Sabtu, 08 Februari 2014

Sheila - Part III (Terinspirasi dari lagu-lagu Sheila On 7)



Sebenarnya "Sheila - Part III" ini sudah ada di tahun 2013, tapi baru diposting di blog tahun 2014 ini. Hehehe.
Jadi, inilah ENDING-nya:



Sejenak melepas lelah
Kau tinggalkan diriku
Waktu hujan turun…..
Di sudut gelap mataku, begitu derasnya
Kan kucoba bertahan

Satu tahun kemudian…
Aku melihat titik-titik air menempel pada luar kaca jendela kamarku. Aku masih bingung dengan keadaanku sekarang. Sepi. Sunyi. “Huuuh,” tarik panjang nafasku.
“Sheilaaa!”
“Iya, Ma. Ada apa?” sahutku mendengar ibu memanggil.
“Ikut mama, yuk! Ke TK-nya adikmu!” ajak ibuku yang berjalan menghampiriku.
“Memang mau ngapain, Ma?”
“Mau rapat acara perpisahan TK sama guru-guru dan orang tua murid.”
“Oh… Ayo, Ma!”
***
Ibuku masih berada di dalam ruangan bernama Dandelion. Aku duduk di sebuah ayunan sambil menikmati es krim coklat yang aku beli di tukang es krim keliling. Ibuku yang sudah selesai, keluar ruangan.
“Gimana, Ma, rapatnya? Jadinya perpisahan ke mana?”
“Perpisahannya ke Bogor.”
“Waaah, bisa ketemu sama Rena, dong, Ma, hehehe.”
“Tapi yang boleh ikut perpisahan cuma anak murid dan salah satu orang tua aja, La.”
“Yaaah…”
“Memangnya kamu udah nggak hubungin Rena lagi?”
“Bukannya udah enggak hubungin, Ma. Tapi aku juga suka nggak sempet. Aku sekarang kan udah kuliah, lebih tepatnya kerja sambil kuliah. Kalau ada waktu senggang, aku manfaatin buat ngerjain tugas kuliah atau kerja yang belum selesai. Aku egois, ya, Ma?”
“Kamu bukan egois, La. Itu semua kan memang kewajiban kamu. Rena juga bisa paham keadaan kamu, kok. Memangnya Rena sendiri nggak hubungin kamu?”
“Nggak, Ma, dia sibuk kuliah. Dia ikut organisasi di kampusnya, jadi mungkin dia juga nggak sempet, Ma.”
“Kalau Anggara gimana?”
“Sama kayak Rena, Ma.”
“Nah, kalian semua punya tugas masing-masing. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Perpisahan bukan berarti sebuah akhir. Perpisahan itu saat kita akan memulai hal baru. Kamu juga, perpisahan kamu sama Rena dan Anggara bukan akhir, tapi awal kalian nemuin hal baru. Nemuin cara baru bagaimana persahabatan kalian tetap berjalan baik.”
Aku tersenyum dan berkata, “Iya, Ma. Makasih, ya, Ma…”

Mencoba dewasa
Mencoba berubah
Mohon dampingilah
Jangan tinggalkan
Tak terbayangkan jika kau pergi
Kau alasanku untuk dewasa

***
Kuawali hariku dengan mendo’akanmu agar kau slalu sehat dan bahagia di sana.
Sebelum kau melupakanku lebih jauh, sebelum kau meninggalkanku lebih jauh.
Ku tak pernah berharap kau kan merindukan keberadaanku yang menyedihkan ini.
Ku hanya ingin bilang kau melihatku kapanpun dimanapun hatimu kan berkata seperti ini…..
….pria wanita inilah yang jatuh hati padamu...

Matahari sudah tenggelam. Aku bergegas ke arah tempat parkir. Sebelum menemukan sepeda motorku, handphone-ku bergetar. SMS masuk sepertinya. Aku menghentikan langkahku dan sejenak membaca SMS yang masuk.
Anggara.
Nama itu yang menjadi pengirim SMS ini. Aku langsung berbalik dan keluar tempat parkir, mencari tempat duduk yang biasanya ada di luar gerbang tempat parkir, tempat duduk dekat Pos Satpam. Aku duduk dan membaca SMS dari Anggara dengan pipi yang melebar sedikit, aku tersenyum.
“Assalamu’alaikum, La. Apa kabar? Maaf baru bisa SMS sekarang. Gimana kerjaan lo di sana? Lo udah kuliah kan? Kabar ibu lo gimana? Sehat? Sorry, ya, nanyanya banyak, hehe.”
Aku langsung membalas SMS.
“Wa’alaikumsalam, Ra. Alhamdulillah baik. Gue masih kerja di tempat yang lama. Sekarang gue udah pindah ke bagian Accounting, hehehe. Gue udah kuliah, kok. Mama Alhamdulillah sehat. Hehe, woles aja, Ra!”
Setelah mengetik SMS, aku masuk lagi ke dalam tempat parkir, menaiki motorku dan mengendarainya dengan wajah yang lebih berseri. Aku pun menunggu balasan SMS dari Anggara…..

Seberapa pantaskah kau untukku tunggu?
Cukup indahkah dirimu ‘tuk slalu kunantikan?

***
“Oke. Berarti besok kita ketemu di restoran pancake, ya! See you, Sheila, Rena!”
Aku tersenyum sendirian. “Akhirnya bisa ketemuan sama mereka lagi,” gumamku dalam hati.

Datanglah, sayang…
Dan buat aku tersenyum!

***
“Pesan pancake coklatnya tiga, ya, Mbak!” ucap Anggara pada pelayan.
“Lo pesennya langsung tiga, Ra? Rena kan belum dateng…”
“Nggak apa-apa. Kalau Rena maih lama, lo aja yang makan, La. Hahaha.”
“Hahaha. Tahu aja gue memang suka yang berbau coklat.”
Tiba-tiba ada balita perempuan yang menghampiri kami. Balita ini imut sekali.
“Dek, sini! Jangan ganggu kakak-kakaknya!” ucap bapak dari anak ini.
Aku dan Anggara hanya tertawa kecil.
“Ayo, Dek, ke sini. Pancake-nya udah dateng, nih! Enak, loh!” bujuk ibu dari balita imut ini.
Anak ini langsung ke meja bapak dan ibunya dan menunjuk-nunjuk Pancake yang ada di atas meja. Ibunya menggendong dan meletakkan anaknya itu di pangkuannya, lalu menyuapinya pancake dengan lembut.
“Lucu, ya!” kata Anggara padaku.
“Iya, ya. Enak, ya, kalau udah punya suami,” kataku tanpa sadar. Kata-kata itu terlontar begitu saja.
“Enaknya apa, La?”
“Nggak kesepian, ada yang nemenin, punya keluarga baru, bisa cerita-cerita, bisa makan bareng, banyak deh! Hahaha.”
“Punya istri  juga enak. Dimasakin, ditungguin pulang kerja, diceritain banyak hal, bisa diajak ke tempat makan favorit, dan berada satu shaf di belakang gue.”
Pelayan datang dan membawa tiga piring pancake. Aku memotong pancake dan menikmatinya beserta saus coklat yang manis. Anggara belum memakan pancake­-nya, bahkan ia belum memegang sendok. Entah apa yang sedang Anggara pikirkan.
“La….” panggil Anggara.
“Yaa?”
“Lo mau nggak jadi pendamping gue?”
“Pendamping, Ra? Maksudnya?”
“Iya. Pendamping wisuda gue, La.”
“……….”
Tiba-tiba Rena datang dan duduk di sampingku.

Now listening in Pancake Restaurant - Lihat, Dengar, Rasakan, SO7

***
Beberapa tahun kemudian…
Aku memandangi selembar foto yang terbingkai dan terpajang di meja. “Ini kan Rena yang ambil gambar,” kataku sangat pelan. Di foto itu ada seorang perempuan yang menutupi mukanya dengan boneka beruang bertoga, serta di sampingnya seorang laki-laki yang juga bertoga dengan senyum yang sangat bahagia. Perempuan itu aku. Laki-laki itu………. Anggara.
“Sheilaaa, udah belum beresin kamarnya? Kalau udah, tolong bantuin aku beresin ruang tamu, ya!” teriak seorang laki-laki dari luar kamar.
“Iya, Ra… Tunggu, sedikit lagi selesai,” kataku sambil meletakkan foto yang ku pegang kembali ke tempatnya.
Saat ini aku sedang berbenah di rumah baruku, bersama Anggara, imamku kini.

Berlayarlah denganku
Bertumpulah di pundakku
Bersamaku engkau tak perlu ragu
Semuanya kan baik saja


Saat aku lanjut usia
Saat ragaku terasa tua
Tetaplah kau slalu di sini
Menemani aku bernyanyi
Saat rambutku mulai rontok
Yakinlah ku tetap setia
Memijit pundakmu hingga kau tertidur pulas…..

Tidak ada komentar :

Posting Komentar