Sebetulnya ini ketidaksengajaan. Begini ceritanya:
Aku berusaha mencari tahu sesuatu, pergi
 ke beberapa tempat yang di dalamnya terpasang lampu-lampu silau. 
Tepatnya lagi di tempat itu, berjejer aneka benda berbentuk kotak dengan
 ukuran yang kecil hingga besar. Baiklah, akan kusebut nama benda-benda 
itu: handphone dan televisi.
Ya, aku mencari sesuatu di antara benda-benda itu. Aku mencari handphone.
 Tidak, bukan hanya mencarinya, aku juga (sangat) berniat memilikinya. 
Jum’at lalu (bukan kemarin) aku membeli koran –entah kenapa aku suka 
membeli koran, walaupun tidak akan sempat membaca seluruh tulisannya, 
aku merasa ingin ikut merasakan jerih payah para penulis atau jurnalis 
yang menyumbangkan karyanya di sana. Koran itu menampilkan iklan dari 
hampir semua pasar swalayan besar –koran butuh iklan agar tetap hidup. 
Tentu saja, aku melihat iklan handphone yang aku mau (dan 
harganya terjangkau) yang ternyata bisa diangsur selama 12x. Hahaha, 
kebetulan sekali, aku benar-benar mengincar handphone atau lebih tepatnya smartphone,
 ya, untuk menemaniku, setidaknya. Tapi karena aku tahu kondisi 
ekonomiku yang sedang tidak menakjubkan, aku mengurung niat membelinya 
dengan alasan: “Nggak punya smartphone nggak bikin mati, kok.” Dan saat itu pula aku merasa ‘mati’.
Bayangkan.
Aku masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan kerja baruku 
(Alhamdulillah aku sudah mendapatkan pekerjaan baru). Setiap istirahat, 
sejujurnya saja, aku bingung akan ke mana. Saat di bulan yang bukan 
Ramadhan, aku memutuskan untuk membeli makan di tempat makan yang tidak 
jauh dari kantor, lalu memakannya di meja kantorku sendiri. Sungguh, ini
 bukan tanpa alasan. Aku memilih tempat makan itu karena aku menilainya 
merupakan tempat makan paling murah yang pernah aku dapati selama aku 
bekerja. Cukup Rp 8.000,- aku bisa makan peyek udang –yang benar-benar 
ada udangnya, lumayan besar, dan bukan kebanyakan tepung saja; dan 
ditambah 2 lauk lain beserta nasi yang sangat cukup membuatku kenyang. 
Lalu aku memakannya di mejaku saja, tidak beranjak ke tampat lain dan 
tidak bersama yang lain, karena…… aku hanya tidak ingin mendengar cerita
 buruk dari siapa pun, hahaha.
Lain halnya Ramadhan, aku tidak makan 
dan hanya menetap di mejaku. Aku terkadang tidur, atau hanya sekedar 
mencoret-coret kertas, atau bermain komputer –yang tidak ada 
internetnya. Aku bosan parah, sebenarnya. Hm mungkin lebih tepatnya: 
kesepian. Seandainya aku punya smartphone kan bisa aku gunakan 
untuk melihat kabar teman-teman lewat RU BBM, melihat postingan Path 
teman-teman yang terlihat bahagia –aku jadi ikut bahagia, melihat 
Instagram beberapa akun yang aku sukai, mengoceh di Twitter, searching 
apa pun yang terlintas di pikiran, dan banyaaak lagi. Lagi-lagi, mengapa
 aku tidak berkumpul dengan yang lain? Kali ini aku bukan tidak ingin 
mendengar cerita buruk, sebab di bulan Ramadhan cerita buruk biasanya 
berkurang jumlahnya, hanya saja aku tidak ingin ikut………….berbelanja. Please, somebody help me now!
Maka, aku berpikir bagaimana mempunyai 
smartphone kembali. Aku ingin mengikuti ‘pesan’ iklan di koran yang aku 
beli. Aku pergi ke beberapa pasar swalayan yang menawarkan ‘program’ 
angsuran itu. Tapi, nihil. Sebab syaratnya: berusia di atas 21 tahun. 
Mati sudah. Aku tidak jadi memiliki smartphone untuk saat ini.
Aku yang kesal, malah membeli sesuatu yang lain (tidak kuceritakan, ya!).
Di pasar swalayan terakhir aku mampir ke deretan buku-buku yang disusun 
di atas lantai. Obral buku, ternyata. Awalnya aku tidak begitu tertarik.
 Bukan karena aku tidak suka buku, aku hanya kehilangan nafsu karena 
kekesalanku gagal mendapatkan smartphone. Aku dengan malas 
membuka satu per satu buku. Buku terjemahan ternyata, buku fiksi dengan 
penulis luar negeri. Bahasanya itu, lho! Aku kurang suka, hehe. Soalnya 
kaku bangeeet. Terkadang malah nggak nyambung -_-
Sampai aku mengambil buku dan membukanya secara acak. Ada beberapa kata 
yang aku baca sekelibat: Munsyid, Nasyid, Paskibra. Aku jadi penasaran. 
Aku baca beberapa kalimat. Lalu, aku tersenyum seperti mendapati anak 
kecil yang sedang menang bermain sesuatu. Aku membaca halaman depannya: 
Tetralogi. Hah? Ini buku semacam buku Triloginya A. Fuadi ternyata. 
Kalau Tetra, berarti… ada 4 buku yang ceritanya berkelanjutan dan 
berkesinambungan. Ini buku ketiga. Aku bongkar sedikit buku-buku di 
bawahnya, dan aku menemukan buku kedua. Ada buku kedua dan ketiga dari 
Tetralogi ini. Tapi, sungguh, aku sedang tidak bawa uang banyak, haha.
Aku tidak jadi beli.
Aku mengendarai motor, sebelum keluar, aku bertanya, “Pak, tutupnya jam berapa, ya?”
“Jam 12 (malam).”
“Serius, Pak?”
“Iya, selama menjelang Ramadhan buka sampai jam 12.”
***
Aku buka dompetku. Yah, aku salah perhitungan, ternyata aku tidak punya 
‘uang lebih’. Uang yang ada di dompet sudah untuk keperluan lain. Aku 
bilang Mama.
…
…
…
Aku tetap jadi beli buku. Mama mengantarkanku.
Sudah, ah, ceritanya. Sekarang, aku mau kasih tau sedikit apa, sih, isi bukunya!
Judul: Apologia Latte.
Karya: Irfan L. Sar.
Novel bagian kedua.
Kata
(Dalam sudut pandang orang pertama bernama Gia)
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, dalam bus yang melaju cepat dan 
berkali-kali berguncang hebat, Rafli bercerita kepadaku tentang masa 
pemusatan latihannya di Bandung. Berkali-kali aku tersenyum dan berusaha
 menanggapi ceritanya, kendati tahu aku merasa canggung berada di 
dekatnya. Ini tidak berarti aku tidak mencintainya. Aku hanya merasa 
gugup karena Rafli selalu membuatku merasa takut. Ada aura tertentu 
dalam dirinya yang sulit kujelaskan yang membuatku merasa serba salah, 
dan memaksaku harus selalu mengalah menghadapi egonya.
Namun begitu, aura itu pulalah yang sering membuatku merasa nyaman, 
merasa terlindungi. Rafli memiliki visi yang jauh ke depan, seorang 
perfeksionis sekaligus pemurung. Dia akan menjadi romantis tiba-tiba, 
lalu menghilang dengan kesibukannya di paskibra.
Suatu hari, saat hujan turun dengan lebat, Rafli mengirimiku pesan singkat yang isinya teks lagu Jikustik, “Setia”: Deras
 hujan yang turun, mengingatkanku pada dirimu, aku masih di sini untuk 
setia, di saat malam datang menjemput kesendirianku, dan bila pagi 
datang, kutahu kau tak di sampingku, aku masih di sini untuk setia.
Aku membalasnya dengan teks lagu Jikustik yang lain yang membuat Rafli 
berpikir aku telah membuat sebuah puisi cinta untuknya. Lagu itu memang 
tak terlampau terkenal karena tidak dibuatkan video klip. Dan, aku ingin
 merahasiakan lagu itu, karena khawatir kau akan memberi tahu Rafli 
bahwa itu hanyalah sebuah lagu.
Sejujurnya, kadang aku merasa rendah diri berada di dekat Rafli, 
terlebih ketika dia menulis dan mengirimiku lirik lagu, puisi, yang 
sebagian diciptakannya dan sebagian disadurnya dari orang lain. Rafli 
orang yang romantis, kau harus tahu itu. Dia orang yang akan rela 
mengorbankan waktunya untuk memperhatikanmu, kendati misalnya, kau tak 
sudi membalas perhatiannya. Rafli memiliki hati lemah lembut yang 
membuatnya menjadi orang yang supersensitif, sering kali murung, dan 
merasa kesepian.
Sebelum masuk pada hari pertamaku kembali bertemu dengannya setelah dia 
menjalani masa Pemusatan Latihan Paskibraka di Jawa Barat, ingin 
kuceritakan kenangan indah saat aku ulang tahun yang ke-15. Saat itu aku
 kelas 3 SMP.
…
…
Oh, lagi-lagi aku lupa bercerita. Kau 
tentu ingat bagaimana perempuan-perempuan Mesir zaman dulu mengiris 
tangan mereka sendiri karena mereka dibuat takjub oleh ketampanan Nabi 
Yusuf. Pun aku begitu. Berkali-kali aku lupa bercerita betapa 
romantisnya Rafli karena aku terpukau oleh lelaki yang kini duduk di 
sampingku, bercanda dengan caranya yang kadang –harus kuakui—garing.
Hari itu Selasa, aku ingat betul. Pukul 5 pagi, aku terbangun oleh 
dering telpon genggamku. Dengan mata masih mengantuk karena semalam 
mengerjakan tugas sampai larut malam, aku mengangkat telepon itu, dan 
inilah yang terjadi pagi itu.
Rafli : Hai.
Gia : Hmm. (Masih mengantuk). Hei.
Rafli : Baru bangun, ya?
Gia : Iya. Hehe. Kenapa? Ada apa, Raf?
Rafli : Aku mau kamu keluar sebentar.
Gia : Keluar?
Saat itulah aku sadar ada sesuatu yang Rafli ingin berikan padaku, 
sebuah kejutan. Mendapat gagasan seperti itu, aku gelagapan, antusias 
sekaligus waswas. Aku memakai sandal jepit, membuka pintu kamarku, dan 
berjalan keluar, sambil mendengarkan suara Rafli di ujung telepon. 
Semilir lembut udara pagi menelusup lewat baju tidurku, dan aku merasa 
kedinginan.
“Berbelok ke kanan,” ujarnya, aku mengikutinya, “Li—“
Aku tak mendengar apa yang selanjutnya dia ucapkan karena aku tak tahan 
menahan tangis sewaktu melihat sebuah bungkusan di atas pagar rumah. Aku
 meraihnya, dengan air mata berjatuhan, memeluknya erat ke dadaku, lalu 
aku tersadar pada satu pertanyaan yang harusnya kukatakan dari tadi: 
Rafli, kamu di mana?
Tak ada jawaban.
Hening.
Nyala api di depan pintu gerbang menghangatkanku, dan tanpa sempat 
berpikir panjang, aku melihat berjajaran Rafli dan semua sahabatnya, 
berdiri dalam gelap, hanya demi menyanyikan lagu ulang tahun buatku.
Rafli mungkin berpikir aku melupakan apa yang telah dilakukannya itu, 
karena aku tak pernah bisa membuatnya merasa istimewa. Aku sering lupa 
tanggal ulang tahunnya, sehingga menjadi orang yang sering kali tidak 
mengucapkan selamat dan memberinya doa. Saat dia memberikan bindernya 
padaku untuk kuisi dengan apa pun yang kumau, aku malah mengembalikan 
binder itu kepadanya tanpa satupun kata yang kutulis. Keesokan harinya 
dia protes, “ Aku membuka binderku dengan semangat, dengan sumringah, 
berharap ada satu kata, paling tidak, yang kautulis untukku. Tapi….”
Yang ada hanyalah tulisan dan pesan Yanti, sahabat kami, untuknya. 
Barangkali karena itulah aku sering merasa canggung, rendah diri, dan 
takut terhadap Rafli. Dia memperlakukanku seperti dewi –atau Mahadewi, 
seperti yang diakuinya padaku –sedangkan aku tak bisa memperlakukannya 
dengan istimewa.
Pada malam-malam acara study tour sekolahku ke Yogyakarta, aku 
membaca berkali-kali tulisan Rafli di tiga lembar kertas binder yang 
dilipat memutar, dan terenyuh oleh caranya menggambarkanku sebagai sosok
 sempurna, sebagai cinta pandangan pertama yang takkan terkubur waktu, 
takkan tergerus cinta yang baru. Aku terenyuh dan seperti sudah dapat 
mendengarkan lantunan lagu yang liriknya kubacai berkali-kali itu. Yanti
 mengusap-usap kepalaku dan bilang bahwa kali ini Rafli akan setia 
padaku, bahwa apa yang dilakukannya selama ini membuktikan penyesalannya
 dahulu, dan kini kami berdua sudah beranjak dewasa dan dapat menyikapi 
hubungan dengan lebih baik.
…
…
…
***
*akusenyumsenyum*