Rabu, 23 April 2014

Bianglala Raksasa


Kenangan. Hal itu datang tanpa undangan. Otakku menjelajahi putaran waktu masa lalu dan mengingat. Seolah mengembalikan apa yang sudah terjadi di sini. Namun kenyataannya aku hanya duduk di sebuah kursi dan memandang samar ombak kecil berlari. Malam ini, aku memandang sebuah bianglala raksasa yang berjarak beberapa meter dari posisiku. Bianglala dengan lampu bagai bintang yang menyertainya. Berputar, sama seperti mengingat masa lalu.
***
5 tahun yang lalu…
Aku, Bela, Egi, dan Rama mengunjungi tempat wisata bernama “Ocarina” untuk mengisi waktu pasca kelulusan kuliah.
“Kira! Yang terakhir dari wisata kita hari ini, kita harus naik Giant Wheel. Ayo!” kata Rama yang mengajakku berlari kecil menuju ke depan sebuah bianglala raksasa. Aku menengadahkan kepalaku. Bianglala itu besar dan tinggi. Aku mencoba menghitung banyaknya gondola, “…..empat belas, lima belas, enam belas. Ada enam belas,” ucapku sangat pelan. Bianglala itu berputar  dan seolah memanggilku untuk naik dan ikut merasakan putarannya.
“Egi, Bela, cepat ke sini!” teriak Rama sambil mengayunkan tangan pada dua orang teman kami yang masih berjalan. Kami berempat pun menaiki salah satu gondola dan menunggu bianglala berputar-putar. Lalu, gondola yang kami naiki bergerak ke atas perlahan-lahan. Aku menunggu sampai berada di titik puncak. “Wow!” seruku yang terpesona melihat pemandangan separuh kota Batam. Alunan musik menambah kenikmatanku. Bianglala berputar kembali ke puncak selama beberapa kali. Bela, Egi, dan Rama ikut mengamati pemandangan dari balik jendela kaca. Kami berempat tidak berhenti tersenyum dan tertawa. Wisata yang sungguh menyenangkan. Bukan hanya karena tempatnya, namun canda tawa dan senyum bahagia dari mereka, terutama Rama.
***
Beberapa minggu kemudian, aku, Bela, dan Egi mengantarkan Rama menuju bandara. Rama akan merantau ke Jakarta untuk bekerja di salah satu perusahaan media massa cetak.
“Hati-hati, Ram! Semoga sukses!” kata Egi sebagai sahabat laki-laki terdekat Rama.
Rama menganggukkan kepalanya tanpa bicara apapun. Rama membalikkan badannya dan mulai melangkah.
“Ram!” teriakku di tengah keramaian bandara.
“Ya, Ra?” sahut Rama yang membalikkan badannya dan menghadapku.
“Selamat tinggal, Rama! Hati-hati, ya! Jangan putus komunikasi. Sempetin sms, dan……..” ucapku yang belum selesai. Aku memberikan secarik kertas pada Rama.
“Ini alamat e-mail-ku.  Kalau mau cerita banyak, kirim e-mail, ya!” lanjutku.
Rama mengambil kertas yang kupegang.
“Iya, Ra, makasih. Oh, ya, kalau kangen, coba keluar rumah, tengok ke atas, dan lihat bulan. Kita melihat bulan yang sama. Itu artinya kita masih dekat,” kata Rama sambil tertawa kecil.
Aku hanya tersenyum. Rasanya bercampur, antara senang, sedih, dan haru. Setidaknya perpisahan yang membahagiakan adalah saat bisa mengucapkan “selamat tinggal”, lalu terus memandang, walau perlahan menjauh dan kemudian hilang.
***
Aku telah berpisah jarak dengan Rama. Aku sempatkan diri untuk menyapanya walau hanya lewat sms. Rama juga sering mengirimkan e-mail dan bercerita seputar kehidupannya di Jakarta. Anehnya, aku tidak pernah menelpon Rama, begitupun Rama. Bagiku, bercerita dengan kata-kata lebih menyenangkan dan membantu untuk membayangkan cerita. Namun aku tidak bisa memungkiri saat aku merasa rindu.
Aku, Bela, dan Egi pun berpisah kota untuk bekerja. Hanya aku yang masih tetap di kota Batam. Ingin rasanya berkumpul lagi seperti dulu. Maka sampai pada saat hari ulang tahunku tiba, aku berniat mengundang Bela, Egi, dan Rama untuk makan pancake di sebuah restoran di Batam. Untungnya, kami sedang liburan akhir tahun. Keinginanku pun dapat terwujud.
***
Aku menaikkan kacamataku yang merosot di hidung. Memandang jam tangan yang tidak henti berdetak. Menunggu itu memang mengelisahkan. Tapi kesabaran mengokohkanku. Bukankah siapa yang bersabar akan beruntung?
Bela pun datang. Aku menyambutnya dengan gembira. Aku memeluk Bela yang penampilannya sudah agak berubah, lebih dewasa. Aku menarik kursi sebelahku untuk Bela duduk. Kemudian, Egi dan Rama pun datang. Mereka tidak berubah dari sebelum kami berpisah.  Egi duduk menghadap Bela, lalu tentu saja, Rama duduk menghadapku. Kami memecahkan suasana dengan saling bercerita.
“Hm… Sebenernya setelah ini aku akan kerja berpindah tempat, dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain. Jadi…..” ucap Rama yang berhenti memegang sendok.
“Jadi untuk sms bakal jarang, apalagi e-mail,” lanjut Rama dengan serius.
“Tapi kalau ada acara kayak begini, bisa dateng, kan?” tanyaku dengan suara yang lemah.
“Diusahakan, Ra. Kalau aku lagi nggak di tempat yang jauh, misalnya Papua.”
Aku berhenti makan pancake  coklat kesukaanku. Aku merasa rasa coklatnya menjadi hambar. Aku hanya menunduk tanpa mengeluarkan keluhan apapun.
“Jangan kangen, ya, Ra!” ledek Rama yang tidak lucu bagiku. Namun Bela dan Egi tertawa. Orang lain memang tidak bisa membaca pikiran, seandainya saja bisa…
Seusai makan dan melangkah menuju pintu keluar, Rama memanggilku dengan bisikan. “Ra, sebentar!”
Sementara, Bela dan Egi sudah keluar lebih dulu.
Rama berkata, “Ingat bulan yang kita lihat di langit yang sama, Ra! Nanti kita ketemu lagi di suatu titik dari luasnya dunia. Aku kejar cita-citaku dulu. Do’akan, ya!”
***
Kembali pada masaku saat ini…
Itulah kenanganku. Aku masih memandang bianglala raksasa dan mencoba mencari bulan di langit. Kepalaku menengadah lebih tinggi, lalu mataku melirik kiri kanan.
“Kira, kenapa masih cari bulan? Kita kan sudah berada di bawah langit yang sama?” ucap seorang laki-laki yang menghampiriku dan membawakan pancake coklat kesukaanku.
Aku hanya menaikkan kedua ujung bibirku dan mengambil piring dari tangan Rama.
“Makasih, ya, pancake-nya,” ucapku.
“Besok aku masuk kerja pagi, jangan lupa buatin aku sarapan, loh!” kata Rama yang kemudian duduk di kursi sebelahku.
Aku menganggukkan kepalaku dengan tegas. Aku tidak menyangka, aku dipertemukan dengan  Rama kembali dan ia menjadi pendamping hidupku.
Aku kembali memandang bianglala raksasa.
Bianglala. Berputar, menuju titik puncak untuk melihat keindahan. Lalu bergerak ke bawah lagi, hingga kita kehilangan pemandangan indah yang sebelumnya terlihat. Jika masih ada waktu dan diizinkan, maka bianglala akan kembali menuju pada titik yang sama. Waktu pun berputar menyertai, mengukir sebuah kenangan yang masih tersangkut dalam ingatan, menyisakan bayangan tentang betapa indahnya berada di titik puncak. Semua menyatu padu seolah menjelaskanku tentang satu kata bernama: CINTA.


Minggu, 20 April 2014

Emansipasi Cinta

Pertama-tama, gue ucapkan selamat datang untuk para cewek yang sedang memendam perasaan. Cieh. Tapi, kalau yang baca postingan gue ini cowok, gue ucapkan selamat membaca (hati cewek)!


Gambar di atas itu sepotong cuplikan dari film “5 cm” yang ceritanya diambil dari novel karya Donny Dhirgantoro.


Kalian tahu maksudnya? Izinkan gue untuk tertawa sedikit. Hahaha.

Jadi, tokoh cewek itu namanya Riani, dia lagi cerita ke temennya kalau dia sedang suka dengan seorang cowok yang selama ini adalah sahabatnya sendiri. Lalu, dia pun menyatakan, “Gak enak yah jadi cewek, kalau cewek suka sama orang, gak bisa bilang, bisanya cuma nunggu doang.” Dan izinkan gue untuk menangis sebentar. *kelilipan*

Dari pernyataan itu, gue yakin ada banyak kepala cewek yang mengangguk setuju. Begitulah cewek. Itulah kami. Jangankan buat ngomong suka, buat ngucapin “selamat pagi” duluan ke gebetan aja nggak berani. Sebagai cewek, gue juga nggak tahu dasar apa yang membuat cewek seperti itu. Yang gue tahu, cewek itu merasa nggak enakan kalau harus menyatakan duluan, ada yang janggal.

Tapi gue rasa kami cuma takut, apa-apa yang udah ada itu bakalan hilang atau menjauh, apa-apa yang kami lakuin itu salah, apa-apa yang kami lakuin itu berujung sakit hati. Misalnya dari hal simpel aja, cewek ngucapin “selamat pagi” duluan ke gebetannya dengan perasaan manis, semanis teh di pagi hari. Eh pesannya ga dibales, atau pesannya malah dibales bercandaan. Kan nyebelin. Haha. Tapi se-nyebelin apa pun, pasti bahagia udah dibales. Haha.

Makanya, kenapa cewek lebih milih diam. Lebih milih mengagumi dari jauh. Sebenernya hal yang kayak gitu malah membuat cewek merasa bahagia, soalnya dia akan mencari tahu banyak hal tentang gebetannya diam-diam, mengenal gebetannya dengan cara mereka sendiri. Walau sebenernya ada rasa nyesek juga, sih. Tapi gue juga bingung kenapa cewek suka jadi detektif cinta kayak gitu.

Sebenernya cewek juga berusaha, lho. Tapi, dari segala hal yang cewek perjuangkan, pada akhirnya cewek harus menunggu. Berimpian supaya gebetannya peka dan balik peduli. Berharap-harap “tembakan” dari cowok yang disukanya segera datang. Walaupun bisa jadi penantian itu sampai ribuan hari lamanya.

Tapi mungkin, cewek harusnya nggak seperti itu. Kenapa? Karena ini zaman emansipasi.


Emansipasi adalah persamaan hak di berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria)

Zaman sekarang, kaum cewek haknya sudah disamakan dengan kaum cowok. Cewek sekarang boleh sekolah, boleh kerja, boleh kuliah, dll, setara/sepadan dengan hak cowok. Mungkin, sama juga seperti cinta.

Cewek sebenernya punya hak yang sama kayak cowok. Cewek sebenernya boleh kasih kejutan duluan. Cewek sebenernya boleh ungkapin isi hatinya duluan.

Ungkapin perasaan sebenernya bukan berarti nembak, lho. Sebagai cewek, pasti ada rasa capek buat memendam perasaan. Apalagi kalau sering ketemu, ampun banget rasanya hati.

Kalau berani buat ungkapin, setidaknya perasaan yang mendobrak mau keluar itu bisa tersampaikan pada siapa yang seharusnya menerima. Gue yakin, walaupun tanpa jawaban apa pun dari orang yang disuka, pasti udah merasa lega-selega-leganya kalau udah kasih tahu. Karena sebenernya cewek juga nggak sanggup denger jawabannya, kan?


Oh, ya, untuk cerita “5 cm” yang tadi, akhirnya Riani bisa bersama cowok yang disukainya, Zafran. Dan itu karena Riani sendiri yang nyatain perasaannya, lho. Kenapa bisa gitu? Menurut gue, kadang cowok itu suka nggak sadar ada yang begitu mencintainya. Tapi saat dia sadar, dia akan merasa sangat beruntung ada bidadari cantik yang sebenarnya tercipta buat dia. *colekRiani*

Aku mau kayak Riani :’) *lho!

Well, itu pilihan. Mau ungkapin atau nggak, cuma diri sendiri yang bisa nentuin. Apa pun pilihannya, menyatakan atau nggak, nggak ada yang salah, kok. Karena cinta bukan pilihan ganda di soal UN. Cinta bukan soal menentukan mana yang paling benar. Cinta itu soal menerima dan menolak, soal mau terus berjuang atau berhenti.

Memilih tetap jadi pemendam rasa atau jadi pengungkap rasa?

Apa pun yang dipilih, selamat datang di kehidupan cinta yang kamu pilih sendiri :)

Jangan lupa berdo’a pada Yang Maha Pemberi Cinta, semoga semua berjalan baik, Aamiin.

Semangat, ya, wanita yang masih memendam rasa! ;)


Sumber gambar: http://data3.whicdn.com/images/91267872/large.jpg

Sabtu, 19 April 2014

Percakapan dengan Bulan


Seorang anak perempuan berumur 9 tahun berdiri di tepi balkon lantai 2 rumahnya. Anak itu bernama Alya. Anak itu menengadahkan kepalanya, matanya melirik ke kiri dan ke kanan, seolah sedang mencari sesuatu. Lalu tiba-tiba terdengar suara tak dikenal dan tidak diketahui dari mana asalnya. 


“Kamu sedang apa? Mengapa belum tidur?” 
“Hah? Kamu bisa bicara, Bulan?” 
“Sssttt. Ini rahasia kita, ya. Aku memang bisa bicara. Hm, aku perhatikan kamu sejak tadi seperti mencari sesuatu. Kamu mencari apa?” 
“Aku mencari kamu, Bulan.” 
“Wah, ada apa kamu mencariku? Aku sejak tadi di sini, kok.” 
“Hehe. Aku senang kamu ada dan tidak terhalang awan malam ini. Aku hampir setiap hari berdiri di sini setiap malam untuk memandangmu.” 
“Benarkah?” 
“Ya, aku sangat kagum padamu. Aku memiliki impian untuk bisa seperti dirimu, Bulan. Aku ingin sekali menjadi sang terang benderang di tengah kegelapan.” 
“Bukankah aku tidak selalu terang?” 
“Tentu. Itulah keindahan. Terkadang ada, tapi terkadang menghilang. Tapi aku senang karena indahnya kamu adalah kejutan buatku.” 
“Aku juga tidak selalu bertubuh utuh. Apa kamu tetap mendapatkan keindahan?” 
“Ya, tetap. Aku senang dengan sabitmu, seperti senyuman manis. Juga dengan setengahmu, membuatku penasaran untuk mengintip dirimu yang setengahnya lagi. Begitu pun dengan penuhmu, purnama. Purnamamu sangat cantik. Kamu cantik, Bulan.” 

Bulan tertawa kecil. Kemudian suasana hening sejenak. 

“Tapi jika kamu mendekatiku, kamu akan melihat aku dengan sangat jelas. Maaf, aku tidak sesempurna itu. Jika kamu menghampiriku, kamu akan melihat lubang-lubang atau kawah yang ada pada diriku. Jika sudah begitu, apa kau masih mau berdiri di sana setiap malam?” ucap Bulan dengan nada yang semakin lama semakin melemah. 
“Bulan, aku bukan hanya mengagumimu, tapi aku benar-benar menyukaimu, jadi aku akan menerima kekuranganmu. Setiap hal punya kekurangan. Manusia juga begitu, Bulan. Aku cerita sedikit, ya. Manusia itu bisa merasakan suka, cinta dan dapat saling menyayangi. Aku ingat ayah dan ibuku. Mereka bisa saling menyayangi karena mereka menerima kekurangan satu sama lain, bukan hanya karena melihat kelebihannya saja.” 
“Wah, indah sekali.” 
“Seindah sinarmu, Bulan.” 

Kepala Alya yang masih menengadah, digerakkan ke kiri dan ke kanan. Ia pun bertanya, “Di mana Bintang-Bintang?” 

“Ada, tapi tak nampak.” 
“Mengapa begitu?” 
“Kamu berada di perkotaan yang banyak menghidupkan lampu-lampu, jadi Bintang-Bintang sulit terlihat karena adanya polusi cahaya.” 
“Huft. Padahal kamu terlihat tambah sempurna bila bersama Bintang. Oh, ya, kalau boleh tahu, bagaimana perasaanmu setiap bersama Bintang? Aku penasaran.” 
“Perasaanku bahagia. Aku tidak hanya sendiri di langit ini. Aku punya sahabat yang menemaniku dan menjadikan langit lebih indah lagi.” 
“Bintang itu kan banyak. Apakah kamu memiliki sahabat Bintang paling akrab?” 
“Hmmm. Aku memang bersama banyak bintang, tapi sebenarnya, ada 1 bintang yang paling istimewa bagiku.” 
“Bintang apa itu?” 
“Hehehe. Maaf, itu rahasiaku.” 
“Ternyata Bulan juga punya rahasia, ya?” 
“Bukankah yang namanya misteri itu ada? Aku pun punya misteri.” 
“Benar. Oh, ya, terima kasih, Bulan, sudah mau berbicara padaku malam ini.” 
“Ingat, ya, percakapan kita malam ini adalah rahasia. Jangan ceritakan pada siapapun.” 

Tiba-tiba Ibu Alya datang, berdiri di belakang Alya. 

“Kamu belum tidur?” 

Entah Ibu Alya mendengar percakapan Alya dengan Bulan atau tidak, namun kemudian Ibu Alya ikut menengadah. 

“Bulannya indah, ya, cerah sekali. Kamu juga harus bisa seperti Bulan, Alya, dapat menenangkan hati semua orang yang melihatnya.” 

Alya tersenyum tanpa berkata apapun, sudut matanya melancip. 

“Aku pasti bisa jadi bulan,” batin Alya.

Rabu, 09 April 2014

Bahagia (Semu)

*Deg* Perasaan itu lagi. Jantung serasa mau copot. Gue melihat dia lagi setelah gue dan dia udah pisah cukup lama. Gue rasa cukup. Gue nggak mau lagi ngerasain ketakutan. Gue nggak mau lagi merasa nggak tenang. Cukup.
Dia melihat ke arah gue. Tapi cuma sekadar melihat. Nggak menyapa, nggak menegur, atau mungkin nggak kenal. Tubuh gue lemas seketika. Gue merasa otot-otot kaki gue copot. Gue susah berdiri setegak-tegaknya. Gue bingung apa yang harus gue lakuin. Gue malah ambil handphone dan berusaha nelpon temen gue. Ceroboh! Ini tempat parkir di mall, mana ada sinyal! Argh! Gue mau teriak, tapi nggak mungkin. Waktu terus berjalan sampai akhirnya dia lewat. Dia mengendarai motor dan mengizinkan seorang cewek duduk di belakangnya. Itu pacar-nya.
Beberapa tahun yang lalu...
Gue dan dia duduk di pinggir danau yang airnya tenang. Gue memandangi air tanpa bicara. Gue nggak menghitung berapa lama gue nggak bicara sedari tadi. Gue canggung, atau mungkin lebih tepatnya gue ketakutan. Gue menolak untuk makan dan minum, nafsu makan gue hilang. Pertanyaan menyeruak di otak gue: Kenapa gue ada di sini? Nggak takut pacar dia marah?
Dia pernah menelpon malam-malam hanya untuk sekadar mengobrol. Apa saja dibicarakan. Random. Gue sebenernya nggak mau angkat telponnya, tapi dia selalu punya cara supaya gue mau angkat telpon. Dia pun berhasil, dan cerita dia cukup menarik untuk diikuti. Ceritanya atau suaranya yang menarik?
Bunga mawar kertas. Dia suka menggambar bunga mawar. Gue sampai mengoleksi kertas-kertas itu. Nggak banyak, sih, tapi cukup untuk mengenal apa itu bunga mawar. Bukankah bunga mawar itu diberikan untuk orang yang disayangi?
Di sekolah, gue nggak ngerti siapa yang buat jadwal moving class?! Kelas gue dan dia sering berdekatan, membuat gue pun sering bertemu dia. Senyum-senyuman, sapa-sapaan, atau pura-pura melengos nggak tahu. Anehnya gue selalu aja deg-deg-an. Gue selalu gemeteran. Gue senyum-senyum sendiri. Kalau nggak ada, nyariin. Kalau ada, berusaha kabur. Dia juga kadang duduk di depan ruangan di lantai 2 cuma buat perhatiin gue olahraga di lapangan. Seandainya dia tahu kalau gue salting...
Dia yang bantuin gue waktu gue melakukan hal yang salah atau lebih tepat disebut teledor. Gue mematahkan kunci ruang sekretariat salah satu organisasi. Dia yang betulin sampai ngeganti kuncinya. Dia pahlawan atau hanya sekadar kawan?
Dia selalu perhatian dengan caranya. Punya kejutan-kejutan yang gue kira cuma ada di novel-novel fiksi. Boneka kura-kura, bunga mawar, langit malam, basket, petikan gitar, senyum dari bulan, kue ulang tahun, lilin-lilin...................
Gue bahagia.
Tapi kebahagiaan gue cuma kebahagiaan yang semu. Kebahagiaan yang nggak tersentuh. Kebahagiaan yang cuma gue rasain (sendirian). Gue nggak bisa bahagia seutuhnya. Kebahagiaan tanpa ketenangan. Apa itu bisa disebut bahagia?
Dia sudah bersama yang lain. Apa arti dari ‘perhatian’ jika tidak ada ‘hati’ di dalamnya? Hanya jadi ‘peran’?
Berbahagialah, walau bukan gue yang jadi alasan lo bahagia.

