Rabu, 23 April 2014

Bianglala Raksasa


Kenangan. Hal itu datang tanpa undangan. Otakku menjelajahi putaran waktu masa lalu dan mengingat. Seolah mengembalikan apa yang sudah terjadi di sini. Namun kenyataannya aku hanya duduk di sebuah kursi dan memandang samar ombak kecil berlari. Malam ini, aku memandang sebuah bianglala raksasa yang berjarak beberapa meter dari posisiku. Bianglala dengan lampu bagai bintang yang menyertainya. Berputar, sama seperti mengingat masa lalu.
***
5 tahun yang lalu…
Aku, Bela, Egi, dan Rama mengunjungi tempat wisata bernama “Ocarina” untuk mengisi waktu pasca kelulusan kuliah.
“Kira! Yang terakhir dari wisata kita hari ini, kita harus naik Giant Wheel. Ayo!” kata Rama yang mengajakku berlari kecil menuju ke depan sebuah bianglala raksasa. Aku menengadahkan kepalaku. Bianglala itu besar dan tinggi. Aku mencoba menghitung banyaknya gondola, “…..empat belas, lima belas, enam belas. Ada enam belas,” ucapku sangat pelan. Bianglala itu berputar  dan seolah memanggilku untuk naik dan ikut merasakan putarannya.
“Egi, Bela, cepat ke sini!” teriak Rama sambil mengayunkan tangan pada dua orang teman kami yang masih berjalan. Kami berempat pun menaiki salah satu gondola dan menunggu bianglala berputar-putar. Lalu, gondola yang kami naiki bergerak ke atas perlahan-lahan. Aku menunggu sampai berada di titik puncak. “Wow!” seruku yang terpesona melihat pemandangan separuh kota Batam. Alunan musik menambah kenikmatanku. Bianglala berputar kembali ke puncak selama beberapa kali. Bela, Egi, dan Rama ikut mengamati pemandangan dari balik jendela kaca. Kami berempat tidak berhenti tersenyum dan tertawa. Wisata yang sungguh menyenangkan. Bukan hanya karena tempatnya, namun canda tawa dan senyum bahagia dari mereka, terutama Rama.
***
Beberapa minggu kemudian, aku, Bela, dan Egi mengantarkan Rama menuju bandara. Rama akan merantau ke Jakarta untuk bekerja di salah satu perusahaan media massa cetak.
“Hati-hati, Ram! Semoga sukses!” kata Egi sebagai sahabat laki-laki terdekat Rama.
Rama menganggukkan kepalanya tanpa bicara apapun. Rama membalikkan badannya dan mulai melangkah.
“Ram!” teriakku di tengah keramaian bandara.
“Ya, Ra?” sahut Rama yang membalikkan badannya dan menghadapku.
“Selamat tinggal, Rama! Hati-hati, ya! Jangan putus komunikasi. Sempetin sms, dan……..” ucapku yang belum selesai. Aku memberikan secarik kertas pada Rama.
“Ini alamat e-mail-ku.  Kalau mau cerita banyak, kirim e-mail, ya!” lanjutku.
Rama mengambil kertas yang kupegang.
“Iya, Ra, makasih. Oh, ya, kalau kangen, coba keluar rumah, tengok ke atas, dan lihat bulan. Kita melihat bulan yang sama. Itu artinya kita masih dekat,” kata Rama sambil tertawa kecil.
Aku hanya tersenyum. Rasanya bercampur, antara senang, sedih, dan haru. Setidaknya perpisahan yang membahagiakan adalah saat bisa mengucapkan “selamat tinggal”, lalu terus memandang, walau perlahan menjauh dan kemudian hilang.
***
Aku telah berpisah jarak dengan Rama. Aku sempatkan diri untuk menyapanya walau hanya lewat sms. Rama juga sering mengirimkan e-mail dan bercerita seputar kehidupannya di Jakarta. Anehnya, aku tidak pernah menelpon Rama, begitupun Rama. Bagiku, bercerita dengan kata-kata lebih menyenangkan dan membantu untuk membayangkan cerita. Namun aku tidak bisa memungkiri saat aku merasa rindu.
Aku, Bela, dan Egi pun berpisah kota untuk bekerja. Hanya aku yang masih tetap di kota Batam. Ingin rasanya berkumpul lagi seperti dulu. Maka sampai pada saat hari ulang tahunku tiba, aku berniat mengundang Bela, Egi, dan Rama untuk makan pancake di sebuah restoran di Batam. Untungnya, kami sedang liburan akhir tahun. Keinginanku pun dapat terwujud.
***
Aku menaikkan kacamataku yang merosot di hidung. Memandang jam tangan yang tidak henti berdetak. Menunggu itu memang mengelisahkan. Tapi kesabaran mengokohkanku. Bukankah siapa yang bersabar akan beruntung?
Bela pun datang. Aku menyambutnya dengan gembira. Aku memeluk Bela yang penampilannya sudah agak berubah, lebih dewasa. Aku menarik kursi sebelahku untuk Bela duduk. Kemudian, Egi dan Rama pun datang. Mereka tidak berubah dari sebelum kami berpisah.  Egi duduk menghadap Bela, lalu tentu saja, Rama duduk menghadapku. Kami memecahkan suasana dengan saling bercerita.
“Hm… Sebenernya setelah ini aku akan kerja berpindah tempat, dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain. Jadi…..” ucap Rama yang berhenti memegang sendok.
“Jadi untuk sms bakal jarang, apalagi e-mail,” lanjut Rama dengan serius.
“Tapi kalau ada acara kayak begini, bisa dateng, kan?” tanyaku dengan suara yang lemah.
“Diusahakan, Ra. Kalau aku lagi nggak di tempat yang jauh, misalnya Papua.”
Aku berhenti makan pancake  coklat kesukaanku. Aku merasa rasa coklatnya menjadi hambar. Aku hanya menunduk tanpa mengeluarkan keluhan apapun.
“Jangan kangen, ya, Ra!” ledek Rama yang tidak lucu bagiku. Namun Bela dan Egi tertawa. Orang lain memang tidak bisa membaca pikiran, seandainya saja bisa…
Seusai makan dan melangkah menuju pintu keluar, Rama memanggilku dengan bisikan. “Ra, sebentar!”
Sementara, Bela dan Egi sudah keluar lebih dulu.
Rama berkata, “Ingat bulan yang kita lihat di langit yang sama, Ra! Nanti kita ketemu lagi di suatu titik dari luasnya dunia. Aku kejar cita-citaku dulu. Do’akan, ya!”
***
Kembali pada masaku saat ini…
Itulah kenanganku. Aku masih memandang bianglala raksasa dan mencoba mencari bulan di langit. Kepalaku menengadah lebih tinggi, lalu mataku melirik kiri kanan.
“Kira, kenapa masih cari bulan? Kita kan sudah berada di bawah langit yang sama?” ucap seorang laki-laki yang menghampiriku dan membawakan pancake coklat kesukaanku.
Aku hanya menaikkan kedua ujung bibirku dan mengambil piring dari tangan Rama.
“Makasih, ya, pancake-nya,” ucapku.
“Besok aku masuk kerja pagi, jangan lupa buatin aku sarapan, loh!” kata Rama yang kemudian duduk di kursi sebelahku.
Aku menganggukkan kepalaku dengan tegas. Aku tidak menyangka, aku dipertemukan dengan  Rama kembali dan ia menjadi pendamping hidupku.
Aku kembali memandang bianglala raksasa.
Bianglala. Berputar, menuju titik puncak untuk melihat keindahan. Lalu bergerak ke bawah lagi, hingga kita kehilangan pemandangan indah yang sebelumnya terlihat. Jika masih ada waktu dan diizinkan, maka bianglala akan kembali menuju pada titik yang sama. Waktu pun berputar menyertai, mengukir sebuah kenangan yang masih tersangkut dalam ingatan, menyisakan bayangan tentang betapa indahnya berada di titik puncak. Semua menyatu padu seolah menjelaskanku tentang satu kata bernama: CINTA.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar