Minggu, 12 Oktober 2014

Ragusa yang Pulang

Ia menatapku begitu dalam, tentu saja membuat aku canggung. Aku mengangkat sesendok es krim coklat dari mangkuk putih lonjong di depanku, lalu melahapnya, berharap kecanggunganku tertutupi dengan melakukan ini.

Aku memang sedang di dalam ruangan dengan banyak pengunjung di dalamnya, namun pikiranku melayang entah ke mana. Aku merasa pikiranku sedang berkelana, ke tempat yang pernah kusinggahi, tapi aku tidak akan pernah bisa kembali ke tempat itu. Tempat yang terbayang jelas sosok seseorang yang sekarang sedang mengintaiku: masa lalu.

“Put, kita mulai cerita baru. Mau, kan?” ucapnya sangat hati-hati padaku.

Deg. Aku yang duduk di hadapannya terpaku. Aku bergeming. Tidak sedang menunggu apa-apa, tapi berharap ia tidak menungguku bicara.

Tanpa perintah, penglihatanku samar. Ada yang menghalangi kedua bola mata. Aku berkedip pelan satu kali, ada yang jatuh dari mata sebelah kanan, kemudian disusul dari mata sebelah kiri. Perlahan bulir air menghujani pipiku tanpa suara. Aku merasa berhenti bernafas sesekali. Kemudian selembar tisu melayang di depan wajahku, dibawa oleh lima jari yang pemiliknya aku kenal. Telingaku mendengar kalimat dari seseorang yang sedari tadi masih setia di hadapanku.

“Kok nangis? Malu, ah. Pakai tisu, nih!”

Aku memang menangis, tapi aku mengembangkan senyum. Aneh. Aku sendiri tidak ingat kapan aku pernah melakukan ini sebelumnya. Menangis dan tersenyum di waktu yang bersamaan.

“Nggak apa-apa,” kataku seraya mengambil tisu dan mengelap air yang telah membuat wajahku basah.

Sekarang giliran ia yang tersenyum. Sepertinya ia memang menungguku menjawab pertanyaannya.

“Apa kamu yakin? Tapi aku, kan, pernah salah?” tanyaku, kini tidak disertai senyuman, perasaanku lah penyebabnya. Perasaan takut menyerangku tiba-tiba.

“Setiap manusia pernah salah, kok.”
“Maksudku, aku pernah salah sama kamu. Waktu itu, aku meninggalkanmu hanya karena lebih memilih orang lain. Aku ini jah..........”
“Sssttt. Jangan menengok ke belakang, Putri! Kita belajar dari masa lalu, perbaiki kesalahan lalu, kita masih punya masa yang masih suci,” tuturnya dengan tatapan mata yang  selalu aku hapal, teduh.
“Aku tidak yakin bisa membahagiakanmu setelah menyakitimu,” ucapku tanpa menatap matanya. Aku tidak kuat.

Ia menghela nafas. Seolah melepaskan beberapa beban yang ia tahan sejak awal berjumpa denganku. Dan aku tahu persis beban itu.

“Memang sakit sekali, sih. Tapi entah kenapa rasa sayangku masih terlalu besar dari rasa benciku. Aku pikir, aku juga yang salah, aku kurang membahagiakanmu. Tidak seperti, hmmm laki-laki yang kamu pilih saat itu. Maka aku pikir, membahagiakanmu adalah penundaan. Dan inilah waktu yang tepat membahagiakanmu, setelah kamu bukan milik siapa-siapa.”
“Aku tetap jahat, Arya!” kataku dengan nada yang mulai meninggi.

Arya menghela nafas untuk kedua kalinya. Sendok di tangannya tidak mengayun selama berbicara padaku. Es krim di meja kami sama-sama mencair perlahan, mungkin terkena panas dari energi yang aku dan Arya keluarkan. Baru kali ini aku tidak menikmati makan es krim. Padahal dulu saat masih “bersama” Arya, tempat dengan papan nama “Ragusa” di depannya ini adalah tempat makan favoritku. Walau jauh dari rumah kami masing-masing, kami tetap pergi ke sini. Dan sekarang kami di sini dengan suasana dan kondisi yang jauh berbeda.

“Apakah sebaiknya kita berjalan sendiri-sendiri saja sekarang? Aku tidak ingin menyakitimu lagi. Sungguh,” ucapku memohon, tapi tidak sepenuh hati, sebab masih ada sepotong hatiku yang tertinggal padanya.

“Sebentar, aku ingin bertanya dulu.”
“Apa?”
“Anggap saja aku adalah rumah lamamu. Apakah kamu meninggalkanku karena aku tidak cukup baik untuk melindungimu? Sampai kamu mencari rumah baru? Aku tahu, Putri, rumah itu tidak salah. Jika sudah merasa tidak cocok dengan rumah, penghuninya berhak pindah. Tapi apakah kamu lupa, bukankah rumah itu bisa direnovasi?”
“Hmmm. Iya, benar, aku lupa.”
“Selain manusia pernah salah, setiap manusia juga pernah lupa.”
“Tapi aku lupa dengan sangat bodoh. Aku tidak yakin pulang ke rumah itu lagi, aku terlalu bersalah.”
“Jangan membohongi diri, Putri. Air matamu saja menjelaskannya padaku. Air matamu jatuh pertama dari mata sebelah kanan. Itu berarti kamu menangis karena bahagia. Lain halnya jika air matamu jatuh pertama dari mata sebelah kiri, itu baru kesedihan. Ya, kan?”

Aku menelan ludah. Aku tidak mengerti mengapa Arya selalu bisa menebak dengan tepat. Percuma saja aku mengelak. Sia-sia aku mengutuk diriku ini yang sudah terlanjur amat bodoh. Walaupun kisah masa lalu terus berputar di kepalaku, aku ternyata sangat bahagia saat Arya masih mau menerimaku, sekarang. Buktinya, air mata saja mengungkapkannya.

Arya tahu aku tidak mau mengutarakan perasaan bahagiaku. Dengan tenang, Arya memperjelas maksudnya.

“Jika kamu mau memperbaikinya, tetaplah di sini, nikmatilah es krimmu. Jika kamu masih enggan, maka kamu bisa meninggalkanku di sini, biarlah kita berjalan sendiri-sendiri seperti katamu. Aku akan berusaha melepaskanmu untuk kedua kalinya, setidaknya aku sudah agak terlatih untuk itu. Bahkan mungkin, kelak bisa jadi profesional. Hehe.”

Aku masih diam.

“Put? Bagaimana?”

Aku belum menjawab.

“Put? Put? Putri? Bangun!”


Aku membuka kedua mataku. Samar-samar, kulihat bagian belakang jok mobil, diduduki oleh seorang wanita yang memanggilku.

"Bangun, Putri! Kita sudah sampai di rumah baru."

Sial. Ternyata yang tadi itu hanya mimpi.

"Apa, Bu? Kita pindah rumah?" tanyaku yang baru menyadari ada sebuah kardus di pangkuanku. 

Ibuku malah tertawa kecil.

"Nyawamu belum kumpul, ya? Kita, kan, hari ini pindah rumah."

"Kenapa kita pindah?" tanyaku bingung, nyawaku benar-benar belum terkumpul.

"Rumah kita yang lama, kan, sudah nggak cocok untuk kita. Anggota keluarga kita sudah bertambah banyak, sedangkan rumah kita terlalu sempit. Sudah, sekarang kamu bawa barang-barang kamu, kita berbenah!"

Aku memilih terpaku sebentar, memandangi kardus coklat yang tidak terlalu berat di pangkuanku. Isi kardus coklat ini hanya barang-barang sederhana pemberian laki-laki bernama Arya, mantan kekasih yang masih mengikuti pikiranku. Terbesit satu kalimat di kepala: Apa benar cinta bisa kembali pulang?

1 komentar :