Selasa, 01 April 2014

Surat untuk Mantan

Dari   : Sandra
Untuk  : Mantan
Hai, Mantan! Apa kabar? Aku harap kamu selalu baik-baik saja. Sudah lama, ya, aku tidak menyapamu. Kita sudah terpisah cukup lama. Coba aku hitung: satu, dua. Hm, kira-kira sudah 2 tahun kita berpisah. Memang, sih, kita masih di kota yang sama, tapi tetap saja kita itu jauh. Hehe.
Aku ingat saat pertama kali bertemu denganmu. Kita bertemu di ruang bernomor 17. Kita dipertemukan dalam rapat OSIS angkatan kita yang pertama kalinya. Awalnya aku hanya tahu namamu, kamu disebutkan satu kepanitiaan denganku. Aku bertanya siapa pemilik namamu kepada orang yang duduk di belakangku, lalu ia menunjuk orang yang duduk di sebelahnya, dan ternyata itu kamu. Kita pun berkenalan.
Satu kepanitiaan denganmu adalah pengalaman baru bagiku. Aku belajar banyak bagaimana cara menjadi panitia acara lomba. Kita sibuk membuat teknis lomba, mencari juri, dan mempersiapkan semua hal yang dibutuhkan. Sampai pada hari pelaksanaan, kamu malah izin tidak datang karena kamu sedang sakit cacar. "Semoga lekas sembuh," ucapku saat itu.
Setelah lomba itu, kita lebih diberikan waktu untuk saling dekat. Aku dan kamu mendapat piket Kantin Kejujuran pada hari yang sama, hari Rabu. Aku dan kamu harus datang ke sekolah lebih pagi, saat kantin belum buka, saat guru dan murid belum banyak yang datang. Aku ingat saat kita berusaha menggantungkan sekantong besar jajanan di dinding kantin. Aku yang memegang pakunya, kamu yang memakunya. Aku kurang ingat saat itu kamu menggunakan apa untuk memaku, sepertinya dengan batu. Hehe.
Setelah berbulan-bulan sering bertemu dan berkomunikasi denganmu, aku semakin mengenalmu, termasuk tentang keluargamu. Aku mengetahui bahwa kamu anak piatu. Sedangkan aku sendiri anak yatim. Kita pun sama-sama anak semata wayang. Dari segala yang kamu ceritakan, aku sangat paham keadaanmu, karena aku juga merasakannya. Lalu, kamu mengingatkan aku untuk tidak mengecewakan Ibu yang masih ada di dekatku. Aku pun ingin kamu menjaga ayahmu.
Semenjak mengenalmu, aku menjadi orang yang suka nekat. Contohnya, saat kamu ulang tahun. Di hari ulang tahunmu tahun 2010, aku mencari tasmu di sela waktu antara habis upacara dan jam pelajaran pertama. Aku memasukkan sekotak brownies sebagai hadiah ulang tahunmu. Apakah kamu juga menjadi orang yang suka nekat? Sebab di hari ulang tahunku di tahun yang sama, kamu memberiku sebuah rekaman suara merdumu. Kamu menyanyikan lagu "Happy Birthday" dan beberapa lagu lainnya. Sungguh hadiah yang mengharukan.
Kamu pasti tahu salah satu buah kesukaanku, kan? Ya, semangka. Aku suka semangka karena buah itu banyak airnya sehingga terasa sangat segar, apalagi kalau sudah didinginkan di kulkas. Kamu tahu? Kala setiap pagi aku sampai di sekolah, jika aku menemukanmu serta kamu tersenyum dan menyapa, bagiku itulah semangka di pagi hari. Haha.
Kita pernah pergi ke acara ulang tahun teman kita. Saat setelah adzan berkumandang, kita menuju mushola yang tidak jauh dari rumah teman kita itu. Kamu yang hendak berwudhu meminta tolong aku untuk memegangi jaket hitammu. Aku pun mengambil jaketmu, aku lipat membungkus lengan kiriku, dan aku lekap. Wangi sekali jaketmu. Hidungku cepat menangkap wanginya dan aku tersenyum.
Aku tahu kamu sangat suka bernyanyi. Kamu juga tahu aku suka. Kamu pernah mengajakku ke studio musik dan mengajakku latihan band di sana. Sepulangnya, kamu memberiku sebungkus apel merah, buah kesukaanku, selain semangka. Kamu juga seorang vokalis Nasyid yang selalu bernyanyi dengan sejuk. Setiap kamu selesai bernyanyi, banyak pasang mata yang berbinar. Kita juga pernah bernyanyi bersama, entah itu saat iseng, atau saat latihan padus, atau saat tampil padus di acara Pentas Seni. Aku ingat kita diberi kesempatan untuk bernyanyi 'berdua saja' dalam padus. Aku jadi Gea Idol, kamu jadi Dirly Idol. Selain bernyanyi, aku juga suka menulis. Aku pernah menulis tentangmu: "Kau adalah musikku, dan musikku adalah kau."
Tapi,
semua adalah rangkaian kisah yang pernah terjadi. Putaran film indah yang punya durasi. Sekarang semua itu bernama kenangan. Apa kamu kira aku melupakan semuanya? Tentu saja tidak. Tuhan Maha Besar, menciptakan otak yang dapat menyimpan memori, termasuk memori tentang kita. Saat aku melihat tukang es krim durian, aku ingat kamu, karena itu es krim kesukaanmu. Saat aku melewati Jalan Perjuangan, Bekasi, aku ingat kamu juga, itu jalan menuju rumahmu. Saat aku........ Ah, sudahlah.
Pernah, di ratusan hari kita telah terpisah, suatu hari aku mendapatimu di sebuah jalan raya. Aku mengetahui kamu karena aku melihat plat nomor belakang motormu, ternyata aku hapal. Saat itu seketika seolah waktu berhenti. Seolah yang berada di jalan raya itu hanya aku dan kamu. Aku tersentak, terkejut, dan bibirku kelu. Aku ingin sekali memanggil, berteriak, menyebutkan namamu, tapi aku tidak bisa. Kendaraan yang padat membuat aku mencari celah untuk melaju. Sampai pada akhirnya kita berpisah (lagi), tanpa menyapa. Tapi aku sudah senang bisa bertemu kamu barang sebentar.
Mantan, dengan surat ini sebenarnya aku hanya ingin bercerita tentang bahagianya aku mengenalmu. Tentang kisah yang terukir cantik dan mempesona. Walau pada durasi terakhir, kita terpecah. Aku tahu, aku yang salah. Aku yang memberi sebuah keputusan yang setiap insan pun tidak ada yang menyukainya. Aku yang salah. Aku minta maaf atas segala kebodohanku. Seandainya saja aku tidak seegois itu.
Aku tahu kamu baik, sangat baik. Maka aku utarakan juga rasa terima kasihku. Terima kasih telah menjadikan aku lebih mengerti tentang cinta, kesetiaan, dan saling menghargai. Terima kasih telah mengajarkanku arti kehilangan. Ternyata, move on itu tidak mudah, ya?
Dari segala hal yang pernah terjadi, aku yakin kita bisa mengambil banyak pelajaran. Kita bahkan sudah beranjak dewasa. Suatu saat kita pasti punya kisah indah (lagi). Entah bersama siapa. Dan kita bisa menjadi pejuang cinta yang lebih baik. Itu karena kenangan kita.
Maafkan aku. Terima kasih banyak.
Salam,
Sandra
-Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara-