselku berbunyi. Ayah memanggil.
“Halo.”
“Kamu di mana?”
“Di luar, Yah.”
“Cepat pulang!”
“Ya.”
Aku memutus panggilan. Ada ide mengalir cepat tiba-tiba. Ide bunuh diri yang sangat baik. Aku akan pulang, meminta maaf pada Ayah atas segala kesalahanku, lalu aku akan membunuhku dengan pisau yang biasa terletak di dapur rumah. Sungguh, bunuh diri yang sangat baik bukan?

Aku bergegas pulang, melepas high heels, berlari telanjang kaki agar aku cepat sampai rumah. Aku tahu aku akan ditertawakan Ayah pulang dengan dandanan seperti ini. Masa bodoh. Yang penting aku cepat pergi –entah ke rumah atau ke surga.



Ayah memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala.

“Kamu habis menemui siapa?” tanya Ayah yang duduk di sofa sambil membuka kacamatanya.
“Tidak  ada.”
“Tapi mengapa malam ini kamu cantik sekali?”

Sungguh, baru kali ini Ayah memuji, uh, meledekku.

“Iseng saja. Sayang, kan, gaun ini belum pernah dipakai,” ucapku asal, masih berdiri menghadap Ayah.
“Oh.”
“Ayah. Boleh aku minta waktumu sebentar?” tanyaku seraya duduk di sampingnya.
“Ya.”
“Aku ingin meminta maaf padamu, Ayah. Pasti selama ini aku pernah membuatmu kecewa, bahkan menyakiti Ayah. Maafkan aku,” ucapku lirih sambil menundukkan kepala.
“Ayah juga minta maaf,” balas Ayah tanpa senyum sedetikpun. Sudah kuduga, Ayah benar-benar tidak pernah peka.

Aku harus melanjutkan rencanaku. Baru saja akan menuju dapur, Ayah malah memanggil.
“Asha, tolong kunci pintu dahulu! Tadi, kan, kamu yang terakhir masuk rumah.”

Sungguh, baru kali ini Ayah memanggil namaku secara utuh. Ada sesuatu yang terasa berjalan melewati hatiku, entah apa.

Aku berjalan ogah ke arah pintu. Kunci yang kuputar menimbulkan bunyi sebanyak dua kali. Seusai mengunci pintu, aku membalikkan badan. Seketika, kini aku yang mengunci diriku, terpaku, menahan nafas, membelalakkan mata, dan hanya bisa berteriak sekencang yang aku bisa.

“Ayaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!”


Ayahku mati. Dengan pisau yang harusnya membunuhku, pisau yang sudah aku rencanakan untuk membunuhku. Aku terlambat. Aku terlambat mati lebih dahulu. Aku terlambat menyelamatkan ayah. Tepat di atas meja dapur, tergeletak secarik kertas dengan tulisan: Ayah lelah. Ayah pun patah hati, bahkan sudah hancur karena tiadanya Ibumu. Ayah lebih kesepian. Kesepian bukan akhir dari segalanya, kematian lah yang mengakhiri segalanya. Jangan berniat mati karena kesepian, Asha. Cukup Ayah saja.

4 komentar :