Senin, 16 Juni 2014

Ketika Aku Harus Bawa Bekal

Kususuri jalan panjang yang mengikuti arus sungai kota
Bersama beberapa teman, aku mengendarai kuda besi bermesin
Aku mengejar yang di depan, juga teman di belakangku
Lalu aku tiba pada sebuah tempat

Kata orang-orang, ini tempat berkumpulnya ‘anak muda’
Aku yang juga merasa bagian dari mereka pun masuk
Asing bagiku, baru pertama aku datang
Aku tiba-tiba meragu untuk melangkah lebih jauh

Bukan perihal salah tempat, namun tampak penuh tempat
Aku dan teman-teman terlalu malu, hingga belum ada yang masuk di menit ke sekian
Sampai datanglah seorang laki-laki menghampiri
Aku yakin, laki-laki ini peka akan kebingunganku

Selayaknya malaikat acara, ia membawakan kursi lebih ke sebuah meja
Selayaknya tamu istimewa, kami disambut dan dipersilakan duduk
Aku memanggil nama seorang perempuan yang tidak sama cantik denganku
Ia dengan rambut sebahu lebih, menaikkan kedua ujung bibirnya
Aku telah dulu mengenalnya

Lagi-lagi, aku dan teman-teman seperti tamu istimewa
Kami duduk di posisi paling depan
Dengan seenaknya duduk padahal terlambat

Inti acara pun dimulai
Manusia-manusia asing satu per satu maju
Ada yang membawa secarik kertas, atau segenggam kertas digital
Aku mendengarkan suara-suara yang mereka suarakan

Tapi pikiranku tidak di tempatnya
Lain dari yang lain, aku tidak fokus pada puisi
Lain dari yang lain, aku lebih ingin memaknai posisi
Seiring waktu berlalu, setiap pasang mata sudah menampilkan diri

Kini giliranku...

Aku tidak fokus, lidahku agak kelu rasanya
Tapi bagaimanapun juga, aku harus tetap bersuara
Maka aku bunyikan pita suaraku, aku bacakan kalimat-kalimat syahdu
Mungkin tidak se-syahdu yang seharusnya, namun aku tetap melanjutkan sampai akhir
Selesai, lega bercampur tidak lega, sudahlah

Setidaknya aku tidak berpuisi sendirian seperti biasanya
Setidaknya aku belajar membuka mulutku saat di depan orang banyak
Setidaknya aku sedang menjajaki jalur menuju citaku
Ya, citaku!

Aku hampir lupa pada waktu
Sudah puluhan menit aku hanya duduk dengan canggung
Kecanggungan berganti kesadaran
Ini tempat makan dan minum berbayar
Dengan perintah kesadaran, aku memesan sesuatu

Angka-angka yang tertera lebih dari empat
Dua atau tiga angka nol berbaris rapi di sebelah kanan titik
Aku agak tertegun, bukan karena apa-apa

Sementara itu...

Kamu menuju suatu tempat yang lain
Aku memang tidak mengikutimu, tapi sedikit bisa membayangkannya
Kamu di antara manusia-manusia asing pula
Mungkin ada yang kamu kenali tapi tidak semua

Kamu punya cita di sana, seperti ceritamu padaku sebelumnya
Kamu berniat untuk  membuat orang lain tertawa
Dengan ‘komedi berdiri’ yang sedang merajai kekreatifan negara
Aku tidak menontonmu tapi sedikit ada gambaran untukku

Pasti banyak orang yang memberi suguhan lucu dan manis
Semanis minuman segar yang disediakan berbayar
Aku tidak tahu jelas berapa banyak angka yang tertera di sana
Entah tertera pada menu di papan tulis hitam
Atau tertera pada buku bergambar makanan dan minuman

Aku mengira bahwa kamu seperti aku, sedang tertegun
Bahkan jika kamu tidak mencicipi sedikit saja
Kamu bisa saja didapati sedang diledeki yang lain
Yang tabah, ya, kamu!

Hal yang tersirat pada benak kita masing-masing
Apakah cita berbanding lurus dengan harga makanan?
Apakah cita bisa dicapai dengan membeli minuman segar?
Apa harus menggembungkan dompet untuk meraih impian?

Lagi-lagi ini hal lain yang mungkin hanya dipikir oleh kita
Bukan berfokus pada puisi
Bukan berfokus pada komedi
Aku dan kamu bergumam, “Apa bulan depan kita bawa bekal saja?”
Bekal yang entah dibawa dari rumah, atau bekal yang yang kita beli di jalan
Apa pun itu, bekal bisa menambah tenaga kita berkarya, kan?

Sepulangnya kita dari tempat cita
Banyak hal yang dipelajari dan menjadi pelajaran
Lalu terbesit satu hal yang kamu juga tahu

Kelak saat kita tampil kembali pada acara yang sama
Saat kita lebih percaya diri dari bulan kemarin
Saat itu juga kita berucap, “Ketika aku harus bawa bekal...”
Bukan hanya bekal makanan dan minuman

Namun juga bekal kemampuan

Minggu, 15 Juni 2014

Surat untuk Ayah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Teruntuk ayah yang aku panggil dengan sebutan “Papa”.

Selamat malam, Pa! Bagaimana kabar Papa? Pasti baik :)

Selamat Hari Ayah, ya, Pa! Selamat harinya Papa, selamat harinya pria terhebat dalam hidupku. Hal yang ingin aku ucapkan terlebih dahulu: aku rindu Papa, rindu sekali, teramat rindu. Papa sedang apa di sana? Apa Papa juga merindukanku? Kapan kita bisa bertemu, Pa?

Anakmu yang manja ini sedang senang-senangnya menulis. Jadi, anak semata wayangmu ini menulis surat ini untuk Papa. Surat ini aku tulis sambil mendengarkan instrumen lagu kesukaanku, lho. Lagu yang selalu mengingatkan masa kecilku, Pa. Dulu Papa selalu tampil khas dengan perhatian yang tidak terlalu tampak, tapi selalu sukses menyentuh hatiku. Mungkin setiap ayah di dunia begitu. Cuek tapi perhatian, dengan cara mereka sendiri. Juga papa.

Perhatian Papa sungguh sederhana. Mengajariku mengendarai sepeda, mengajariku berenang, mengajariku membaca komik dan menonton kartun, membenarkan aku menghitung matematika, lalu.... Ah, banyak sekali perhatian sederhanamu, Pa. Semua pemberian Papa istimewa sekali bagiku, karena Papa yang pertama menjadi pria teromantis di duniaku.

Pa, sekarang aku sudah akan dewasa. Aku tidak akan sebesar ini jika tanpa bantuan Papa. Aku tidak akan jadi apa-apa seperti sekarang, kalau Papa tidak mengajariku banyak hal. Sekarang, Papa jangan lelah-lelah, ya. Sebab aku akan berusaha, Pa. Berusaha menjadi anak yang Papa banggakan. Aku akan berjuang untuk meraih cita-citaku, Pa.

Pa, Papa sangat beruntung, Papa dicintai oleh malaikat dunia yang juga sangat spesial untukku: Mama. Aku yakin Mama juga sangat merindukan Papa. Sangat, Pa. Tapi Mama jauh lebih tegar dari aku. Mama tidak menunjukkan kesepian dan kesendiriannya. Mama tetap bersemangat untuk membahagiakan aku, seperti Papa membahagiakanku. Aku sangat beruntung memiliki ibu dan ayah seperti Mama dan Papa. Alhamdulillah.

Papa, bagaimana aku mengucapkan terima kasih yang teramat sangat padamu?

Jiwamu masih terasa ada, Pa. Seolah menyemangatiku dan menguatkan Mama. Walau di rumah yang berbeda, kami masih menggantungkan bingkai dengan foto Papa di dinding. Foto hitam putih Papa yang masih terlihat amat sehat. Aku senang melihat senyum Papa di foto itu. Lagi-lagi, Papa pria pertama yang tertampan di duniaku.

Pa, sebenarnya aku tidak kuat mengetik surat ini. Aku benar-benar merindukan Papa. Air mataku tiba-tiba keluar mengalir. Maaf, ya, Pa, aku masih cengeng sampai sekarang.

Aku sangat jarang pergi ke laut, Pa. Maka maafkan aku yang tidak tahu bagaimana cara bertemu Papa. Aku tidak bisa membawakan bunga untuk Papa. Tapi do’aku mudah-mudahan bisa menjadi penawar rindu antara aku dan Papa. Semoga do’aku memberi bahagia dan ketenangan untuk Papa. Semoga Tuhan selalu mendengar setiap do’a untuk Papa.

Aku sangat mencintaimu, Papa. Aku sangat merindukanmu. Papa baik-baik, ya, Pa.

Semoga surat ini sampai ke surga.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.




Salam manis dari anak pertama dan terakhirmu,




Sandra

Kamis, 12 Juni 2014

Cinta

Kelopak mataku terbuka
Tak cepat tetapi juga tak lambat
Aku melihat langit-langit yang putih
Bawahku empuk dan aku berbaring

Aku berusaha menemui pikiranku
Aku bertanya apa yang terjadi
Ia menjawab, "Kamu baru saja bermimpi."
Aku menghela nafas, ternyata aku tidak jadi jatuh

Aku masih menatap langit-langit yang putih
Mengingat ulang mimpi burukku
Tubuhku bangun menuju jendela kamar
Mengintip dan melihat pagi


"Hari masih cerah," ucapku dalam hati
Aku beranjak dan menuju teras rumah
Aku duduk pada sebuah kursi bambu
Menahan badan dengan kedua tangan di dudukan dan menggoyangkan kedua kakiku

Aku sangat suka dengan pagi
Saat yang paling tepat untuk bersemangat
Aku juga masih suka dirimu
Tapi belum pernah ada waktu yang tepat untuk menjelaskannya

Pagi ini aku tidak ingin berteriak seperti biasanya
Aku yakin Tuhan juga mendengar setiap bisikanku
Bisikan  mengenaimu
Bisikan atas cerita seputarmu

Rasa degup jantung kala itu benar-benar menggempa
Untung saja jantung ini diberi lem yang sangat kuat oleh penciptaNya
Kalau tidak, lepaslah jantungku
Itu semua padahal hanya karena akan bertemu denganmu

Kini aku telah mengerti semuanya
Cinta itu memberi, saling memberi
Cinta itu menerima dan saling melengkapi
Bukan sama-sama hebat, bukan sama-sama juara


Jika ada yang enggan memberi, itu bukan cinta
Jika ada yang memberi syarat, itu belum cinta
Pernah tidak dirimu menyukai sesuatu?
Sesuatu yang disuka bukan berarti dimiliki juga, kan?
Menyukai pagi, misalnya

Pagi memang bukan milikku seutuhnya
Pagi adalah milik Yang Maha Besar
Tapi Tuhan menitipkan pagi padaku
Dengan harapan aku tetap bersyukur, berdo'a, dan bersemangat

Dan dirimu serupa pagi
Aku tidak memilikimu tapi aku mensyukurinya
Aku tidak bisa selalu bersamamu tapi masih bisa mengagumimu
Aku tetap bahagia

Lihatlah, bunga masih tersenyum dipayungi awan berjalan
Aku memandang ayunan yang bergoyang sendirian tanpa aku
Aku menitipkan salam pada rumput hijau untuk menyampaikannya pada senja nanti
Aku berusaha masih merasa lapang dan tenang

Ternyata, aku masih terlalu percaya diri
Padahal aku sudah melayang tinggi
Padahal aku hampir benar-benar jatuh
Tapi aku tetap menikmati ini

Walau aku tahu kenyataannya tak seindah angan
Tapi aku tetap mengakhiri puisi cintaku
Teruntuk........
Seseorang yang membawaku dalam gabungan Perasaan-Jatuh-Cinta



Sekian





Sumber gambar:
http://learninghabit.files.wordpress.com/2013/08/cute-love-backgrounds.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsJMrDkk_J6Boz95bzD-h4WUN1mKiPumYbjZRN_OBh7u29E0GEJ2hLYYn3qB2zem92oOxY4gGC-cNqDKSUqxQ6xkJuEeokZSy0QFXJHzgr4OsLI1o56tt7lGPmuNyrc_-z7TD41AXHA-E/s1600/04-09-13-morning-window.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsdYmLoOWjxOBS9JzHVi-GXCAIjYEZFQg3LAKvNal00TkniCwYQRBFrgSG14npM5e8xAtlX127HZXwKn7PYZnSPReF_zqqS1vHSPVlJxHPuSVYPg1o1IuydLGzWyCR361AkZzOrfBGZqEN/s400/7-manfaat-kesehatan-dari-jatuh-cinta.jpg

Minggu, 01 Juni 2014

Jatuh


















Pada akhirnya aku benar-benar melayang bebas
Tanpa parasut yang terbawa 
Tanpa apa pun di bawah sana 
Hanya menggandeng udara menuju gravitasi

Aku memejamkan mata
Hanya berdo’a dan yakin Tuhan di dekatku
Tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini
Aku hanya tetap memejamkan mata


Mataku terlalu lemah untuk terbuka
Hati memerintah mataku untuk terus diam
Menanti hingga aku tiba di bawah sana
Dengan atau tanpa pertolonganmu

Aku memejamkan mata sedari tadi
Tapi aku tidak tahu apa yang ada di balik mataku
Gelap dalam mataku perlahan berubah
Kesuraman yang memenuhi ruang penglihatanku menghilang entah ke mana
Ruang penglihatanku menjadi putih
Hidungku masih bisa memasukkan dan mengeluarkan udara
Aku bingung, aku masih hidup atau sudah di surga?

Samar-samar otakku melukiskan sesuatu
Segala tentangmu terbayang satu per satu
Senyummu, tawamu, candaanmu
Sifat dan karaktermu yang begitu khas kukenal
Semua aktivitasmu yang aku tahu
Beragam gerakmu yang aku teliti
Verbal dan non verbal-mu yang begitu menarik
Membuatku mempelajari setiap artinya

Aku tidak paham itu ilusi atau logikaku saja?
Tapi, mengapa, ya, aku jadi pandai berilusi bagaikan sang pengarang?
Tapi mengapa aku bisa memaknai segala sesuatu yang terjadi
Lalu selalu mengaitkannya padamu? Mengapa?

Maaf kalau perasaanku masih ada
Maaf aku masih mengingatmu
Mengingatmu berkata, “Hai” dan aku pun tersenyum
Mengingat perasaan yang lapang dan tenang
Maaf aku telah menganggapmu sebagai anugerah

Aku masih terlalu percaya diri
Padahal setelah ini aku benar-benar tidak tahu
Adakah dirimu sedang di bawah sana?
Adakah dirimu sedang bersiap menangkapku?
Adakah kebetulan-kebetulan lain yang akan terjadi?

Tuhan, tolonglah aku!
Aku akan terjatuh sebentar lagi
Terkapar tak berdaya sama sekali
Aku hanya ingin bertanya
Apa setelah ini hari masih cerah?
Apa setelah bunga masih mau tersenyum?
Apa kemarau akan berganti jadi musim hujan bersalju berkepanjangan?
Dingin, beku, tak bebas bergerak

Entahlah aku tidak atau belum tahu
Lalu siapa yang akan mengutarakan perasaaan ini padamu?
Jika aku memang benar-benar akan terjatuh

Apa pun yang terjadi setelah ini 
Aku tetap bahagia telah mengenalmu 
Aku tetap menghargai radarku yang telah menemukanmu 
Aku tetap bahagia

Teruntuk..................